Chapter 47: Pertikaian
"Bener kamu ke sini bukan buat bahas yang semalam?"
Ia berbalik dengan dengusan. "Kamu mau aku jawab apa, Mas? Ya udah iya, kalo itu yang mau kamu denger, ya aku ke sini buat bahasa itu. Puas?"
Bunda memutar matanya malas dan kembali berbalik ke wajan, mengaduk makanan yang ada di dalamnya.
Ayah menunduk, menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan, sebegitu lelahnya dia menghadapi mantan istrinya ini.
Keduanya berdiam diri, Bunda fokus ke masakannya dan Ayah beralih ke koran terbaru yang diletakkan di kotak surat depan rumahnya.
Clara membuka pintu kamar, sambil terus mengeringkan rambut dengan hair dryer hitam. Rambutnya yang begitu lebat dan hitam melayang bebas.
Gadis itu mematikan dryernya, meletakkannya di pinggir nakas dekat pintu dan menutupnya. Ia berjalan ke ruang dapur dan duduk di tempat sebelumnya.
Suasana begitu canggung, Clara jadi ikutan ragu untuk memulai pembicaraan. Apa orang tuanya baru saja bertengkar lagi? Padahal mereka sudah beberapa bulan tidak bertemu, tapi sepertinya keduanya tidak menyepakati hal yang sama.
Bunda memindahkan makanan yang ada di wajan ke beberapa piring. Ia membuka sarung tangan memasaknya, menyajikannya ke hadapan Clara dan Ayah.
"Makasih, Bun," ucap Clara penuh senyuman. Bundanya juga balas tersenyum, mencubit pelan pipi Clara yang gemol.
"Sama-sama, kesayangan Bunda."
"Makasih ya, Sit." Giliran Ayah yang bicara, ia perlahan mengambil sendok dan garpu. Mengambil satu sendok, kemudian melahapnya. Diam tak berkomentar.
"Iya, sama-sama, Mas." Senyuman Bunda berubah menjadi senyuman canggung. Ia mengambil makanannya dan duduk tepat di samping Clara.
"Nasi Goreng buatan Bunda emang bener-bener enak!" komentar Clara setelah suapan pertama. "Bagi resepnya ke Clara dong, Bun."
"Resep?" Bundanya menatap Clara masih dengan senyuman lebar. "Sama aja kok kayak yang di google itu."
"Ih, Bun, beda tau. Clara udah pernah bikkn tapi hasilnya malah asin. Clara nggak tau takarannya."
Bunda mengelus-elus rambut panjang Clara. "Iya, nanti Bunda bagi resepnya ya. Sekarang kamu habisin dulu sarapannya terus berangkat sekolah."
Clara mengangguk patuh. Sepanjang menikmati sarapan, tak ada satu pun kata yang keluar dari Ayah. Ia fokus menghabiskan sarapannya saja.
"Nanti ke sekolah siapa yang nganterin?" tanya Bunda ke Clara.
"Aku, Sit," kata Ayah cepat.
Clara menatap Ayahnya cepat. "Tapi, Yah, Clara udah ada janji."
"Lagi? Kamu mau tiap hari dijemput sama dia? Jangan jadi wanita manja, nak, itu nggak baik."
"Kamu apa-apaan sih, Mas? Terserah Clara mau diantar siapa, mau janjian sama siapa. Kita sebagai orang tua harus men-support hal itu, selama tidak menjerumus ke hal buruk." Bunda membalas.
Ayah menjatuhkan korannya ke permukaan meja, wajahnya datar menatap lurus ke depan. "Sebagai orang tua yang baik, kita harus memilah mana yang baik dan yang buruk. Clara belum bisa berpikir ke depan, maka dari itu, dia butuh bantuan kita menentukan salah dan benarnya."
"Yah, kok gitu jawabnya? Santai aja, jangan pake emosi."
"Kalo kamu nggak ngebantah, Ayah juga nggak bakal marah-marah tau!"
"Mas!" sentak Bunda, beranjak, memeluk Clara cepat. "Kamu kok kasar banget ngomongnya?!"
"Sit, kamu di sini sebagai tamu, tolong bersikap selayaknya."
"Yah! Tega banget Ayah ngomong kek gitu ke Bunda!"
"Suttt, suttt." Bunda menepuk-nepuk pelan pundak Clara, menenangkan anaknya itu. "Biar Bunda aja ya."
Ia beralih ke mantan suaminya. "Mas! Kalau mau ngomong kayak gitu, aku minta jangan di depan Clara. Mas nggak mikir ke sana?" Mata Bunda mulai membesar, menatapnya lurus.
Ayahnya berdecak. "Itu karena kamu terus berlindung dibalik Clara. Kamu selalu...."
Bundanya menutup keduanya telinga Clara. Ia tau arah pembicaraan ini kemana, ia yakin pasti putrinya akan sakit hati mendengarnya.
"... memanfaatkan kehadiran Clara di hubungan kita, Sit. Apa perlu aku perjelas? KA-MU ... Selalu meminta hal-hal aneh dan mengekangku demi Clara! Kamu terus-terusan bicara seolah aku adalah Ayah yang buruk. Setiap tindakan yang aku ambil, itu selalu buruk di mata kamu. Apa kamu sadar hal itu? HAH?!"
Ayah bahkan memukul meja dengan keras, matanya memerah, melotot, bahkan Bunda dan Clara terkejut hebat karena gertakan meja itu.
"Stop!" Tiba-tiba Garry membuka pintu, masuk rumah tanpa permisi dan berdiri di dekat antara mereka. "Clara ayo keluar."
Gadis itu menatap Bundanya, memberikan anggukan persetujuan. Ia perlahan bangkit dan menerima uluran tangan Garry.
"Kalian mau kemana?! Clara biar aku yang hantar!"
Garry meliriknya. "Maaf, Om, tapi orang yang nggak bisa ngendaliin emosi, nggak pantes buat bersikap selayaknya Ayah yang baik."
Garry memandu Clara keluar rumah, gadis itu meringkuk ketakutan di dekapan cowoknya.
"Mau kemana kalian?!" lanjut Ayahnya masih dengan gertakan.
"Mas!" balas Bunda, "kalau tau sikap kamu kek gini, sampe mati pun nggak bakal aku lepas hak asuh Clara!"
"Kamu!" Tunjuk Ayah dengan garang. "Berhenti ganggu kehidupan aku sama Clara. Kita udah cerai, dan haknya jatuh ke tanganku. Kamu nggak punya hak untuk ikut campur lagi masalah Clara."
Bunda mendengus. "Asal Mas tau ya, hubungan ibu-anak itu bukan sekedar hak asuh aja. Bahkan batin kami juga jadi satu. Sedangkan kamu, bahkan kamu aja nggak tau apa yang anak sendiri rasakan. Mau jadi orang tua kayak apa kamu?!"
"KELUAR!" usir Ayah, matanya melotot, ia mengusir mantan istrinya pergi dengan kasar. Bahkan ia sampai mendorong paksa.
"Lepas, Mas!" Bunda memberontak, menepis genggaman Ayah. Ia tak terima diusir seperti ini.
"Pergi nggak! Pergi!"
"Iya, iya. Aku bakal pergi! Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, Mas!" Bunda mendekat, menunjuknya tajam. "Clara nggak bakal betah lama-lama sama kamu. Lambat laun, dia pasti kembali ke tanganku."
Bunda berbalik badan, meninggalkan mantan suaminya sendirian. Ia menutup pintu rumah itu dengan kasar.
"Brengsek kamu!" balas Ayah tepat setelah pintu tertutup. Perlahan namun pasti, air matanya mengalir. Dadanya kembang-kempis, ada rasa sakit yang tak bisa ia atasi dari tadi. Ia mundur, terduduk di kursi kayu jati itu.
Memijat kepalanya yang sudah sangat pusing. Kenapa dia harus datang! Kenapa dulu dia bisa terpicut dengan wanita seperti itu. Ayah benar-benar menyesal.
Entah kenapa, saat berdebat dengannya, Ayah jadi tak bisa mengontrol emosinya sedikit pun. Setiap sanggahan yang mantan istrinya lontarkan, benar-benar memancing emosinya. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya.
Ia bahkan tak akan marah meski orang melemparinya dengan kotoran, tapi saat berselisih paham sedikit saja, emosinya mulai tak terkendali.
Untuk itu, ia hanya menyesali perbuatannya barusan. Ia benar-benar merasa hancur dan bersalah, tak seharusnya ia membentak anaknya sendiri.
Apa yang istrinya selama ini bilang benar? Bahwa ia tak bisa mengendalikan emosinya sendiri?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top