Chapter 23: Harus bagaimana?!

_________
Roda dunia itu aneh, kadang di atas, bisa juga berputar seketika ke bawah.
~Clara Amelia
__________
****

"Sayang?" panggil Garry lembut. Membuat mata Clara terbangun cepat. Cowok itu kembali ke posisinya semula, seolah tak pernah beradu pandang dengannya.

"Y-Ya?" jawab Clara. Ia bahkan meragukan panggilan barusan. Semuanya terasa seperti mimpi. Ada apa dengan dirinya saat ini?

"Ayo masuk, tadi kamu jalan sambil nunduk gitu, aneh-aneh aja." Garry membimbingnya berjalan sambil terus tersenyum ke arahnya. Seperti Pangeran yang tersenyum lebar ke arah tuan putri.

"Ah, iyaa."

Clara terlihat malu-malu. Lah, lah, kok gue jadi feminim gini? Sejak kapan gue kek gitu? Atau, yang Dara katakan pas awal masuk sekolah benar?

'Ra, emang lo nggak pernah mimpi ketemu pangeran tampan kek Garry? Dia itu bagai malaikat maut yang melelehkan hati setiap cewek. Tau!'

'Melelehkan ... hati!'
'Hati ... melelehkan."

Sialan, tanpa Clara sadari dirinya sudah kena hipnotis Garry selama ini. Apa jangan-jangan, Dara menyarankan rencana seperti tadi juga disebabkan oleh Garry? Dasar penyihir licik.

Namun, sampai ke bangku duduknya, Clara hanya diam meski jiwanya meronta-ronta, hanya memberi banyak perlawanan dalam pikiran.

Siswa lain seperti sedang menikmati adegan drama film romansa di kelas. Hanya berdiri diam layaknya karakter pendukung.

"Sepulang sekolah nanti mau kemana?" tanya Garry masih dengan senyuman di wajahnya.

Mata Clara langsung melirik Garry. "Entah," jawabnya singkat, berusaha menyaingi senyuman cowok itu. "Keknya langsung ke rumah aja sih. Soalnya pasti capek banget pulang sekolah nanti."

"Okey."

Kena lo! Pikir Garry dalam hatinya, ia tersenyum tipis sinis.

***

Bell pulang telah berbunyi, seluruh penghuni kelas berhamburan keluar gerbang. Clara yang masih berberes dengan buku-bukunya, mendapati Garry yang dengan sabar menantinya. Padahal, Larry dan Indah saja sudah memilih pergi duluan.

"Sorry ya, lama, hehe." Akhirnya Clara menggendong tasnya itu, ia kemudian beranjak.

"Lo sengaja, 'kan?" Tiba-tiba raut wajah Garry berubah menjadi seperti semula. Seolah senyuman manis tadi tak pernah ada.

"Maksudnya?"

Garry beranjak berdiri. "Lo pengen kita berduaan di kelas ini. Lo suka, 'kan?"

"Nggak juga." Clara masih menghindari kontak matanya.

"Cih, padahal tinggal ngaku aja, apa susahnya, sih. Oh iya, mau berapa lama kita pacaran? Atau nggak, kita langsung nikah aja deh. Gimana?" tanya Garry sambil tersenyum miring.

Ngadi-ngadi otaknya, ya Tuhan!

"Gar, gue tau kalo kita dah sama-sama sepakat buat pacaran. Tapi pikiran lo itu terlalu ke depan. Kita bahkan belum genap setengah hari ngejalaninnya."

"Oh," kata Garry panjang, ia melangkah ke depan, membuat Clara semakin terpojok ke ruangan kelas. Hingga punggungnya menempel pada dinding, Clara malah menutup mata.

Garry menempelkan telapak tangannya ke dinding dekat wajah Clara. "Emang kenapa? Lo ragu? Atau, lo belum siap menyandang nama Alexandre?"

Sialan, norak banget nih orang. Gue sampe bingung harus ngomong apa biar dia ngerti.

Garry mendekatkan wajahnya, hembusan napas berat Clara terdengar jelas, ia benar-benar gugup saat ini. Haruskah gue kabur aja? Tapi kan dia ini pacar gue sekarang.

"Yok," ucap Garry tiba-tiba. Dia sudah menjauh dari Clara dan menyandang tas kecilnya itu. Clara perlahan membuka matanya dan benar-benar merasakan keanehan yang tidak dapat ia jelaskan.

"Ah, iya."

Clara membuntuti Garry dari belakang. Ia sampai ikut naik ke mobil yang biasanya menjemput Garry dan dihantarkan sampai di depan rumah. Cowok itu melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan hari ini, ia kembali masuk ke mobil saat Clara sudah berada di ambang pintu rumahnya.

Mobil pun melaju, Clara benar-benar merasa heran sekaligus senang. Kadang sifat Garry seperti layaknya pria idaman setiap cewek. Namun, bisa juga seperti Psikopat gila yang menyiksa korbannya secara perlahan.

"Clara," panggil ayahnya, sesaat setelah ia meletakkan sepatu ke rak mini. Clara melirik tapi tidak menjawab. "Kamu masih dihantar pacarmu itu?"

Bukannya membalas pertanyaan ayahnya, ia malah bergegas pergi ke kamar.

"Bundamu!" kata Ayah cepat, menghentikan tangan Clara yang sudah memegang gagang pintu kamar.

Ayahnya yang semula duduk di meja, kemudian berdiri dan menghampiri Clara. "Kamu ganti Handphone ya? Kok nggak bilang-bilang Ayah?"

Clara menghela napas kesal, ia menoleh ke Ayahnya dengan malas. "Apa Ayah bilang ke aku kalau bakal pisah sama Bunda? Nggak, 'kan?"

"Bukan itu yang Ayah tanyakan sekarang, Clara."

"Bukan pertanyaan itu juga yang Clara ingin jawab sekarang. Tadi Ayah bilang Bunda, kenapa dengannya?"

Sang Ayah tampak ragu menjawabnya. "Dia menelpon dan menuduh Ayah membuang Handphone kamu. Bundamu benar-benar marah dan menuduh Ayah yang bukan-bukan. Kamu paham, kenapa Ayah nanya seperti tadi?"

Clara hanya menanggapinya dengan kedipan kebingungan. "Tinggal Ayah bantah semua tuduhan Bunda. Gampang, 'kan?"

"Kamu yang paling tau karakteristik dari Bundamu."

Memang benar, semasa kecilnya Clara selalu menceritakan semua pengalaman yang ia dapatkan. Tidak ada satupun rahasia Clara yang tidak Bundanya tahu. Begitupun sebaliknya, Clara sangat tau apa yang akan Bunda lakukan jika menghadapi sesuatu.

"Clara?" panggil Ayahnya, menyadarkan putrinya dari lamunan.

Clara tersadar tapi masih dengan posisi yang sama. "Biar Clara yang bicara sama Bunda."

Setelah mengucapkan itu ia masuk kamarnya dan mengunci pintu. Segera ia ambil gawai barunya itu dan memanggil nomor kontak "Bunda."

Namun, sudah beberapa kali dicoba panggilan itu tak kunjung diangkat. Clara takut Bundanya akan melakukan hal nekad.

Hingga sebuah panggilan dan terpampang nama "Bunda" di layar. Segera Clara angkat dan menempelkan gawainya ke telinga.

"Hallo, Bunda?"

"Clara, kamu baik-baik saja kan, sayang?" Suara Bunda terdengar panik dari dalam ponsel.

"Iya, Bunda, iya, Clara baik-baik aja kok. Bunda yang tenang ya, jangan sampai penyakit lama Bunda kumat lagi. Bunda masih rutin terapi, kan?"

"Iya, sayang, Bunda rajin terapi demi bisa membawa kamu pergi menjauh dari Ayahmu yang egois itu. Dia tidak macam-macam, 'kan?"

Clara menggeleng. "Nggak kok, Bun."

Terdengar dari ponsel, bundanya menghela napas lega. "Syukurlah, setidaknya kamu masih aman saat ini."

Dari telepon terdengar suara lain, seperti pasar. "Bunda ada dimana sekarang?" tanya Clara penasaran.

"Bunda cuma beli beberapa bahan makanan, sebentar lagi juga pulang. Oh iya, kamu dikasih makan apa sama Ayahmu?" Nada Bunda sudah lebih tenang sekarang.

"Makanannya enak kok, Bun, kalo Bunda sendiri gimana di sana?"

"Sama seperti biasanya, perawat melarang Bunda memekan beberapa jenis makanan untuk mencegah kepanikan berlebih."

"Bunda masih rutin minum obat, 'kan?"

Diam, tak ada suara apapun. Clara melirik ke ponsel, takut terjadi apa-apa. "Bunda? Bun?"

Clara mondar-mandir tak jelas, ia bahkan memeriksa apa panggilan masih tersambung, ternyata masih. Namun, suara Bundanya lenyap bagai ditelan bumi.

***

Sorry ya, kalo rada kurang cepat updatenya, lagi ramadhan dan jariku juga ikutan lemes, bestie😔

Jangan lupa Vote, Bestie, karena itu bikin saya senang🥰

Sampai ketemu di next chapter, BestieQue🥰🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top