Chapter 15: Makan siang keluarga

_________
Seseorang mempunyai alasan untuk bersikap seperti itu.
~ Garry Alexandre
_________
***

Indah mengunjungi kembali tokoh itu. Kebetulan masih dengan petugas yang sama, ia tanpa ragu kembali duduk di depan sales itu dan menyodorinya gawai Clara yang masih tersisa susu di beberapa bagian.

"Iya, Kak? Ada yang bisa kami bantu?" tanya sales itu tak mengerti dengan maksud Indah.

Indah melihat sekitar, mengawasi, kemudian menjawab, "Bisa selamatin datanya, nggak?"

Sales itu mulai mengecek seisi bodi gawai itu, depan, belakang, menekan beberapa kali tombol power dan mengecek setiap bagian port atas-bawah gawai.

"Agak sulit, kak. Cairan susunya sudah masuk ke dalam."

"Kubayar 10 kali lipat, jika kamu sanggup. Ini DP-nya, tolong kirimkan gawainya ke alamat ini."

Indah menyerahkan amplop putih bersih beserta alamatnya. Mata sales itu membulat setelah melihat isi amplopnya. Berlembar-lembar uang kertas merah. Ia kira remaja di depannya ini sedang nge-prank.

"Baiklah, akan saya kirim dalam waktu dua hari." Dia menyimpan amplop itu ke dalam sakunya, takut jika ada orang lain yang menyadari transaksi mereka.

Indah tak membalas, ia segera pergi dari sana, kemudian memantau lantai bawah di dekat elevator, masih terlihat Clara yang berjalan santai keluar Mall.

Indah tersenyum miring penuh arti.

***

Di sebuah rumah mega dan mewah...

Garry melempar tasnya sembarang dan segera menuju meja makan, ikut bergabung bersama Mama dan Larry yang sudah dulu makan siang. Pelayan menarik kursi yang hendak diduduki oleh Garry. Ia pun memajukan kursinya kembali.

"Gar, tumben lu gabung makan siang, biasanya makan di luar," ucap Larry tak lama setelah Garry duduk.

Garry tak menjawab, dia hanya mendengus kecil dan membuang muka. Berbeda dengan sang mama yang melototi anaknya, Larry.

"Jangan begitu. Sudah bagus saudaramu mau bergabung, Mama cukup bosan selalu makan bersamamu."

Namun, Larry hanya membalas senyuman dari perkataan Mamanya yang sangat menyakitkan.

"Jangan tersenyum!" larang Garry dingin. "Gue nggak suka."

Larry menghapus senyumnya dan mengulum bibir. "Gar, apa sih yang bakal lo suka dari gue?"

"Entah, mungkin gue udah ditakdirkan buat membenci lo."

"Sudah-sudah!" Mama menyela, saat pelayan mulai masuk membawa makan siang mereka. Masing-masing anggota keluarga dapat satu hidangan dengan sedikit tuangan anggur di gelas mereka.

Suara kaki terdengar sebelum orang itu memasuki ruangan, Sang Papa telah datang ke ruangan tersebut dan disambut seperti anggota lainnya. Dengan sebuah hormat special.

Si papa tidak melirik makanan yang sedang di hidangkan pelayan, dia justru terpaku pada anaknya, Garry Alexandre.

"Kupikir hari ini, kita kedatangan tamu. Benar begitu?" sindirnya.

Garry menoleh pelan dengan sedikit Senyuman. "Hem, haruskah kita melakukan hal yang sama, seperti keluarga orang lain?"

Wajah sang Papa menjadi datar dan sangat tersinggung dengan balasan sindiran barusan. Tatapannya tajam.

Garry mulai mengambil garpu dan pisaunya, kemudian mulai mengiris daging sapi premium itu, steak, dengan perlahan dan memakannya sedikit.

"Akurlah dengan saudaramu, maka aku akan memberikan seluruh aset perusahaan kepadamu. Papa tak ingin ada skandal yang akan jadi masalah di masa depan," saran Papa dengan nada pasrah.

"Sayang sekali, satu sekolahan sudah tau jika aku dan dia tidak pernah akur."

"JUSTRU ITU!" Sang Papa menghentak meja dengan keras. "Perbaikilah sebelum terlambat. Demi masa depan yang—"

Garry mendorong kursinya cepat seraya berkata, "Tidak mau!"

"GARRY!" Nada sang Papa kembali tinggi, matanya benar-benar melotot tajam dan penuh amarah.

"Garry!" Mamanya juga menatapnya tajam namun tetap santai. Ia tak ingin pertengkaran mulut Papa-Anak itu terus berlanjut.

Garry tersenyum sinis. "Lagipun, jika aku menerimanya, aku tak akan bisa berbuat semauku. Kalian pasti akan mengontrolnya dan aku hanya menjadi alat boneka kalian. Benar?!"

"Itu karena kamu masih terlalu awam soal aset dan harta. Kamu hanya akan menghabiskannya tanpa bisa mengembangkan aset itu." Mama menjelaskan alasannya, agar Garry bisa mengerti.

"Lantas kenapa menyuruhku cepat-cepat mewarisinya?" tanya balik Garry yang membuat semua orang terdiam dan bernapas kesal.

Mendapati jawaban kosong dari semua orang, Garry pun memilih pergi dari sana, meninggalkan orang-orang yang bahkan tak pantas ia sebut keluarga.

"Ma, boleh kutanya alasannya? Kenapa Garry yang dipilih, bukan aku?" tanya Larry saat saudaranya itu sudah pergi cukup jauh.

"Tidak ada alasan, Garry memang dilahirkan untuk menjadi penguasa. Dan kamu hanyalah salah satu bayangannya. Jadi, tetaplah diposisimu. Jangan pernah melewati batas."

"Iya, Ma." Larry berpasrah, padahal bukan itu yang ingin dia dengar. Dia awalnya berpikir jika Garry dipilih berdasarkan kompetensi yang dimiliki, tetapi itu salah besar. Bahkan sebelum bertanding pun, pada akhirnya Garry lah yang jadi menentangnya.

***

Setelah semua anggota selesai makan, mereka kembali ke kesibukannya masing-masing. Garry pergi entah kemana, Larry kembali ke kamarnya, Papa mengurus berkas kantor yang perlu ditandatangani hari ini. Sedangkan Mama di lorong, menuju kamar Larry.

"Buka," perintahnya dengan cepat, dua pelayan yang mengikutinya dari belakang bergegas maju dan membuka pintu.

Terlihat Larry yang merapikan kembali kamarnya yang begitu berantakan, Mama masuk dan berdiri dengan menaikkan dagunya.

"Ada apa ya, Ma?" tanya Larry berinisiatif membuka obrolan sambil melanjutkan bersih-bersih.

"Mama tak suka basa-basi, pada intinya, berdamailah dengan Garry apapun caranya. ... dan satu lagi, kembalilah ke jalan yang normal."

Larry menghentikan aktivitasnya. "Mama ... bukannya kita udah sepakat tentang hal ini? Mama sendiri yang bilang bahwa jika aku melepas ahli waris, aku bebas melakukan apa saja."

"Situasinya sudah berubah. Kamu tak mengerti jika menimbulkan masalah, ya?! Anak tak tau di untung. Hidupmu sudah begitu enak, cobalah sekali-kali untuk menuruti apa yang Mama mau."

"Bukan begitu, Mama." Larry menghela napas berat. "Aku benar-benar tak keberatan jika Garry tak meninggalkanku harta sedikit pun. Namun, aku sangat memohon pada kalian untuk membiarkan aku hidup dengan caraku sendiri."

Entah datang dari mana, Garry tiba-tiba muncul di balik rak buku dengan membawa sebuah buku paket cukup tebal. Ia menatap Mamanya tajam dan berdiam diri.

"Kenapa diam? Kalian tak melanjutkan obrolannya?" tanya Garry ke keduanya.

"Garry, lo di sini. Sejak kapan?" Larry cukup terkejut dengan kemunculan saudaranya itu.

"Jangan salah paham, gue cuma ngambil buku paket," balas Garry dengan nada dinginnya. Tak lama, ia segera beranjak pergi dari sana, meninggalkan keduanya. Dia menatap lekat mata Mamanya hingga melewatinya dengan hawa yang begitu buruk.

"Mama, tolonglah mengerti," mohon Larry dengan wajah yang sudah berpasrah. Berkali-kali dia mengambil napas berat.

"Tidak." Mamanya menolak tanpa berpikir. "Sekali tidak ya tidak. Mama mau, kamu harus berbaikan dengan saudaramu hingga ia memimpin perusahaan. Setelahnya, kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau."

Mama berbalik dan pergi begitu saja, ia tak memberikan kesempatan pada Larry untuk mengeluh. Fokus utamanya saat ini hanya menjadikan Garry ahli waris sah. Meski Larry sudah tak begitu peduli, bisa saja anak itu akan mengambilnya dari Garry suatu hari nanti.

***

Partnya kali ini sedikit berfokus ke Garry dan Larry. Jadi gimana, kalian tertarik sama masalah Garry atau Clara?

Jangan lupa VOTE dan Komennya.🥰❤️
Makasih banyak-banyak yang udah Vote❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top