Chapter 37: Tertolak
Mobil mereka telah memasuki jalan raya menuju rumah Clara. Gadis itu sibuk memandangi langit dari balik kaca mobil, karena tenggorokannya yang belum membaik juga, ia memilih untuk diam sepanjang perjalanan.
Garry yang menyupir, sesekali memperhatikannya, menghela napas berat, tuh cewek kek orang depresi aja.
Saat sudah beberapa puluh meter dari rumah Clara, terlihat seorang perempuan yang mengenakan pakaian sekolah menunggu di depan gerbang.
Garry menghentikan mobilnya, mematikan mesin, kemudian keluar mobil yang diikuti oleh Clara.
Sesaat mereka keluar, wanita itu menghampiri keduanya, seolah sudah tau jika mereka akan datang.
"Lo?" panggil Garry dingin.
Indah hanya tersenyum tipis. "Abis kencan ya, kalian berdua?"
Garry dan Clara saling tatap, berdiskusi seolah menentukan apa akan memberitahu Indah yang terjadi atau tidak.
"Kok diem? Gue bener, 'kan, Clara?"
"Iya, lo bener," jawab Garry singkat, ketika Clara hendak menjawabnya. "Lo ngapain di sini?"
"Niat awalnya, gue mau ajak Clara main sih, cuma karena udah keduluan sama lo, ya udah nggak jadi."
Seolah Garry tak mendengarkan omongan Indah barusan, ia malah memeriksa jidat Clara dengan punggung tangannya.
"Lo buruan masuk deh, sebelum makin parah. Istirahat ya! Langsung tidur," nasehat Garry, yang dibalas anggukan dari Clara.
"Clara kenapa, Gar? Ra, lo sakit kah?" tanya Indah, pura-pura peduli.
Clara mengangguk pelan. "Iya, Ndah, gue masuk duluan ya, makasih Gar udah nganter gue pulang. Dadah, semuanya."
Clara kemudian membuka gerbang rumahnya dan menghilang di balik pintu. Sekarang Garry melirik gadis itu, masih dengan wajah dinginnya.
"Gar ... lo bisa nganter gue pulang, nggak?" tanya Indah, sedikit malu-malu.
"Nggak bisa, gue mau langsung pulang habis ini."
Senyuman lebar di wajah Indah langsung sirna seketika. "Gar, rumah kita itu searah, masa sih, lo nggak bisa nganter gue pulang sebentar?"
"Lo napa maksa?"
"Gue minta tolong, Gar, bukan maksa. "
"Ya udah, gue nggak bisa."
"Lo kenapa sih, Gar? Oke, sekarang gue tanya, kapan lo mau putus dari Clara?"
Garry tersenyum sinis. "Kenapa? Gue pikir, itu bukan urusan lo deh, mau sampe kapan gue dan dia pacaran."
"Udahlah, Gar, kita tuh udah temenan sejak kecil." Indah mendekatkan diri. "Gue tau kalo lo itu cuma pura-pura kan pacaran sama Clara?"
Garry mendekatkan wajahnya. "Jadi lo, penguntit itu ya? Wajar aja sih, nggak ngemis uang."
"Gue yakin, cepat atau lambat, lo bakal ngerasa bosan dengan dia, Gar. Demi kebaikan dia, secepatnya lo putusin dia. Gar, lo bayangin kalo kalian udah kelamaan pacaran, terus dia tau kalo lo itu cuma main-main sama dia, dia bakal lebih sakit, Gar."
"Oh gitu," respons Garry datar.
"Lo harus ikuti saran gue, Gar. Sebagai temannya, gue nggak mau dia terlalu terluka."
Munafik! Cewek bajingan!
"Gue paling nggak suka sama cewek yang manis di depan, tapi busuk di belakang."
Indah mengkerutkan dahinya. "Maksud lo apa, Gar?"
"Itu lo, Indah Patrecia. Kita udah temenan sejak kecil, jadi gue tau maksud dari setiap omongan lo. Lo bilang sebagai teman, tapi nyatanya itu cuma buat keuntungan pribadi lo sendiri."
"Lo ngomongin apa sih, Gar?" Indah pura-pura semakin tak mengerti.
"Masih mau pura-pura lo?" Garry memutar matanya malas, dengan sedikit anggukan kepala. "Oke kalo itu yang lo mau. Kita liat ke depannya, lo yang kehabisan cara buat misahin kami, atau gue yang keburu bosan dengan hubungan ini."
"Gar, lo udah keterlaluan. Lo nuduh gue yang bukan-bukan," bantah Indah cepat. "Gue nggak sedikit pun mau misahin kalian demi keuntungan pribadi, gue ngelakuin itu demi masa depan kalian berdua. Tolong ngertiin itu, Gar."
"Mun-na-fik!" balas Garry kesal. Ia memutar tubuhnya, meninggalkan Indah sendiri. Cewek itu tidak terima, ia berlarian menghadang jalan Garry.
"Tolong perjelas maksud dari perkataan lo, Gar. Lo kenapa deh? Apa jangan-jangan, Clara ngelarang lo buat temenan sama gue. Gitu?"
Garry tak menggubrisnya, ia sedikit bergeser ke sebelah kanan, dan melanjutkan jalannya. Kali ini Indah tidak mengejarnya lagi, ia hanya membalik tubuh, memperhatikan punggung Garry yang menjauh.
Indah pun berteriak keras. "Garry, lo! LO BAKAL NYESEL LEBIH DENGERIN DIA KETIMBANG GUE!"
Garry membuka pintu mobil kemudian terhenti karena teriakan Indah barusan. Ia menatapnya remeh.
"Lakuin, lakuin semau lo, Indah. Yang pasti, gue nggak bakal pernah jatuh ke pelukan lo."
Garry masuk ke mobil dan menutup rapat pintunya, menyalahkan mesin dan melaju kencang di samping Indah yang berdiri tegap di pinggir jalan.
Angin berhembus, melewati tubuh ramping Indah, tanpa sadar, butiran air mengalir di pipinya. Ia menunduk, perasaannya campur aduk. Gumpalan tangannya mengeras, tubuhnya bergetar kecil.
Kalian berdua! Akan merasakan akibatnya nanti.
***
Seorang satpam membukakan gerbang untuk mobil Garry, cowok itu segera keluar dari mobilnya dan melempar kuncinya ke satpam tersebut untuk di parkirkan. Hari sudah berganti malam.
Saat dia membuka pintu rumah, beberapa pelayan mendekatinya dan membungkuk hormat.
"Selamat datang, tuan muda," kata mereka kompak.
Garry mengabaikan sambutan dari mereka, ia berjalan santai melewati para pelayan perempuan itu. Umur mereka sekitar 25 tahun dengan rambut di kuncir donat.
Para pelayan tadi mengekori Garry dari belakang. Itu memang sudah aturan tertulis di kontrak kerja mereka.
Garry pergi ke ruang meja makan, tak ada siapapun, benar-benar kosong bahkan pelayan pun tak ada.
Garry menghela napas, sebelum akhirnya duduk di meja itu.
Saat pelayan mengangkat botol besar anggur, Garry mengangkat tangannya, sebagai tanda untuk membatalkan.
Pelayan itu mengangguk mengerti, kemudian pergi dari rak botol anggur.
Pintu depan terbuka, Garry tau seseorang telah pulang. Jika bukan Mamanya, pasti saudara, Larry.
Ia menunggu dengan sabar. Kemudian terlihat Papanya yang melewatinya begitu saja, terlihat sedikit panik.
"Kenapa, Pa?" sapa Garry dengan senyuman. "Perusahaan terancam bangkrut kah?"
"Anak kurang ajar, jangan menggangguku sekarang!" teriak Papanya yang tersinggung dengan kata-kata Garry barusan.
Garry perlahan menghapus senyumnya, menatapnya dengan raut wajah yang datar. "Jika aku dan Larry berdamai, Papa akan memberikan semua aset perusahaan, bukan?"
"Tentu saja. Kenapa memangnya? Kau berubah pikiran, hah?!"
"Tapi aku memiliki syarat tersendiri untuk menerima semua warisan itu."
"Apa? Sebutkan saja, akan kubelikan."
"Akan kukatakan jika sudah saatnya menerima semua itu." Garry menyender punggungnya santai.
Papa menatapnya datar. Ada hal yang ia takutkan, Garry bukanlah anak yang akan mengemis masalah barang kepadanya, jika bukan barang, pasti ada suatu hal yang mau tak mau harus mereka penuhi.
Hal yang paling ia takutkan adalah, Garry menyingkirkan Larry dari hidupnya. Meski anak itu penuh dengan masalah, tapi mau bagaimana pun, dia tetap anaknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top