Chapter 20: Maaf
__________
Meminta maaf itu lebih mudah ketimbang memaafkan.
~Clara Amelia.
___________
***
Tring!
Sebuah notifikasi masuk, Clara yang sedang mengikat rambutnya kuncir kuda segera mengambil gawainya dan menyalahkan layar. Ia tersenyum lebar saat membacanya, itu adalah pesan dari Indah yang mengatakan dia akan menjemputnya lagi hari ini.
Bukan Clara senang karena di antar gratis, tapi dia jelas lebih memilih untuk pergi bersama Indah ketimbang Ayahnya.
Namun, notifikasi lain muncul dan itu sebuah panggilan video. Tanpa pikir panjang Clara langsung mengangkatnya.
Ia terbelalak saat tau siapa saja yang bergabung dalam panggilan itu. Garry! Kenapa bisa cowok itu ada di sana?
"Lo gue jemput, tunggu 5 menit," kata Garry sambil menyetir mobilnya, tampak ia sangat ngebut dalam berkendaraan.
"Lah, bukannya Indah yang mau jemput gue, Gar?" tanya Clara bingung, ada apa ini sebenarnya? Kenapa Indah hanya terdiam di depan kamera?
"Anu, sorry ya, Clara, gue batal jemput lo. Soalnya gue ada beberapa urusan sebelum ke sekolah."
Mendengar alasan Indah, ia hanya menghela napas panjang.
"Kenapa? Nggak suka gue jemput?" tanya Garry dengan nada yang dingin, dia rupanya memperhatikan Clara sesekali sambil menyetir.
"Ya nggak lah. Ya kali kan gue nggak suka dijemput pacar sendiri," balas Clara dengan senyum tipis di bibirnya.
"Ya udah, tunggu aja. Dah, gue mau fokus nyetir dulu."
Garry Leave Call.
"Eh, gue juga keknya udah hampir sampe tujuan. Gue matiin ya, Clara, cie yang bisa ngebucin selama perjalanan ke sekolah." Indah menggodanya, meski di dalam hatinya sangat membenci hal ini.
"Ih, apaan sih, Ndah."
Indah tertawa sebentar kemudian melambai-lambaikan tangannya. Setelahnya panggilan pun berakhir.
Indah langsung melempar keras gawainya sembarang. Ia kesal, bagaimana mungkin hal ini terjadi? Dia kira, Clara dan Garry sedang bertengkar bukan? Bagaimana mungkin mereka bisa bersikap sesantai itu tadi?!
Dadanya kembang-kempis saking kesalnya. Ia berteriak kencang hingga melengking memenuhi seisi mobil. Sang supir pun hanya bisa menutup telinganya erat-erat.
***
Klakson mobil terdengar tak lama setelah panggilan video barusan berakhir. Clara yang mengetahui jika itu klakson mobil Garry segera merangkul tasnya dan berjalan ke luar rumah. Mengacuhkan sang Ayah yang tengah menyiapkan sarapan pagi mereka.
Garry membuka kaca mobil, terlihat dia mengenakan kacamata hitam pekat. Garry menurunkan sedikit kacamatanya dan melihat ke Clara yang berdiri di depannya.
"Ayo, masuk, lo mau dihukum telat?"
Namun, tak ada respons dari Clara, ia membuang muka.
"Ada yang mau gue omongin," lanjut Garry dengan nada serius. "Ini penting."
Barulah Clara membuka pintu mobil dan memasuki kendaraan beroda empat itu. Garry langsung menancap pegalnya perlahan.
"Maaf soal kemaren." Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut Garry, ia menatap lurus ke depan.
"Gue kira orang kek lo itu nggak bakal mau ngucapin maaf segampang ini," respons Clara sambil mendengus kecil.
"Sebutin nominal yang lo mau, gue udah salah paham."
"Gue nggak butuh uang lo, Gar, ngedenger lo udah minta maaf aja gue udah senang."
Garry mengambil selembar kertas kuitansi di laci mobil dan menyerahkannya ke depan Clara.
"Udah gue bilang—"
"Tulis aja, berapapun yang lo mau."
Clara mengambil pulpen dalam tasnya dan menulis angka nol besar di kwitansi itu.
"Jangan dicoret woy, ntar nggak laku ditukar!" teriak Garry gelagapan karena tak bisa menjangkau kwitansi itu sambil menyetir.
"Biarin, gue juga nggak peduli."
Garry menyerah, menghela napas panjang, sepertinya uang bukanlah hal yang Clara inginkan, entah apa yang harus Garry lakukan untuk menebus kesalahannya.
Hingga mobil Garry telah tiba di depan gerbang, tak ada obrolan lagi dari keduanya. Kemudian saat Clara hendak turun, ia memegangi tangan gadis itu yang sontak menoleh.
"Kenapa?"
"Gimana jawabannya lo, soal yang kemaren?"
Wajah Clara memerah seketika.
"Me-Menuruuut l-lo?!" Clara gelagapan malu, sedetik setelahnya ia melepaskan genggaman lembut itu dan berlari masuk ke area sekolah.
Garry mematung. Tak pernah menyangka akan melihat ekspresi secantik dalam hidupnya. Lalu apa ini? Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya bergetar kecil dan sangat-sangat tidak nyaman.
***
Larry datang ke sekolah tak lama setelah Garry memarkirkan mobilnya. Kondisi perutnya sedikit lebih baik sekarang, ia juga membawa obat-obatan, untuk antisipasi.
Dari jauh dia melihat Clara dan hendak mengejarnya, tapi tiba-tiba segerombolan siswa cowok menghadangnya dengan senyuman lebar.
"Lar," panggil salah satu dari mereka.
"Iya?" Larry terpaksa berhenti dan meladeni mereka.
"Mantan lo nungguin," lanjut siswa tadi. Rambutnya acak-acakan dan di pelipis kirinya ada bekas luka.
Larry sedang tak ingin menemuinya. "Aduh, maaf ya, kalo nanti aja bisa nggak? Gue masih—"
"Hem?" Pandangan gerombolan tadi tiba-tiba menjadi datar dan dingin. Mereka akan selalu bertindak demikian jika Larry berusaha menghindari permintaan mereka.
"Oke, tapi sebentar doang ya, gue masih urusan." Larry menghela napas dan mengurungkan niatnya untuk menyapa Clara pagi ini. Dia terpaksa mengikuti gerombolan tadi ke sebuah taman di ujung sekolah.
"Hallo, mantanku tersayang," kata seorang siswa, cowok, melompat terjun dari ranting pohon besar. Rambutnya pendek dengan sedikit garis-garis rambut di dekat telinganya.
"Ada apa lagi?" tanya Larry cepat. Ia benar-benar tak ingin berhadapan dengan cowok di depannya ini.
"Duh, jangan cuek gitu dong, nanti gue ngambek loh."
Lagi-lagi Larry menghela napas. "Bisa katakan saja apa yang lo mau? Serius Ferdi, gue banyak urusan."
Si cowok yang dipanggil Ferdi tadi menoleh. "Oh, mau move on dari gue ya. Padahal gue pengen main sama lo, 30 menit aja sih, Sang* berat soalnya."
"Jadi lo manggil gue ke sini cuma buat itu?" Larry tak habis pikir.
"Yah, gimana ya, soalnya kalo main sama lo, burung gue jadi betah lama-lama di dalam sangkar."
"Lo nggak keberatan, 'kan?" lanjutnya.
Larry hendak pergi, tetapi gerombolan tadi menghadangnya. Mereka mengelilingi Larry dari segala arah.
"Fer, lo sewa orang lain dulu, gue lagi badmood pagi ini. Tolong pengertian lo."
Ferdi tersenyum sesaat. "Jadi kapan, kiranya badmood lo hilang? Gue nggak bisa nunggu lama-lama, loh."
Larry tak menjawab, ia sibuk memperhatikan sekitar, mencari celah untuk kabur tetapi mereka sangat banyak, lima sampai delapan orang dan tubuh mereka besar-besar. Larry tak mungkin menerobosnya.
"Oi, kok gue dikacangin sih? Jangan salahin gue ya, kalo terpaksa pake kekerasan," ancam Ferdi, dia berjalan mendekat ke Larry dan mengangkat dagunya perlahan. "Ais, cepat hilangkan badmood itu, gue rada enek liatnya."
Larry menepis pelan tangan Ferdi dari dagunya.
Ferdi memberi kode ke gerombolan tadi untuk membebaskan mantan kekasihnya itu lewat. Larry yang mengetahui itu langsung pergi begitu saja dari sana. Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang merekam kejadian itu dibalik pohon.
***
Hayo, kalian rada jijik nggak sih sama percakapan Larry sama Ferdi? Kalo sekiranya terganggu, bakal aku ganti kok. Takutnya terlalu vulgar dan malah kalian report 😢
Tolong responnya ya, teman-teman.
Jangan lupa juga buat Vote nya🙏
Makasih semuanya...🥰👍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top