Chapter 26: Awal Musibah.
________
Kebiasaan itu sulit untuk dirubah!
~Garry Alexandre.
_________
***
"Ya?" jawab Dara tak jauh dari sana. Semua orang menoleh ke arahnya. Dia pun terheran, karena tak mengerti situasi yang sedang terjadi. Ia tadi sudah hendak ke kantin, tapi dompetnya tertinggal di tas.
"Nggak, tadi Salwa nyariin lo. Tuh Dara udah balik," ucap Indah tersenyum tipis ke arah musuhnya itu.
Salwa yang menyadari kehadiran Dara pun merapikan rambutnya cepat dan menghampiri gadis penerima beasiswa iu.
"Eh, lo abis dari mana?" tanya Salwa sambil sesekali melirik Indah yang masih tersenyum tipis ke arah mereka.
"Kan tadi gue udah bilang mau ke kantin. Btw, ini kok rame-rame ada apa ya? Indah, Clara?"
"Nggak, cuma ngobrol biasa. Kan kalian baru pindah ke kelas ini, jadi harus ada penyesuaian dari kami." Indah membalas. "Atau mau ke kantin bareng?" tawar Indah sambil menunjuk arah kantin.
"Nggak perlu," tolak Salwa cepat, ia beralih ke Dara, "lo temenin gue ke perpustakaan ya, ada yang mau gue omongin."
"Oh, oke."
Setelah itu keduanya pun pergi dari sana. Barulah Clara bisa bernapas lega, ia tahu Dara akan dimanfaatkan oleh Salwa untuk mengacaukannya. Salwa sudah memanfaatkan Dara selama ini, dan sepertinya ia tak keberatan sama sekali.
"Kalian ke kantin aja, gue mau ngobrol sama Larry," kata Garry tiba-tiba. Ia melirik Larry yang sedikit terkejut dengan omongannya barusan.
"Oke, yuk Clara. Hari ini gue traktir burger lagi mau?" tawar Indah sambil berjalan beriringan ke arah pintu kelas.
Keduanya hilang dibalik pintu. Barulah Garry menghadap ke arah Larry. "Lo barusan, ngapain pegang-pegang lengan gue?"
"Anu, gue cuma nggak mau keributannya semakin kemana-mana."
"Maksud lo?" Garry menaikkan sebelah alisnya. Jika jawaban Larry tidak memuaskan, ia akan menghantam pukulan lagi ke wajahnya itu.
"Salwa sengaja mancing lo biar ngebelain Clara, Garry. Dengan gitu, ia bisa mempermalukan Clara dengan dalih 'Wanita lemah' ataupun 'Murahan', gue harap lo bisa ngerti maksud gue."
"Gue bodoh amat sama pendapat orang lain."
"Itu menurut lo, Gar. Clara gimana? Apa dia bisa jadi sebodoh amat kayak lo? Nggak, 'kan?"
Garry berdecih, kemudian pergi begitu saja meninggalkan Larry sendirian. Apa yang dibilang saudaranya itu benar. Jika ia bisa menghadapinya, Clara belum tentu bisa. Tapi tunggu, kenapa dia jadi kesal tak beralasan begini? Jika Clara tak sanggup menjalani hubungan pacaran dengannya, bukankah itu berarti dia menang?
Tapi kenapa, kenapa hatinya merasa bersalah karena tak membela Clara barusan? Apa ini karena rasa penasaran yang Garry miliki terhadap Clara?
Tidak! Garry harus segera menepis pikiran lemah seperti itu. Jangan sampai kata-kata Larry memengaruhinya.
***
Salwa dan Dara duduk bersebrangan, saling berhadapan. Salwa pura-pura membuka lembaran kertas sambil sesekali melirik ke Dara yang benar-benar membaca buku.
"Dar," lirih Salwa, ia menolah kiri-kanan takut ada yang terganggu, "lo udah punya materi buat kelas Ekstrakurikuler nanti, 'kan?"
Dara mengangguk cepat. "Kenapa emang?"
"Stttt, pelan-pelan." Salwa meletakkan telunjuknya ditengah bibir. "Jangan kenceng-kenceng, nanti ada yang dengar."
Dara menghentikan aktivitas membacanya dan memajukan tubuhnya, menyimak dengan serius. "Apa?"
"Lo mau sekelompok sama gue? Tenang, gue bakal bayarin semua biaya buat kelas 12 ntar."
"Tapi Salwa, kalo materi gue kalah gimana?" Dara balas berbisik.
"Nggak usah mikirin sampe ke sana, yang penting kita usaha dulu. Mau nggak?"
"Hem." Dara tampak berpikir sejenak. "Ya udah deh," katanya.
"Yeay! Makasih, Dara. Lo nggak perlu khawatir soal biaya, yang penting lo fokus aja ke materinya, oke? Urusan pendaftaran, biar gue yang handle."
"Oke." Dara mengacungkan jempolnya.
***
Garry masuk tanpa aba-aba ke ruangan kepala sekolah, ia menatap lurus tajam ke arah pria berumur yang tengah duduk melihat-lihat kertas dokumen sekolah.
Ia segera menyadari kehadiran Garry, refleks beranjak dan menyapanya. "Ada apa, tuan muda?"
"Masih nanya ada apa?" Garry tidak menjawab, malah bertanya balik dengan nada ketus.
Kepala sekolah tersenyum tipis, ia segera menghampiri anak donatur sekolah itu sambil mempersilakannya duduk. Garry menurut, sementara ia menuangkan teh ke dalam gelas keramik itu. Meletakkannya di depan Garry kemudian duduk, saling berhadapan.
"Bisa tuan muda jelaskan lebih spesifik?"
"Salwa Amanda Jaya."
Mulutnya terbuka lebar, ia baru mengerti alur permasalahan sekarang. "Tuan muda, saya pikir Anda tidak akan keberatan dengan pindahnya saudara Anda ke kelas yang berbeda."
"Memang."
Dahinya mengkerut, jadi apa permasalahannya?
Garry memajukan tubuhnya, bertumpu pada pahanya. "Kenapa Clara Amelia, si anak baru itu juga dipindahkan?"
Kepala sekolah tetap terlihat tenang. "Ah, di sana permasalahannya. Itu atas permintaan siswa penerima beasiswa, Dara Febriani. Anda biasanya tidak keberatan dengan semua yang siswa itu minta. Apa kali ini dia menunjukkan perlawanannya dengan Anda, tuan muda?"
"Tidak." Garry menjawab cepat. "Pada intinya, gue nggak mau Salwa dan si Dara itu ikut dalam kelas Ekstrakurikuler."
"Dalam masalah ini, saya tidak bisa bantu, tuan muda. Setiap siswa diperbolehkan untuk ikut berpartisipasi di dalamnya."
"Gue nggak peduli," jawab Garry dingin, "lakukan apapun caranya, sama seperti Anda memaksa Papa gue untuk donasi ke sekolah ini. Sekian."
Setelah mengatakan itu, Garry beranjak dan meninggalkan ruangan itu. Sementara kepala sekolah masih diam di tempat dan melotot lebar.
Anak itu, semakin hari semakin bertingkah. Jika bukan karena Ayahnya yang kaya itu, sudah lama kukeluarkan dia. Juga, menyingkirkan Salwa? Itu tidak mungkin, mau apapun alasannya.
Ia menghela napas panjang, perlahan menunduk, mencoba berpikir keras, kira-kira cara apa yang harus ia pakai untuk memenuhi keinginan dari Garry?
***
Suara ribut, hip-hip hura-hura ada di lapangan karena sekolah telah usai.
Clara dan Indah berjalan beriringan keluar pagar, rencananya mereka akan nongkrong sebentar untuk menyegarkan otak mereka kembali. Namun, itu semua batal karena tingkah aneh seseorang.
"Ra, mau di cafe atau restoran?" tawar Indah dengan senyum lebarnya.
Clara berpikir sejenak. "Cafe aja sih, soalnya gue juga mau diet."
"Oalah. Oke deh."
Badan kurus nggak keurus gosah sok-sokan diet lo. Sengaja hah?! Biar Garry nggak bisa berpaling dari lo, gitu?
Salwa dan the Gang tiba-tiba menghadang jalan mereka, menatap keduanya dengan tatapan nakal dan hendak mengerjai mereka.
"Mau apa lagi lo, Salwa?" tanya Indah, memiringkan kepalanya, mendengus kesal.
Salwa menyegir. "Gue cuma mau ikut kalian nongkrong aja, kok. Emang salah? Lagian kan, gue ini temen baru kalian. Masa sih, sampe segitunya?"
"Salwa," balas Indah dingin, "keknya ini bukan pertama kalinya lo begini deh. Masih inget kan dengan mantan Garry yang kemarin? Masih belum puas manfaatin Dara, hah?"
"Maksud lo apa?!" Salwa menaikkan dagunya, tak terima dengan apa yang Indah bilang barusan. "Lo nuduh gue?"
"Udah-udah. Ndah, gak papa mereka ikut sesekali."
"Yakin, Ra?" Indah menatapnya, sambil sesekali melirik tajam ke Salwa yang sekarang tersenyum miring.
Clara mengangguk.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top