Chapter 53: Dewasa

"Ehem!"

Garry dan Clara sontak bersamaan menoleh sumber suara itu. Mereka terdiam sesaat, mata Garry membesar seketika saat melihat orang itu.

"Lo!"

Orang itu terkekeh miring, memutar matanya, seolah sudah tau jika respon Garry akan jadi seperti itu.

"Kenapa, Gar? Biasa aja kali!" balas Salwa, berjalan ke arah mereka, keduanya berdiri dengan cepat.

"Lo ngapain ke sini? Bukannya—"

"Mengundurkan diri?" potong Salwa dengan senyum kecil di ujung bibirnya. "Bener kok, gue udah ngundurin diri."

"Terus, kenapa lo masih di sini? Dara mana?" tanya Clara setelahnya.

Salwa menggeleng. "Dia takut lo semakin nggak bisa ngerelain dia. Jadi, dia kirim surat ini ke lo."

Salwa memberikan sebuah amplop dengan banyak stiker chibi. Clara menatap kertas itu, tak sanggup rasanya ia untuk membacanya. Tapi perlahan, ia meraih amplop itu.

Garry menahan punggung tangan Clara, "Jangan diambil kalo nggak sanggup baca."

"Nggak, Gar, gue ... gue harus bisa baca."

Garry melirik gadis itu, tatapannya benar-benar lekat dengan sepotong kertas itu. Akhirnya ia mengalah, melepas tangannya dari gadis itu.

"Lo pindah ke sekolah mana?" tanya Garry setelah Clara menerima amplop itu.

Ia menatap cowok itu. "Ke ujung dunia," jawabnya singkat.

"Gue nanya serius, Salwa. Siapa tau gue mau berkunjung ke sekolah baru lo."

Salwa terkekeh kecil. "Gue mau keluar negeri, Gar." Ia beralih menatap Clara. "Dan Dara juga ikut gue. Beasiswa yang Dara dapat semester kemarin masih berlaku, jadi kami harus buru-buru."

Clara menghela napas berat, kemudian berusaha tersenyum selebar mungkin. "Good luck buat kalian. Cepat balik ke sini lagi ya."

Senyum kecil terlukis di wajah Salwa. "Ini diluar ekspektasi gue, gue kira lo bakal nahan-nahan Dara."

Clara menggeleng. "Gue yakin itu keputusan terbaik yang ada. Jadi, kalo gue ngelarang Dara buat berkembang lebih baik, gue merasa jahat banget."

Sontak Garry mengelus-elus rambut atas Clara, "Syukurlah lo udah mulai dewasa." Garry tersenyum lebar.

Ia beralih ke Salwa. "Lo nggak mungkin ke sini buat nganterin surat kan? Itu nggak lo banget."

"Ternyata diam-diam lo juga merhatiin gue ya, Gar. Sayang sih, hati lo nggak nyangkut ke gue."

"Udah, Sal," kode Garry.

Salwa tertawa lepas. "Iya-iya sorry, takut banget sih lo."

Garry hanya memandangnya sinis.

"Gue nggak bisa ngasih tau lo, Gar, nantikan aja setelah pulang sekolah."

Sekarang giliran Garry terkekeh. "Oke, gue tunggu surprise dari lo."

***

Keduanya sampai di depan pintu kelas, Clara berhenti di ambang pintu, seolah enggan untuk memasukkan kakinya ke dalam. Namun, Garry membimbingnya, mengabaikan setiap tatapan yang menatap keduanya. Mereka melewati Indah begitu saja, tanpa tatapan, tanpa sapaan.

Garry membantu Clara duduk, kemudian berjongkok. "Sayang, yang kuat ya. Dia bakal dapat karmanya sendiri."

Seketika Indah melirik ke belakang, ia tersinggung, benar-benar tersinggung, menatap sinis keduanya.

Garry membalas tatapan itu dengan datar, kemudian perlahan berdiri dan kembali ke mejanya.

"Gar," panggil Larry pelan, ia masih cukup takut memanggil saudaranya dengan nada lebih keras.

"Yang keras dikit kalo manggil, gue rada budek!" balas Garry duduk santai, kakinya diatas meja dan kedua tangannya ia letakkan di belakang kepala.

"Oh iya, maaf," balas Larry. "Gue cuma mau ngasih ini."

Larry menyodorkan sepotong kertas kecil dengan beberapa kalimat di tengahnya. Garry meliriknya sesaat. "Bacain, gue males baca."

"Tapi ini sensitif, Gar, dari Salwa."

"Sensitif? Bacain aja, biar yang lain denger. Lagian dia juga udah out dari sini. Harusnya sih nggak masalah."

"Kepada Garry!" Larry membacakannya lantang. "Gue tunggu kehadiran lo di gerbang sekolah, ada yang mau gue bahas."

Seketika kelas menjadi ribut, mereka berbisik-bisik, dari siapa surat itu. Dara atau Salwa? Keduanya sama-sama suka pada Garry.

"Oke!" balas Garry santai tanpa memperdulikan setiap bisikan yang ada di kelas itu.

Indah melirik ke belakang diam-diam, dia tau surat itu dari Salwa, tapi ia tak tahu apa yang akan Salwa lakukan nantinya. Tangannya mengepal erat. Ia berpikir keras.

Tepat setelah bell pulang berbunyi, Garry beranjak dari kursinya dengan cepat, pergi keluar kelas, para siswa banyak yang menghela napas panjang. Kenapa?

Clara masih dengan kebiasaan buruknya, Larry terlihat ragu untuk mengejar saudaranya, sedangkan Indah sudah berjalan keluar kelas, menyusul Garry secara diam-diam.

Larry beranjak dan membantu Clara merapikan buku-bukunya, sebagian ia pegang.

"Makasih banyak," katanya dengan senyuman. Ia merangkul tasnya ke punggung, kemudian berjalan bersamaan dengan Larry.

"Lo tau nggak surat tadi dari siapa?" tanya Larry pelan.

Clara mendongak kepadanya. "Ah, gue juga sempet kepikiran tadi, tapi keknya dari Cewek ya."

Larry mengangguk.

"Apa jangan-jangan dari Salwa ya?" tebak Clara, berpikir.

"Kok lo tau?" Tiba-tiba Larry terhenti. Clara berbalik dan tersenyum kecil.

"Sebenarnya Salwa tadi ke sekolah," kata Clara. Mata Larry terbelalak lebar. Ia tak tahu jika gadis itu masih berdiri di sekolah ini.

"Garry udah tau kalo Salwa datang ke sini?" tanyanya lagi.

Clara mengangguk. "Kami juga sempat ngobrol, tapi keknya ada yang mau mereka lakuin. Dua-duanya beradu pandang gitu."

Larry langsung menyeret tangan gadis itu berlarian, Clara terkejut dengan tarikan tangannya. "Kenapa, Larry?"

Namun, cowok itu tak menjawab, masih menyeretnya menyusuri koridor kelas dan saat mereka melihat gerbang sekolah, sudah ramai siswa-siswi bergerombolan, mengelilingi sesuatu.

"Sudah gue duga," kata Larry cemas, ia berhenti sesaat, napasnya terengah-engah.

"Kenapa sih, Larry?" tanya Clara lagi, ia benar-benar tak mengerti dengan hal yang cowok itu khawatirkan sekarang.

"Woy!" teriak seseorang, cukup jauh, tapi suaranya berat dan Larry cukup familiar dengan suara itu.

Ia melirik ke samping, "Ferdi!" Ia berdecak kesal, kenapa dia harus datang di saat yang tidak tepat. Di satu sisi, Garry dan Salwa bisa menghancurkan masa depan mereka sendiri, di sisi lain, Ferdi datang menghampirinya.

Ferdi berjalan mendekat, Larry mundur perlahan, hingga ia tak sengaja menabrak Clara yang masih memperhatikan kerumunan itu.

"Sorry!" ucap Larry cepat, ia membantu Clara menjaga keseimbangan.

"Iya, ngak papa, lo kenapa?" Seketika ia melihat ke samping dan cukup terkejut dengan kehadiran Ferdi yang bertubuh besar itu.

"Lo?! Mau ngapain lo?!" tanya Clara cepat. Ia maju ke depan, menyembunyikan Larry di belakang tubuhnya.

Ferdi memutar mata malas. "Lo nggak usah takut gitu, Sayang! Gue janji bakal berubah."

Clara mendongak, "Tolong jangan ganggu Larry lagi. Biarin dia hidup sesuai sama apa yang ia inginkan."

"Iya, gue tau. Makanya, dia nggak perlu takut lagi sama gue. Gue janji bakal berubah, lo bisa pegang hal itu, sebagai calon kakak ipar gue."

Clara sebenernya merasa jijik mendengar hal itu, tapi bagaimanapun, ia takut membuat Ferdi tersinggung, jadi ia mengiyakan saja perkataannya barusan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top