Chapter 38: Jeda

Larry membuka pintu kemudian menutupnya kembali secara perlahan. Ia mengendap-endap sambil melihat kiri-kanan, mengawasi setiap sudut ruangan.

Tak lama, semua lampu yang ada menyalah, Larry terkejut dengan semua itu. Tak jauh darinya, terlihat Garry yang bertopang dagu dan menyenderkan bahunya ke punggung sofa, dengan kaki menyilang.

"Baru pulang?"

Larry menghela napas lega, untunglah bukan Mamanya yang memergokinya saat ini. Jika itu Mamanya, dia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.

"Iy, Iya, Gar."

"Sini lo."

Tanpa menunggu lama, ia duduk di sofa depan Garry. Menunggu saudaranya itu mengatakan maksudnya barusan.

"Lo kenapa ngehindar tadi siang? Nantangin gue?"

"Gue ... nggak ada maksud kayak gitu, Gar. Gue kurang nyaman berada di antara kalian."

"Alasan!" tolak Garry kasar. "Lo masih nggak mau jujur sama gue?"

"Alasan gimana sih, Gar?" Larry menunjukkan raut wajah kebingungan. "Gue sama sekali nggak paham."

"Lo nggak sadar?" Garry menaikkan dagunya sedikit. "Hari ini, lo dua kali nolak gue. Apa itu masih kurang?"

"Ya, gue akuin itu, Gar, hari ini gue udah nolak ajakan lo, tapi bukan berarti gue nggak mau kita damai." Larry membela diri.

"Ya udah, kenapa kita nggak berpura-pura berdamai aja?" tawar Garry seketika.

Larry diam cukup lama. Haruskah ia terima tawaran itu? Tapi bagaimana dengan Mamanya? Larry kebingungan memilih.

"Kenapa diam? Lo mau nolak lagi, 'kan?" tebak Garry.

Larry tetap diam, Garry mulai risih dengan suasana senyap ini. Tangannya mengepal erat, tahan Garry, tahan, demi misi.

"Boleh gue tanya sesuatu, Gar?" ujar Larry setelah cukup lama terdiam. "Kenapa lo bersemangat banget kali ini? Lo ... beneran suka dengan Clara?"

Mendapati pertanyaan itu, Garry terdiam, ia memang melakukannya demi Clara. Ia tak ingin membuat gadis itu sedih, apalagi perasaan bersalah karena membuat kesehatannya terganggu tapi sore.

"Mau gue suka, mau gue berdamai sama lo, itu semua atas kehendak gue sendiri." Garry beranjak dari sofanya, meninggalkan saudaranya itu.

Setelah Garry menghilang di balik tembok putih, beberapa pelayan muncul dan menundukkan kepala mereka ke hadapan Larry.

"Mari kami hantar, tuan muda."

Larry menarik napas panjang. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, seharusnya ini adalah kesempatan yang sempurna untuk berdamai dengan saudaranya, tetapi Mamanya tak menginginkan itu terjadi.

Gar, maafin gue.

Larry beranjak, berjalan ke kamarnya (diikuti oleh para pelayan) dan segera merebahkan tubuhnya ke kasur embuk itu.

***

"Tuan muda Garry telah tiba."

Garry berjalan lurus ke kursinya. Di meja makan sudah ada Mama, Larry, dan Papa yang datang bertepatan setelahnya.

Setelah Papa menelan suapan pertama, barulah anggota keluarga lainnya membela sarapan mereka. Dua lapis roti dengan isi telur setengah matang dan beberapa lapis pancake kecil di lumuri sirup maple.

"Ada apa? Tidak ada pertengkaran lahi pagi ini?" sindir Papa tersenyum lebar. "Beginilah harusnya keluarga Alexandre, meributkan hal tidak berguna itu hanya buang-buang waktu."

Garry tersenyum di tengah aktivitasnya, ia berkata sambil membela potongan Pancake. "Kuharap begitu seterusnya, Pa, kalo bisa, aku ingin pergi sekolah bareng Larry mulai sekarang. Lo keberatan gak?" tanyanya.

Larry melirik Mamanya, tidak ada tatapan balasan. Mungkinkah Mamanya tidak mempermasalahkannya lagi?

Mama mereka sibuk memotong pancake itu dan memakannya dengan anggun.

"Iya, Gar, gue nggak keberatan."

Garry meliriknya ditengah aktivitasnya. "Thanks."

Sementara Mamanya langsung menghentikan aktivitasnya dan melirik Larry tak senang. Dia tadinya yakin kalau Larry akan menolak tawaran seperti itu. Tapi apa yang barusan anaknya katakan, gue nggak keberatan?

Anak bodoh! Ingatannya tuli atau memang sudah tidak berfungsi lagi?!

"Bagus!" Papa bertepuk tangan keras, ia bangga dengan apa yang baru saja keluarganya alami. Sebuah keajaiban terjadi, Garry yang tertarik dengan warisan, dan Larry yang tidak membuat masalah kembali.

Ia beranjak, kemudian pergi dari sana dengan senyuman yang lebar, assistennya langsung mengekorinya.

Garry juga ikut beranjak, merangkul tasnya sebelah bahu dan tersenyum sinis ke kedua orang itu.

"Gue tunggu lo di mobil," ujar Garry, setelahnya menghilang di balik dinding pembatas ruangan.

Kali ini Mamanya dengan sengaja menumpahkan anggur ke baju sekolah Larry. Larry sontak terkejut dan menatap Mamanya, tak mengerti kenapa dia bisa melakukan itu padanya.

"Kenapa, Ma?"

"Katakan itu perbuatan Garry. Sudah Mama bilang kan, halangi dia agar misinya gagal. Kenapa kamu malah mengiyakan ajakan Garry?"

Larry hanya bisa terdiam dan menunduk. Ternyata Mamanya masih mengingat perintah itu. Padahal, ia sangat ingin berdamai dengan Garry.

"Tapi Ma, bukannya itu tujuan Mama menjadikan Garry ahli waris perusahaan. Lantas, kenapa sekarang malah mempermasalahkannya?"

"Kamu mau tau?!" tanya Mamanya dengan nada menggertak sambil menunjuk-nunjuk sembarang. "DIA SEPERTI ITU, KARENA PEREMPUAN KEMARIN, DIA TIDAK MELAKUKANNYA DEMI MAMA."

"Mama tau dari mana, kalau Garry melakukannya demi Clara?"

"Lantas, apa alasannya dia tiba-tiba berubah dan menginginkan perusahaan? Itu sudah pasti karena perempuan itu."

"Nggak selalu begitu, Ma, bisa saja Garry mulai menyadari jika sudah seharusnya dia menerima semua harta itu."

"DIAM!" potong Mamanya kencang kemudian suaranya mengecil. "Mama lebih tau Garry ketimbang kamu."

Ia menunjuk-nunjuk dan mengintimidasi anaknya sendiri. Larry hanya bisa diam, menghabiskan sarapannya dengan pelan dan tak bersemangat. Ia keluar rumah dengan baju sekolah terkena siraman anggur.

Garry yang melihatnya tidak mempermasalahkan hal itu, dia tersenyum di samping pintu mobil.

"Ayo, cepat!" serunya.

Larry yang semula menunduk, perlahan mengangkat kepalanya, terlihat senyuman Garry yang semakin lebar.

Mereka kemudian berangkat ke sekolah, Garry menyetir mobil dan Larry duduk di sebelahnya. Tak ada percakapan dalam beberapa menit pertama. Hingga Garry menoleh sebentar, melihat wajah Larry kemudian fokus kembali ke jalanan.

"Gar," panggil Larry lirih, ia menyadari tindakan Garry barusan.

"Hem?" jawabnya tanpa menoleh.

"Ma, Mama nyuruh gue buat fitnah lo."

"Udah tau."

"Lo ... nggak marah?"

Garry mendengus sinis. "Orang licik, harus dilawan dengan cara yang licik juga."

Garry melihat kaca spion kemudian memutar mobil ke kanan. "Lo tau, kenapa gue selalu ngebenci lo?"

Larry menatap saudaranya, itulah pertanyaan yang ingin ia sampaikan sejak dahulu. Sebuah pertanyaan yang selalu terpikirkan di kepalanya saat Garry menjahatinya, membullynya, menghinanya. Larry ingin tau! Sangat teramat ingin.

"Ap, apa?" balas Larry singkat.

"Bakal gue kasih tau kalo lo mau nurutin 5 hal yang gue mau."

"Lima hal?"

Garry mengangguk. "Lo pengen tau kan alasan di balik semuanya? Dan juga, soal kejadian di masa lalu."

"Masa lalu? Gar, maksud lo, ada yang terjadi di—"

Garry mengangguk lagi, dengan senyuman miringnya. "Gimana? Penawaran gue balance, kan? Win-win solution."

***
Tbc....

Win win solution dengkulmu, Gar😂
Ini mah pemerasan antar sodara namanya. Menurut kalian gimana?

See you, next chapter guys. Jangan lupa VOTE, pokoknya wajib....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top