Chapter 39: With Wali Kelas baru
Mobil Garry berhenti di pinggir pagar beton sekolah, Larry keluar dari roda empat itu dan menutupnya kembali.
"Pikirkan lagi," seru Garry dari dalam mobil, setelah kaca mobil turun setengah. "Batas waktunya sampe pulang sekolah nanti. Lewat dari itu, kesempatan hangus."
"Iy, Iya, Gar. Makasih buat waktunya."
Setelah itu, Garry melajukan mobilnya, pergi ke tempat parkiran di sekolah. Sebenarnya bisa saja dia menyuruh supir untuk mengantarkannya, tapi Garry tidak mempercayai orang-orang yang bekerja di bawah perintah orang tua mereka. Bisa saja mereka membocorkan rahasia ke mereka, bukan?
Garry telah sampai di kelas, dia mengamati satu kursi yang kosong, pemilik kursi itu belum datang ke sekolah. Ia melirik jam tangannya, 5 menit lagi sudah memasuki jam pelajaran.
Seseorang menepuknya dari belakang, ia melirik setengah badan, itu Indah yang sedang tersenyum padanya. Indah berpindah ke sampingnya saat cowok itu menoleh.
"Ngapain berdiri di ambang pintu? Pengen kena tabrak?" tanya Indah, sedikit menggoda.
Garry tak menggubrisnya, ia berjalan begitu saja, tangan Indah yang menempel pada pundaknya jatuh begitu saja.
Salwa menahan tawanya, ia baru saja menyaksikan adegan dramatis musuh bebuyutannya.
Indah menyadari perilaku Salwa barusan. Namun, ia tak ingin mengurusinya sekarang. Yang terpenting, ia harus meminta maaf kepada Garry dan meminta cowok itu melupakan tantangannya kemarin.
Setelah berpikir jernih, Indah melakukan hal yang fatal, mau tak mau dia harus memperbaiki hubungan dengan Garry. Jika tidak, semua usahanya selama ini akan jadi sia-sia.
Garry duduk di mejanya, Larry yang sedari tadi duduk membaca buku, perhatiannya tertuju pada Garry yang menghela napas cukup keras.
"Kenapa lo?" tanya Garry dingin ke arah Larry yang diam-diam meliriknya.
"Ah, nggak papa, Gar." Larry membalik halaman bukunya, meski matanya berulang-kali menatap Garry yang terus memperhatikannya.
"Pagi anak-anak!" Guru olahraga, calon wali kelas mereka datang lagi ke kelas itu. "Letoy banget jadi siswa. Gue yang jadi guru aja semangat gini."
Namun, tak ada respon apapun dari kelas tersebut. Mereka malah ilfil karena sikap sok asik dari guru tersebut.
Mendapati tak ada siapapun yang merespons, ia tersenyum miring. "Oh jadi gini, sifat asli kelas kalian? Cuma melamun saat guru berbicara? Otak kalian tuh kepenuhan duit sampe nggak bisa cerna omongan orang lain atau ... kalian memang nggak punya otak sejak awal?"
"Maksud bapak apa?!" Salwa menggebrak mejanya dengan telapak tangan. "Saya nggak terima dikatain begitu."
"Oh, akhirnya ada juga yang punya otak. Kenapa nggak dari tadi sih? Otak lo lemot? Memorinya kepenuhan?"
"Bapak kalo nggak niat belajar mending gak usah masuk sekalian," ujar yang lainnya.
Ia mendengus kecil. "Nggak kebalik? Kalian yang kalo nggak niat belajar mending pulang! PULANG!" usirnya sambil memaki dan menunjuk-nunjuk keluar. Bola matanya membesar, urat syaraf di pelipisnya menonjol besar.
Semuanya diam.
"Kenapa?" tanyanya kemudian, merendahkan suara. "Ciut nyali kalian?"
Masih tak ada tanggapan.
Ia menggeleng, kecewa dengan generasi sekarang, menghela napas berat. "Bapak kasih tau, Clara Amelia ijin hari ini."
Garry yang tiduran di atas mejanya bangkit seketika. Dia nggak masuk? Kemudian dia beranjak, semua perhatian tertuju padanya.
Ia melewati guru itu begitu saja, bahkan ia tak memandangnya sedikit pun.
"Mau kemana lo?" tanya guru itu.
Garry terhenti, ia berkata tanpa menoleh, "Menyelamatkan telinga gue dari bacot murahan lo."
Kemudian Garry melanjutkan langkahnya, keluar kelas dengan santai. Guru itu seolah tak mempermasalahkan tindakan Garry barusan.
"Kita lanjutkan materi matematika minggu kemarin!" perintahnya kepada semua murid yang ada di kelas itu.
Garry segera menuju parkiran, ia menghidupkan mesin kendaraan beroda empat itu dan melaju dengan kecepatan tinggi.
Pikirannya tak stabil, banyak hal buruk di dalam benaknya. Ia bahkan menerobos lampu mereka, saking buru-burunya.
Ia sampai di depan rumah Clara, memencet tombol bel berulang-ulang. Namun, tak ada tanggapan dari dalam rumah.
Haruskah gue manjat?
Setelah berpikir cukup lama, Garry memutuskan untuk menghubunginya lewat Instagram.
Garry:
Napa nggak masuk?
Ngehindarin gue?
Tak lama, pesan ada notifikasi balasan.
Clara:
Siapa yang bilang gitu?
Garry:
Trus, alasan lo apa?
Garry:
Gosah alesan!
Clara:
Read.
Setelah bolak-balik membuka story following, pesan Garry tak kunjung di balas. Saat ia melihat ke depan, cewek itu berdiri tegap di depannya.
Clara mengenakan baju tidur berwarna pink, serta memakai topi sinterklas. Rambutnya acak-acakan, bahkan liur basi masih menempel di ujung bibirnya.
"Astaga dragon!" pekik Garry kaget melihat tampilan Clara, ia bahkan sontak mundur beberapa langkah.
"Ih, apaan sih, Gar?" kata Clara sebal. Suaranya masih sedikit serak, tapi sudah jauh lebih baik dari kemarin.
Garry menormalkan kembali jantungnya dan bersikap sesantai mungkin.
"Tampilan lo ...."
"Iya tau," potong Clara memutar matanya malas. "Lo kok di sini? Nggak sekolah?"
"Harusnya gue yang nanyain itu ke lo."
Clara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Nggak tau ah."
"Tenggorokan lo gimana?"
"Ya gitu, Gar, nggak tau deh ah. Liat aja sendiri," kata Clara jutek, ia sedang kena PMS sekarang. Moodnya benar-benar buruk pagi ini.
"Hah?!" Garry mengkerutkan dahinya.
"Ya udahlah, masuk aja, tapi ada Ayah gue di dalam."
"Nggak usah, gue cuma mau mastiin kondisi lo aja." Garry memberitahu niat kedatangannya.
"Ya udah sih, Gar, tinggal masuk apa susahnya sih? Jangan bilang lo takut sama Ayah gue? Lo kan Lakik! Masa kalah sama gue?" Clara menyombongkan diri karena merasa hebat bertemu dengan orang tua Garry.
"Apa hubungannya?"
"Nggak ada."
"Terus?"
"Ya udah."
Nih cewek napa ngomongnya ngelancur, njir?! Batin Garry.
Karena Clara membukakan gerbang untuknya, cowok itu akhirnya mengalah, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah gadis itu.
"Siapa, sayang?" tanya Ayahnya saat tau anaknya masuk kembali. Ia tengah menyeduh kopi sambil membaca koran harian.
"Pacar Clara, Yah."
Ayahnya menghentikan aktivitasnya yang baru saja mau menyeruput kopi, ia menatap lurus ke belakang Clara, menatap Garry.
"Gar, duduk gih. Sorry-sorry nih ya, rumah gue kecil."
Garry hanya meliriknya, ia perlahan duduk di salah satu kursi meja makan. Di dekatnya ada Ayah Clara yang meliriknya sesekali. Clara sendiri malah masuk ke dalam kamarnya.
Suasana begitu canggung, bermenit-menit berlalu, tapi tak ada satu katapun yang keluar dari mulut keduanya. Ayahnya pura-pura membaca, sedangkan Garry sesekali mengetuk-ngetuk alas meja untuk menghilangkan rasa bosan.
Pintu kamar Clara terbuka, rambutnya basah dan sedang ia keringkan dengan handuk kecilnya. Ia juga mengganti busananya menjadi seragam sekolah.
"Lo...."
Tbc....
****
Pokoknya permintaan aku tetap sama, kasih VOTE dan KOMENnya ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top