Chapter 55: Sanksi
Baik Indah maupun Salwa berdiri di hadapan seorang guru, keduanya diam-diam saling pandang tajam. Dengan rambut mengembang layaknya singa, mata keduanya memerah.
Guru itu menjentikkan jarinya, keduanya sontak melihat ke arahnya. "Udah tatap-tatapannya?"
Keduanya menunduk dalam. Guru itu menghela napas panjang, kepala menggeleng kecil. "Lo berdua itu udah gede, nyadar umur kek, nggak bisa gitu ribut pake cara elit dikit?! Hah?!"
Wali kelas mereka menghela napas lagi, ia memijit pelipisnya. "Sekarang Bapak tanya, siapa diantara kalian yang mulai duluan?"
"Dia, Pak!" jawab keduanya bersamaan, saling tunjuk. Wali kelas menatapnya datar.
"LO APA-APAAN NYALAHIN GUE, HAH?! JELAS-JELAS LO YANG MULAI DULUAN!" teriak Indah memaki.
"Eh, nyadar diri dong! LO DULUAN YANG MULAI!"
"UDAH!" kata wali kelas mereka, menggebrak meja dengan keras. Keduanya terdiam, kembali tertunduk dalam.
"Kalian semua salah!" tunjuknya. Ia merebahkan tubuhnya pada punggung meja. "Bapak udah nggak peduli lagi siapa yang benar siapa yang salah. Sekarang Bapak mau, kalian berdua berbaikan. Bisa?"
"Idih, ogah!" sangkal Indah cepat.
Lirikan tajam mata wali kelas mereka membuat Indah memajukan bibirnya, kesal.
"Nggak usah manyun gitu, atau nggak, hukuman lo bakal Bapak tambah!" ancam guru itu.
Indah berdecak, "Iya-iya."
"Dan lo Salwa, setelah hari ini, kamu dilarang untuk masuk sekolah ini lagi. Oke?"
"Iya, Pak," jawab Salwa patuh.
"Bagus. Juga, tolong kejadian kek gini jangan sampe terulang lagi di sekolah baru lo. Jangan malu-maluin sekolah intinya."
"Iya, Pak, pasti, Pak." Salwa mengangguk kecil.
"Ya sudah, Salwa boleh pergi."
Senyum di wajah Salwa terlukis seketika, ia mengangguk sesaat kemudian melangkahkan kakinya keluar ruangan. Tinggalnya Indah seorang.
"Gue gimana, Pak?" tanya Indah tepat setelah Salwa sudah tidak ada lagi di ruangan itu.
"Keknya kamu bakal kena Diskors, 7 hari."
"Tapi, Pak!" tolak Indah cepat, "Gue bakal ketinggalan banyak pelajaran klo kek gitu."
"Lo protes, diskorsnya nambah jadi 10 hari. Ayo protes lagi."
Indah terdiam.
"Nunggu apa? Pulang sana," usir guru itu semena-mena. Ia bahkan membalik kursinya.
***
"Lo masih inget kan kesepakatan kita kemaren?" tanya Garry seketika, mereka sedang jalan-jalan dipinggir jalan raya, dekat taman kota.
"Kesepakatan?" beo Clara, ia mengingat-ingat.
Garry menghentikan ayunan genggaman tangan mereka. "Tuh liat, telmi kamu itu nggak ilang-ilang loh."
"Eh? Barusan tadi manggil gue apa? 'kamu?' nggak salah tuh, Gar?"
"Nggak," jawabnya cepat, "Kenapa emang? Ada yang ngepermasalahinnya?"
"Ah, bukan itu. Masalahnya, canggung nggak sih kalo gitu panggilannya?"
"Canggung karena nggak terbiasa sayang. Makanya, gue mau kita mulai membiasakan hal itu."
Clara hanya tersipu malu, ia terlalu baper dengan pernyataan Garry barusan.
Tiba-tiba ditengah obrolan mereka, Handphone Garry berdering, tapi pria itu mengabaikannya begitu saja.
"Telpon lo ... kamu bergetar tuh."
"Biarin," balas Garry terus melangkah, melihat-lihat sekitar dengan senyuman.
"Angkat gih, siapa tau penting."
"Apa sih yang lebih penting dari kamu?" gombal Garry, tapi rayuan itu tak berhasil meluluhkan hati Clara, malah gadis itu memandangnya dengan tatapan aneh.
"Sejak kapan lo jadi buaya gitu, Gar?" tanya Clara dengan raut wajah tak menyenangkan.
Belum sempat Garry membalas, Clara memotongnya cepat. "Itu nanti aja, sekarang jawab dulu telepon itu."
Garry menghela napas, sepertinya ia memang sudah ditakdirkan untuk mengangkat telepon itu hari ini. Saat ia mengambil teleponnya dari saku celana, terlihat Kontak "Mama" pada layar telepon.
"Siapa?" tanya Clara penasaran.
"Mama," jawab Garry datar, tak bergairah.
"Ya udah, jawab gih."
"Kalo semisal Bapak lo yang telepon, apa bakal lo angkat juga?"
Clara mengangguk. "Pasti, karena gue nggak membenci orangnya, gue benci sifatnya."
"Keknya lo emang terlewat baik."
Setelah mengatakan itu, Garry mengangkat telepon tersebut, ia tempelkan pada daun telinga.
"Iya?"
"Kamu dimana, nak?"
"Mau ngapain lagi sih, Ma?"
"Mama butuh kehadiran kamu di sini."
"Dimana?"
"Di hotel sebelah kantor Papa, ada pesta pernikahan dan Mama mau memperkenalkan kamu dengan mereka."
"Garry udah banyak kenalan, Ma, udah cukup."
"Banyak? Itu baru sekitar 10% kenalan Mama loh. Masih banyak yang lain. Pokoknya mau nggak mau, kamu harus ada di sini 1 jam dari sekarang."
"Mama nggak bisa maksa gitu dong!"
Tut.
Telepon ditutup begitu saja. Garry berdecak kesal, ingin ia hancurkan saja telepon yang ia genggam sekarang.
"Disuruh pulang sama Mama?" tanya Clara yang mencoba mengerti situasi.
Garry hanya mendengus kecil. Matanya berpindah kiri-kanan tak tenang, ia kebingungan.
Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk, Garry sontak membacanya.
Larry:
Gar, terusin kencan lo. Soal Mama, biar gue yang urus. Untungnya Mama mau pergi sama gue.
Aneh tapi nyata, Garry benar-benar tak menyangka akan mendapatkan pesan seperti itu sekarang. Apa hal yang membuat Mamanya tiba-tiba berubah pikiran mengajak Larry? Bukannya selama ini selalu dirinya yang Mama mereka inginkan?
Tapi biarlah, itu sebuah hal yang bagus. Dia bisa meneruskan rencana yang sudah ia susun hari ini.
Garry mengetikkan pesan singkat. "Thanks!"
"Yuk aku hantar pulang," tawar Clara yang sudah yakin jika pria itu akan segera pulang. Ia pun sadar diri, siapa pasangannya saat ini.
"Pulang?" beo Garry dengan senyum miringnya. "Siapa yang berani nyuruh gue pulang?"
"Lah tadi? Bukannya di telepon Mamamu?"
Garry semakin melebarkan senyumannya. "Selamat, lo kena prank!" Ia mengatakannya dengan raut datar, tak seperti orang lain yang mengatakan hal seperti itu dengan wajah yang ceria.
"Gar, lo nggak cocok ngucapin hal kek gitu."
"Loh, kenapa emang? Perasaan nadanya udah bener."
Clara tertawa lepas. "Nadanya sih udah bener, cuma raut wajah lo yang nggak pas."
"Loh, harusnya kek gimana?" tanya Garry penasaran, ingin mengetahui lebih lanjut.
"Ya udahlah, lupain," kata Clara, ia berjalan duluan, meninggalkan Garry dengan rasa penasarannya.
Cowok itu segera menyusul. Terus menanyakan hal-hal yang sama seputar Prank, tetapi Clara terus menolak untuk menjawabnya.
***
"Nak, ayo cepat!" saut Mama dari luar rumah, mengenakan gamis modern berlapis Kilauan emas di banyak sisinya. Kacamata hitam serta tas bermerk terkenal.
Seorang cowok keluar dari pintu tersebut, ia tersenyum tipis ke arah Mama. Wanita paru baya itu memandangi anaknya sesaat.
Jaz hitam mengkilat, rambut rapih menutupi jidat. Wajahnya yang cerah dan cara jalannya yang santai.
"Ayo cepat, kita bisa terlambat nanti."
Cowok itu terlihat ragu, tapi akhirnya ia mengacuhkan pertanyaan itu demi menghindari kecurigaan.
Ia melangkah maju ke depan, masuk mobil pribadi tepat setelah Mamanya masuk ke sana. Ia duduk tepat di samping Mamanya. Kakinya terus bermain, jarinya juga tak henti-hentinya bergerak-gerak kecil.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top