Sick

Delapan tahun sudah aku mengarungi bahtera rumah tangga bersama Karina. Tidak selalu berjalan mulus. Pertengkaran kecil karena beda pendapat atau perselisihan sepele hanya karena salah bicara. Semua aku nikmati alur itu. Semua itu tidak ada apa apa dibandingkan semua yang aku miliki. Istri cantik yang selalu memberikan perhatian tanpa lelah. Anak anak hebat yang selalu menghilangkan rasa lelahku sepulang dari kantor. Bahkan rasa kesal karena kalah tander pun hilang hanya karena melihat tawa anak anakku atau ciuman dan pelukan istriku.

Selama delapan tahun ini, tiga kali sudah Karina masuk ruang bersalin. Setelah Quinsha. Aku berhasil menambahkan dua lagi adiknya. Syden yang lahir dua tahun setelah Quinsha dan Bexley yang menyusul tiga tahun kemudian. Karina berhasil merawat anak anak dengan baik. Anak anak tumbuh sehat dan ceria. Quinsha yang kini duduk dikelas dua sekolah dasar. Selalu mendapatkan nilai terbaik. Syden begitu aktif di umur lima tahunnya dan semangat dengan sekolah taman kanak kanaknya. Lalu Bexley selalu penuh tawa menggoda kedua kakaknya. Kehidupan ini begitu sempurna sampai Karina sering mengeluh sakit kepala.

" Mas..kepalaku sakit lagi. Dokter menyarankan untuk Rontgen karena obat obat itu tidak ada pengaruhnya untuk rasa sakitku."

Aku menatap istriku, rasa cemas menyergapku dengan cepat. Aku merasakan sedikit ngilu menggigit hatiku. Aku ketakukan.

" Separah itu kah, sampai harus Rontgen." Tanyaku sedikit bergetar.

" Belum tahu. Makanya dokter menyarankan Rontgen agar ketahuan sakit kepala ini apa penyebabnya."

Karina mengusap lembut lenganku. Dia sepertinya tahu ada kecemasan yang menyerangku. Aku membuang pikiran jelek yang menyergapku.

" Bukannya kemarin diminta ketemu dokter THT dulu."

" Sudah..hasilnya ya itu, diminta untuk Rontgen."

" Baiklah....Besok aku temani Rontgen ya." Aku mengelus sayang kepala istriku.

" Kamu tenang ya..jangan berpikir buruk." Lanjutku sambil mencium keningnya. Karina tersenyum menatapku.

" Terbalik..yang harus tenang itu, mas. Jangan berpikir buruk dulu."

Aku tersenyum menanggapi ucapan istriku. Aku membawanya ke dalam pelukanku. Tuhan.. jaga selalu istriku, Batinku.

Sakit kepala yang selalu dikeluhkan Karina sudah terjadi sekitar lima atau enam bulan. Awalnya Karina tidak menganggap rasa sakitnya itu. Dia cukup minum obat penghilang sakit kepala. Rasa sakitnya akan mereda, tapi jadi keterusan dan terlalu sering. Sehingga aku menyarankannya untuk menemui dokter keluarga kami.

" Jangan dianggap enteng, sakit kepala itu, Karin. Apalagi itu terjadi sudah lumayan lama dan hampir setiap hari."

Mama yang mendapat keluhan Karina saat itu ikut menyarankan agar Karina bertemu dokter. Beberapa kali dokter Edward menanganinya tapi ternyata di rujuk ke bagian THT, yang akhirnya setelah dua kali berobat diminta untuk Rontgen.

Aku menemaninya pagi ini untuk Rontgen. Tidak terlalu banyak pasien yang mengantri disana atau mungkin karena masih pagi. Karina mendapatkan uritan ke tiga. Hanya menunggu beberapa menit saja. Dia masuk ke ruang Rontgen ketika perawat memanggil. Tak begitu lama dia sudah keluar dari ruangan Rontgen dengan wajah menampakkan senyum samar. Aku menyambutnya dengan senyum.

" Sudah..sebentar ya." Karina mengangguk.

" Tinggal tunggu hasilnya."

Ucapannya sedikit bergetar. Aku menggenggam jemarinya dan mengusapnya pelan.

" Tidak akan ada apa apa. Percayalah." Ucapku menenangkannya. Karina mengangguk.

" Kita tunggu di kantin ya mas, aku mau minum juice." Aku berdiri dan merengkuh pundaknya. Berjalan pelan membawanya menuju kantin.

" Mau minum juice apa sayang."

" Aku mau juice Guava, mas juice mangga kan." Aku menggangguki ucapannya.

Sekitar satu jam menunggu, kami kembali untuk mengambil hasil Rontgen. Sedikit bergetar tangan Karina menerimanya.

" Sayang.." Aku mengusap lembut punggungnya. Dia tersenyum.

" Ayo kita temui dokter."

Aku mengajaknya ke ruang dokter THT. Sekitar lima belas menit menunggu. Dokter memanggil namanya. Aku menemaninya menemui dokter yang tersenyum menyambut kami.

" Bagaimana kabarnya bu." Tanya dokter berbasa basi. Karina tersenyum.

" Baiklah saya bacakan hasilnya ya." Dokter mengambil map coklat yang diserahkan Karina. Dia membukanya dan menatap hasil Rontgennya. Lalu dia menatap kami bergantian.

" Bu Karina butuh penanganan bagian Rhinotologi. Adanya di rumah sakit pusat..."

" Kenapa harus ke sana dok, apa disini tidak bisa ditangani." Tanyaku cepat. Dokter itu tersenyum.

" Ada Osteoma Ballistic di dekat otak bagian sebelas kiri."

Karina menatapku, matanya berkaca kaca. Aku merengkuhnya mencoba menenangkan. Aku juga kaget dan yang terlintas adalah anak anak yang ada di rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top