Chapter 41: Maju ke depan.

Garry mendekatkan wajah mereka, ia tersenyum miring. "Kenapa nggak sih?"

"Gue bingung deh, Gar, sama lo," bisik Clara menatap siswa lain.

"Sama, gue juga."

"Ih." Clara menyikutnya, menahan senyum. "Jangan niru gue napa? Lo sehabis adegan itu jadi aneh deh."

"Lo juga. Sehabis di gituin malah lari ke kelas dan bersikap seolah nggak pernah terjadi apa-apa."

Clara terdiam, apa yang Garry katakan barusan itu benar. Itu adegan kiss terlama yang ia pernah alami, namun perasaannya tidak begitu berdebar.

"Atau lo udah pernah gituan sama cowok lain? Iya nggak?" lanjut Garry.

Clara melirik mata cowok itu, mata Garry seperti menanti jawaban darinya.

"Nggak! Canda doang gue." Garry menjauhkan wajahnya, bersikap santai.

"Ra," panggil Indah tak jauh dari sana. "Kalian bisik-bisik apa sih?"

Keduanya memutar tubuh hampir bersamaan.

"Kepo aja lo!" jawab Garry ketus. Ia memasukkan kedua tangannya di saku celana abu-abu itu.

"Bukan apa-apa kok, Ndah, cuma percakapan nggak jelas." Clara mencoba tersenyum.

"Kalian ini kenapa? Lo ngambek Gar gara-gara Clara nggak mau di kiss sama lo?" Indah terus saja melontarkan pertanyaan ke Garry, berusaha memancing perhatiannya.

Garry memandangnya malas. "Lo mending gak usah ikut campur deh."

Gar, gue nggak terima sifat lo kek gini ke gue. Gue harus misahin kalian berdua, apapun yang terjadi! Kalian harus mengakhiri hubungan palsu itu.

"Udah ah, Ndah, jangan dibahas lagi," kata Clara terkekeh kecil, ia saling tatap dengan Garry sebentar sebelum akhirnya berjalan bersama Indah ke mejanya.

"Lo seriusan nggak mau cerita, Ra?"

"Cerita apaan, Ndah? Tau sendirilah, Garry gombalnya kek gimana."

Asal lo tau, Garry itu dingin dan nggak pernah gombal sama cewek. PEMBOHONG!

Indah ber-oh panjang. "Ya udah deh."

Ia duduk di mejanya, Clara duduk tepat di belakangnya, apa keputusannya untuk tak menceritakan adegan di mobil tadi tepat? Siapa tau Indah bisa kasih solusi kan? Tapi tapi, bagaimana jika Indah malah meledeknya?

"Halah, baru kiss doang, Ra, seharusnya kalian itu lebih romantis lagi!"

Begitulah bayangan respon Indah dalam pikiran Clara. Ia terlalu takut menceritakannya, terlebih lagi hal itu cukup sensitif.

Tak lama Indah bangkit, ia langsung pergi begitu saja. Clara yang melihat itu memanggilnya, dia menoleh setengah badan.

"Ya?"

"Lo mau kemana?" tanya Clara polos.

"Mau ke perpustakaan, mau diskusi soal Kelas Ekstrakulikuler."

Mulut Clara terbuka, sedikit kaget. "Lo jadi ikut, Ndah?"

Cewek dengan rambut sebahu itu mengiyakan, kemudian pergi begitu saja.

"Gosah khawatir, gue bakal pindah ke Kelas Masak," kata Garry sambil tiduran di meja. "Lo nggak ada temen lain selain dia?"

Clara menatapnya, mengiyakan. "Dara?"

Clara sontak menatap Dara yang sedang berbicara santai dengan Salwa. Salwa nggak bakal ngizinin dia gabung sama kelompoknya, lagipula mereka beda kelas dan Salwa tak senang dengan kehadirannya.

"Ya udah, bujuk Larry sana," saran Garry santai, seolah membujuk Larry adalah hal yang mudah.

"Kemaren kan udah, Gar."

"Gue kasih tau ya, Larry itu orangnya pemalu. Lo juga sama, gampangan banget nyerah! Jadi orang itu harus semangat, kalo gagal sekali terus langsung nyerah, lo nggak pantas untuk berusaha," omel Garry.

Lah, ngomel nih orang. Melihat Garry yang berbicara dengan tiduran, Clara jadi menirunya. Perlahan ia pasang telinganya di alas meja, kemudian merilekskan tubuhnya sambil memandang Garry.

Cowok itu tersenyum. "Maksud gue nggak niru orang juga, bego."

"Biarin lah, lagian siapa juga yang niru lo."

"Idih, nggak mau ngaku lo?!"

"Apa sih, Dedemit!" balas Clara menggoda cowok itu.

"Apa lo bilang?! Coba ulang! Ayo ulang!"

Clara perlahan tersenyum, melihat Garry mengomel tak jelas ternyata tidak seburuk itu. Ia bahkan suka melihat wajah Garry dengan raut tersindir.

Indah yang diam-diam melirik mereka berdecak dalam hati. Liat aja lo berdua, kebahagiaan kalian nggak bakal bertahan lebih lama.

Larry masuk ke kelas, ia baru saja kembali setelah permisi pada calon wali kelas mereka. Ia cukup terkaget dengan kehadiran Clara. Bukannya tadi dia ijin nggak masuk? Atau Garry yang....

"Cla-Ra," panggilnya ragu, yang punya nama pun menyaut dalam posisi yang sama.

Larry duduk di bangkunya, "Lo bukannya nggak masuk?"

"Gara-gara suara gue, Lar."

Larry menyadari suara serak Clara. "Ah, suara lo serak ya. Lekas sembuh, Clara."

Ia tersenyum. "Makasih banyak."

Garry mengangkat kepalanya, memutar tubuhnya ke arah Larry. Baju cowok itu terlihat bersih, entah dia buang kemana seragam yang terkena cipratan anggur tadi. Ia ingin menanyakan hal itu, tetapi lokasinya tidak memungkinkan.

"Makasih buat bajunya, Gar," ucap Larry yang menyadari pandangan saudaranya tertuju padanya.

"Buat?"

"Bajunya." Larry mengedipkan sebelah matanya, memberi kode.

Garry menjawab. "Syukurlah kalo bajunya pas buat lo."

Larry tersenyum senang mendengar responsnya.

Wali kelas mereka telah kembali, semua siswa segera duduk di bangkunya masing-masing.

"Clara?" panggilnya.

Cewek itu segera bangkit. "Iy, iya, Pak?"

"Kata Ayah lo tadi lo ijin nggak masuk kan?" tanyanya memastikan.

"Iya, Pak, karena suara Clara yang sedikit serak," jawabnya singkat.

"Terus, kenapa lo bisa di sini?"

"Clara berubah pikiran, Pak."

"Tapi suara lo masih serak gitu?"

"Udah agak mendingan kok, Pak, Clara yakin bisa mengikuti pelajaran tanpa menghambat yang lain."

"Oh, ya udah." Wali kelas itu beralih ke buku absen, mengubah keterangan Clara yang awalnya Ijin menjadi present (Hadir).

"Gimana tugas tadi? Ah, pasti lo-lo pada nggak ngerjain kan?" tebaknya yakin. "Udahlah nggak usah ngeles, udah keliatan dari muka kalian. Enaknya dihukum apa ya?"

"Bapak mau taruhan?" tantang Salwa. "Kalo diantara kami bisa ngerjainnya, Bapak nggak bakal ngatur-ngatur kami lagi."

"Silahkan!" tantangnya. "Bila perlu, buat surat keterangan dari sekolah."

"Oke," balas Salwa. Ia beranjak dan maju ke depan kelas. Menulis ulang soal yang matematika yang diberikan kemudian mengerjakannya dengan lancar.

Salwa menutup spidol hitam, ia berjalan ke arah guru itu dengan senyum sinis, memberikan spidol itu, kemudian berlalu dengan sombongnya.

"Ada yang bisa mastiin jawaban Salwa?"

Diam, tak ada tanggapan.

"Tinggal jawab benar atau salah, sesulit itu?" tanyanya lagi, ia berkacak pinggang.

"Benar, Pak!" kata Dara mengangkat tangannya tinggi. Ia sedikit takut.

"Lo!" tunjuknya ke Dara. "Maju terus lo jelasin. Kalian udah pernah belajar cara pembuktian aljabar, kan?"

Dara tampak kaget, ia mungkin tak menduga jika akan disuruh ke depan untuk menjelaskan, secara perlahan ia maju ke depan, menerima spidol hitam dari guru tersebut dan berdiri tepat di depan papan.

Ia membuka tutup spidol, bersiap-siap menulis, ia melirik ke Salwa yang menatapnya datar.

Tbc....

Ada yang bisa tebak Alasan Dara ngelirik Salwa? Apa dia mau minta jawaban?🤭

Jangan lupa VOTE Guys.
Next chapter!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top