Chapter 56: Kejujuran

Mama turun dari mobil berjenis Van, warna putih panjang. Sepatu haknya turun duluan ketimbang tubuhnya, banyak para pelayan hotel mendatanginya dan menunduk serentak.

Anaknya, Garry, turun dari pintu yang berbeda. Ia segera berdiri di samping Mamanya. Keduanya berjalan dengan elegan, layaknya pasangan artist, menuju meja resepsionis. Pekerja resepsionis yang sedang bertugas memberi mereka hormat lalu langsung mempersilahkan mereka ke tempat tujuan, Pesta ulang tahun.

Resepsionis itu mempersilahkan keduanya duduk di meja diantara para tamu undangan. Sebuah hotel yang didesain layaknya pesta pernikahan.

Baru duduk beberapa saat, sudah banyak perempuan paruh baya yang menghampiri Mama.

"Jeng, kok nggak bilang-bilang kalo datangnya sama pangeran tampan," ucap salah satu dari mereka seraya tersenyum selebar mungkin.

Mama tersipu kecil. "Maafkan aku, anggap saja ini sebuah kado kecil spesial untuk tuan rumah."

Mereka tertawa lepas, Garry yang berada diantara mereka hanya tersenyum canggung. Ia kemudian berbisik ke depan telinga Mamanya.

"Ma, aku pergi ke toilet."

Mama menatapnya, mengelus pipinya kemudian tersenyum lebar, mengiyakan. "Pergilah."

Yang bersangkutan segera beranjak, keluar ruangan.

Hingga pertengahan acara, Garry tak kunjung kembali, Mamanya yang sedang berbincang dengan banyak kenalannya hanya mengusap-usap tengkuknya, berusaha menyembunyikan kekesalannya karena Garry yang tak kunjung kembali.

"Kemana anak itu?!" keluh Mama tanpa suara, hanya menunjukkan raut wajah yang sedang marah.

"Jeng?" panggil sebuah suara.

Mama langsung menoleh, menetralkan wajahnya secepat mungkin. "Iya? Ada apa Jeng?"

"Bukan apa-apa, wajah kamu kayak aneh gitu. Kurang sehat ya, Jeng? Mau aku panggilin dokter?"

Mama menggeleng cepat, lantas tersenyum dengan ramah. "Jeng...."

Mama memegang pundaknya, masih tersenyum. "Makasih ya, udah perhatian banget sama akunya. Tapi serius kok, aku baik-baik aja." Mama menoleh, segera menghentikan seorang waiter yang lewat dan mengambil dua gelas kecil berisi anggur.

Kemudian memberikan salah satunya pada Jeng yang tadi. Ia menerimanya.

"Yakin Jeng?"

"Iya, Sayang!" Kali ini dengan sedikit penekanan. Jeng tadi menghela napas lega, entah dia bersyukur karena apa.

***

Di rooftop hotel besar itu, Garry berdiri di pinggirnya, bersender pada besi pembatas. Ia menikmati semilir angin sejuk yang menerpanya, ia menghela napas panjang beberapa kali.

"Garry," panggil Mamanya diambang pintu masuk lantai.

Yang bersangkutan pun menoleh pelan, hanya memandanginya tanpa membuka mulut sedikit pun.

Mama mendekatinya. "Apa yang kamu lakukan di sini? Ayo, masuk! Jangan bikin ulah lagi."

"Santai aja kali, Ma. Emang di dalam siapa sih? Anak presiden? Bukan kan," jawab Garry tanpa menatapnya.

Mama mengkerutkan dahinya. "Garry, jangan buat ulah lagi, Mama udah cukup malu sama kenalan Mama. Kamu nggak paham atau nggak bisa paham?"

Garry hanya diam, tak menanggapi ucapan Mamanya.

"Mama nggak punya cara lain selain ngancem kamu dengan Larry."

Barulah Garry menoleh cepat, wajah santainya berubah menjadi datar dan serius. "Maksud Mama apa? Mama ngancem aku dengan embel-embel Larry, gitu?"

Mama mendengus, membuang muka. "Kek kamu nggak pernah diancam aja. Jadi sekarang pilih, mau nurut sama Mama atau...."

"Atau apa, Ma?" tanya Garry dengan mata melotot lebar, bergetar hebat, penuh kekhawatiran.

Mama sangat terkejut dengan tindakan anaknya. "Kamu kenapa?! Takut? Ya udah, nurut sama Mama."

Garry menghela napas berat, ia tampak berpikir sesaat, kemudian berusaha menstabilkan suaranya. "Kali ini ... Mama mau ngancem apa ke aku?"

"Larry!" Mama menaikkan dagunya tinggi. "Mama bakal kirim dia ke luar negeri dan kamu nggak bakal bisa ngeliat dia lagi."

Mata Garry terbelalak lebar. "Mama setega itu sama anak sendiri? Mama sebenarnya nggak ada niatan buat punya anak, kan?"

Plakkk!!!

Sebuah tamparan melayang tepat di pipi kiri cowok itu. Ia terdiam tak merespon, sedangkan Mama emosi penuh amarah.

"Kamu!" tunjuk Mama kasar. "Jangan coba-coba untuk kurang ajar sama Mama! Kamu jangan lupa semua pengorbanan Mama selama ini. Mama ke sana-ke mari, itu buat siapa? YA BUAT KAMU!"

"Siapa yang minta, Ma? SIAPA YANG MINTA?!" teriak Garry tak kalah kencangnya.

"DIAM! Kamu ngelawan lagi, jangan tanya kemana Larry pergi."

"Lakuin!" perintah Garry, Mamanya kembali terkejut.

Kemudian mengangguk cepat. "Oke, kamu yang minta!"

Mama segera menghidupkan layar gawainya dan menelpon seseorang. Tak lama, suara deringan telepon bergetar di saku celana Garry.

Mama menyadari itu, ia mematikan telepon. "Oh, begitu, jadi kamu bertukar telepon sama Larry, biar Mama nggak bisa ngancem dia. Gitu?"

Garry menghela napas kasar. Ia melepas wig rambut yang ia kenakan, rambut asli panjangnya turun serentak seketika.

"LARRY! KAMU!" ucap Mamanya terbata-bata, ia mundur beberapa langkah ke belakang.

"Iya, Ma, ini aku, Larry."

Plakkk!!!

Sekali lagi, sebuah tamparan mendarat di tempat yang sama. Sekujur tubuh Mama masih bergetar hebat, ia benar-benar tak mempercayai apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin ia tidak bisa membedakan keduanya?

"Sebenci itukah Mama sama aku?"

"Keterlaluan kamu!" balas Mama, masih tak menghiraukan perkataan Larry, masih tenggelam dalam keterkejutannya.

"Aku keterlaluan?" beo Larry, mendengus kecil. "Mama nggak sadar, siapa selama ini yang keterlaluan?"

"Itu semua karena kamu!" balas Mama yang akhirnya nyambung. "Kalo kamu nggak mencoba merebut Tahta Garry, Mama juga nggak bakal jahat sama kamu."

"Kenapa harus Garry sih, Ma? Apa aku kurang layak di mata Mama?"

"Garry itu sempurna, kamu tidak!"

"Begitu? Atau mungkin karena aku punya masalah orientasi seksual, jadi Mama ... nggak, bahkan sebelum itupun, Mama udah bersikap kayak gini. Tolong jujur sama aku, Ma!"

"Kamu mau Mama jujur?" tanya Mama setelah cukup stabil, ia bersandar pada besi pembatas rooftop.

Larry mendekat, dalam hatinya, ia sangat senang, dia hanya perlu memperbaiki apa yang salah dimata Mamanya. Setelah itu, semuanya akan baik-baik saja, pikirnya.

"Katakan, Ma."

"Mama ... nggak pernah berharap punya anak kembar," ucap Mama lirih.

"Kenapa memangnya? Bukannya itu bagus? Mama bisa mencintai keduanya tanpa harus membanding-bandingkan, kan?" tanya Larry tak mengerti.

"Kamu tak pernah tau, Larry, semasa kalian kecil, Mama sudah berusaha menyayangi kalian sama rata, tapi hati Mama nggak bisa. Pikiran Mama hanya terfokus pada salah satu dari kalian, dan itu Garry. Mama stress, merasa bersalah, tapi setelah cukup menderita, Mama akhirnya berdamai dengan hal itu."

Tak bisa berkata-kata, air mata Larry mengalir begitu saja. Membasahi pipinya, matanya memerah. Ia perlahan tertunduk. Tadinya ia pikir, ini hanya masalah sesuatu yang bisa diperbaiki. Namun, jika begitu keadaannya, mau sampai napasnya terhenti pun, perhatian Mamanya nggak akan dia dapatkan.

Larry menarik napas dalam-dalam. "Oke, Ma ... makasih udah jelasin itu ke aku."

Ia perlahan menuruti tangga, pergi dari rooftop itu. Meninggalkan Mamanya yang masih menatapnya punggungnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top