Chapter 58: Minggat

Dua hari telah berlalu.

Dipagi hari, Garry melangkah ke ruang kamar saudaranya. Ia melihat ganggang pintu yang sedikit berdebu karena sudah 48 jam tidak disentuh siapa pun.

Ia bersiul layaknya seperti burung-burung yang terbang bebas di langit. Kemudian menggenggam ganggang itu dan membuka pintu, suara besi pun berdegup sesaat.

Di hadapan Garry, terdapat ruangan gelap hampa cahaya. Ia segera menyingkap tabir kamar saudaranya itu. Seketika ruangan itu dipenuhi dengan cahaya sang mentari.

Ruangan itu benar-benar sepi. Hanya ada sebuah lemari besar tiga pintu, ranjang dengan nakas kecil di dekatnya. Di atas nakas itu, terdapat bingkai foto keluarga mereka.

Perhatian Garry teralihkan ke foto tersebut. Ia mengangkatnya dan membersihkan debu-debu yang bertebaran di kaca bingkai.

Ia tersenyum lebar, seandainya momen kebersamaan itu kembali lagi. Garry kembali meletakkannya setelah cukup lama bernolstagia.

Ia tak sengaja melihat sebuah selipan kecil surat di laci nakas tersebut. Ia awalnya hanya berniat untuk memasukkannya kembali, tapi rasa penasaran mengalahkan pikirannya.

Kemudian ia membuka lebar laci tersebut, melihat sepenuhnya amplop surat berwarna putih itu. Di pojoknya ada sebuah catatan. Tanpa pikir panjang, Garry langsung membacanya.

"Dear Garry?" Ia membacanya dengan raut wajah yang bertanya-tanya. Mungkinkah surat itu untuknya? Ia membolak-balik amplop namun tak menemukan apapun selain tulisan kecil itu.

Akhirnya, ia membukanya, di dalamnya terdapat sebuah kertas double folio bergaris. Ia langsung membuka setiap lipatan.

Dear Garry.

Pertama-tama, ada kemungkinan surat ini bakal dibaca orang lain dulu. No problem sebenarnya, tapi gue masih berharap kalo Garry lah yang membacanya lebih dahulu.

First of all, Gar, gue mau minta maaf sebesar-besarnya kepada lo. Mungkin di detik terakhir bertemu, gue bakal bikin lo sakit hati. Ya, gue boong soal itu.

Gue nggak ke tempat temen gue, tapi gue ke suatu tempat. Mungkin jika waktunya memungkinkan, gue bakal kabarin kondisi gue, Gar. Gue bakal nelpon lo dalam waktu dekat ini. Gue harap, lo masih mau ya nerima panggilan gue.

Mata Garry terbelalak lebar saat membacanya. Namun, ia coba teruskan bacaannya.

Tolong, Gar, janji sama gue, lo nggak bakal nyari gue dalam waktu dekat ini. Gue yang bakal kabarin lo terlebih dahulu. Oke? Yah, meskipun kemungkinan lo bakal setuju cuma sekecil biji padi.

Garry menutup mulutnya rapat, matanya menyorot tajam. Semakin ia baca, dadanya semakin berdetak kencang.

Dan yang terakhir, gue mau nitip salam salam Clara. Semoga hubungan kalian langgeng, haha! Gue sebenernya risih saat liat lo gonta-ganti cewek. Terlebih Clara udah kayak saudara angkat gue, Gar. Nggak sanggup rasanya ngebayangin kalian pisah.

Oke, sekian dulu surat perpisahan sementara ini, Gar. Ingat janji lo ya! Jangan cari gue dulu. Bye-bye!

"NGGAK!" respons Garry setelah selesai membacanya. Tangannya menggenggam erat kertas itu, "Lo harusnya tau, Larry, gue bukan orang yang bakal setuju sama janji konyol kayak gini!"

Ia membuang sembarang kertas itu, kemudian bergegas keluar ruangan. Masuk ke dalam mobilnya dan menginjak pedal gas dengan kencang, memotong mobil-mobil yang ada di jalanan. Matanya menyorot ke depan.

Ia sampai ke suatu rumah, kemudian turun dari kendaraannya. Ia tanpa sabar langsung membuka gerbang rumah itu yang ternyata tidak sedang dikunci.

Ia mengedor kasar rumah itu berkali-kali. Bahkan saat ada yang menyaut dari dalam, ia tetap mengedornya.

"Iya-iya, sabar!" kata Ferdi setelah membuka pintu, ia cukup terkejut saat melihat siapa yang ada di depan rumahnya saat ini. "Lo?"

"MINGGIR!" kata Garry dingin, ia melewati badan besar Ferdi begitu saja, masuk ke dalam rumahnya.

"Mau ngapain lo?!" susul Ferdi mengekori Garry, namun tak kunjung di jawab. Ia akhirnya menghadang jalan cowok itu. "Yang sopan kalo lagi di rumah orang."

"Panggil dia," perintah Garry datar. Matanya menyorot tajam dan aura mencekam terasa.

"Dia? Dia siapa?" tanya balik Ferdi, mengangkat sebelah alisnya, tak mengerti.

"Gosah pura-pura bego, lo udah tau maksud gue."

Ferdi terkekeh. "Tapi sorry, gue sama sekali nggak paham sama maksud lo."

"Jangan sampe gue gunain kekerasan di sini," ancam Garry.

Ferdi menggampangkan. "Lo pikir gue takut?"

Tanpa basa-basi, Garry langsung melayangkan pukulan ke wajah Ferdi, dia refleks menahan serangan itu. Terdengar dentaman keras.

"Woi! Lo serius?"

"Udah gue bilang, PANGGIL DIA!"

"Udah gue kasih tau, GUE NGGAK PAHAM SAMA MAKSUD LO!"

"Masih pura-pura lo?" Garry menatapnya sangar. Ia menarik tangannya kemudian melayangkan pukulan secara tiba-tiba, bahkan Ferdi tidak sempat untuk menangkisnya. Cowok kekar itu terpental ke dinding tembok rumahnya.

Garry menarik rambut Ferdi yang cukup pendek. "Panggilin dia!" perintah Garry dingin.

Ferdi terbatuk. "SIALAN LO!"

Garry menepis tinju Ferdi, kemudian menendang wajahnya dengan sepatu Garry, membenturkan kepala Ferdi ke dinding. Membuat Ferdi tergeletak di lantai.

"Sekali lagi ngelawan, gue habisin lo!" ancam Garry sadis.

"Se, sebenarnya mau lo apa sih?!" tanya Ferdi menahan rasa sakit.

Garry meletakkan alas sepatunya ke kepala Ferdi. "Suruh Larry keluar!"

"Larry? Di, dia nggak ada di sini!" Ferdi memberitahu.

"Gosah bohong!"

"Gue nggak bohong!" balasnya cepat, ia meronta-ronta, mencoba melepaskan kaki Garry dari kepalanya, tapi tekanan yang Garry layangkan sangat kuat.

"Lo emang bener-bener udah nggak sayang nyawa ya."

"GUE, GUE SERIUS!" Ferdi menelan susah air liurnya. Napasnya ngos-ngosan, tenaganya sudah terkuras habis. Ia berpasrah diri sekarang. "Lo bebas periksa rumah gue kalo lo mau."

Garry hanya terkekeh dengan senyum sadisnya. "Oke." Ia mulai melangkah menaiki anak tangga, ke lantai atas.

Suara pintu di tendang terdengar jelas, Ferdi hanya berpasrah, percuma ia melawan sekarang, orang itu hanya akan semakin menyiksanya. Ia juga tak begitu sadar dengan perbandingan kekuatan mereka.

Tak lama, Garry kembali mendatangi Ferdi yang masih tergeletak lemah. Ia berlutut, memandangi Ferdi dengan wajah datar.

"Kalo lo berani boong dan sembunyiin dia, lo bakal tau apa konsekuensinya."

Setelah mengatakan itu, Garry pergi dengan cepat, meninggalkan rumah yang sudah porak-poranda itu.

Setelah mobil Garry melaju cukup jauh, baru Ferdi mengangkat tubuhnya dengan susah. Ia mengelap ujung bibirnya, terasa perih. Di jarinya terdapat darah yang tergores. Ia mendesah kecil.

"Sialan tuh cowok, benar-benar bisa ngebunuh orang kalo kek gini sikapnya. Lagian, dia nyari Larry? Ada masalah apa lagi diantara mereka? Cih! Nyesel gue naksir tuh orang."

Garry mengemudikan mobilnya dalam kecepatan diatas normal. Ia bahkan beberapa kali hampir menabrak orang kendaraan yang berlawanan arah dengannya. Tanpa ia sadari, pipinya dibasahi oleh air mata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top