💣 tujuhbelas
_oo0oo_
Aku duduk gelisah di dalam bus yang membawa kami. Liburan sekolah tiba dan Ali benar-benar membawaku ke Surabaya. Papa sempat melarangku tapi aku berusaha menjelaskan kalau semuanya akan baik-baik saja. Aku tak ingin Ali curiga tentang masa laluku.
Sepanjang perjalanan, aku berusaha memejamkan mataku. Bukan tidur yang aku butuhkan, aku hanya ingin mengalihkan rasa takutku. Aku terus berdzikir dan berdoa agar Allah selalu melindungiku.
Bisa aku rasakan, berkali-kali Ali mengusapkan telapak tangannya pada pucuk kepalaku. Hal itu sedikit membuatku rileks.
Aku tak tau kenapa Ali memilih Surabaya sebagai tempat liburan kami. Kenapa tidak ke kota lain saja?
"Kamu kedinginan ya?" celetuk Ali tiba-tiba sambil menggenggam jemariku yang mulai mengeluarkan keringat dingin.
Kubuka mataku perlahan dan menggeleng. Aku hanya bisa berharap semoga jalan yang aku tempuh ini tak berujung, agar aku tidak kembali ke masa lalu yang membuat hidupku berantakan.
Ali semakin mengeratkan genggamannya dan kadang menggosokkan telapak tangannya ke tanganku, memberiku kehangatan.
"Biar nggak dingin!" jelasnya lirih.
Aku tersenyum simpul melihat perlakuan manisnya. Tapi aku tidak yakin, setelah ia mengetahui masa laluku apa Ali akan tetap bersikap manis padaku?
_oo0oo_
Aku menatap sebuah bangunan megah di depan mataku. Sebuah rumah mewah dengan pagar besi bercat putih. Rumah dengan 2 lantai itu tampak berdiri kokoh.
Kualihkan pandanganku menatap Ali yang tampak tersenyum sambil memandangi rumah itu.
"Udah lama banget nggak kesini!" ucapnya pelan. Ali menoleh kearahku dengan senyuman lebar. "Yuk, masuk!"
Aku mengikuti langkahnya mendekati pagar tinggi itu.
"Assalamualaikum!!" seru Ali.
Tak lama kemudian ada seorang satpam muncul dari balik posnya. Satpam laki-laki itu tampak berlari kecil menghampiri kami.
"Wa'alaikumsalam----Mas Ali?" pekiknya senang.
"Iya, Pak!" sahut Ali tak kalah senang.
"Ya Allah Mas Ali...sudah lama nggak kesini!" Satpam itu dengan gerakan cepat membukakan pintu pagar besi. "Mas Ali sehat?"
"Alhamdulillah sehat Pak. Paklek sama Bulek ada?" tanya Ali balik.
"Ada, Mas. Masuk aja, Mas!" Satpam itu tampak mencuri pandang kearahku.
"Ini istri saya, Pak. Namanya Prili!!"
"Istri? Mas Ali udah nikah?" serunya dengan raut wajah penuh keterkejutan.
Ali mengangguk kecil dan langsung meraih pundakku. Aku membalas senyuman satpam itu dengan menganggukan kepalaku.
"Saya masuk dulu ya, Pak!" pamit Ali.
"Iya, Mas. Monggo!"
Ali beralih menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke dalam rumah mewah ini.
"Ini rumah siapa, Li?" tanyaku pada akhirnya. Setelah beberapa menit aku mencoba menahan diri untuk menanyakan hal ini.
"Ini rumahnya Paklek Roni dan Bulek Siti!"
Penjelasan Ali sama sekali tak memberiku jawaban yang jelas. Apa mungkin mereka adalah adik dari Budhe Ninik?
"Apanya Budhe Ninik?" tanyaku lagi.
"Mm---" Ali tampak berpikir sebentar. "Mereka itu orangtuanya temenku. Aku udah akrab banget sama mereka jadinya mereka nganggep aku sodara. Dulu, aku sering nginep di rumah ini kalo Paklek dan Bulek keluar kota!"
Aku mengangguk paham. Aku mengerti sekarang. Pemilik rumah ini tidak ada hubungan darah dengan Ali.
"Assalamualaikum!!" seru Ali nyaring.
Hening untuk beberapa detik sampai akhirnya aku mendengar suara seorang wanita menyahut dari dalam.
"Wa'alaikumsalam-----ALI??!"
Ekspresi wanita itu hampir sama dengan satpam di depan tadi. Sangat senang. Wanita itu langsung memeluk Ali.
"Ya Allah Ali. Bulek kangen banget sama kamu!"
Ali melepas pelukannya dan mengambil tangan wanita itu lalu mencium punggung tangannya. "Sama Bulek. Aku juga kangen!"
Wanita itu lalu beralih menatapku. "Dia siapa?" tanyanya pelan.
Tak menunggu waktu lama, aku langsung meraih tangan wanita yang dipanggil Bulek oleh Ali. Mencium punggung tangannya sama seperti apa yang dilakukan Ali.
"Namanya Prili. Istri aku, Bulek!"
"Istri?" pekiknya. "Bukannya kamu masih sekolah?"
"Hehehe!!!" Ali hanya meringis kecil sambil menggaruk tengkuknya.
"Anak jaman now ya. Masih sekolah udah nikah," goda Bulek Siti. "Sana bawa istri kamu istirahat di kamar. Pasti capek, kan?"
"Makasih Bulek!" ucapku sungkan.
Bulek Siti melemparkan senyum ramahnya kepadaku lalu melangkah menuju ruang tengah.
"Paklekmu lagi luar kota. Lusa baru balik!"
"Bulek sendirian dirumah?" tanya Ali.
Aku memilih mengedarkan pandanganku menatap perabot rumah yang begitu mewah ini.
"Ck. Mau gimana lagi? Anak Bulek yang satu itu masa mau diem di rumah? Dirumah palingan makan sama tidur, habis gitu berangkat lagi!"
Bulek Siti melangkah menuju dapur, sepertinya beliau sedang memasak. Ali hanya tersenyum sambil menggeleng mendengar penjelasan Bulek Siti.
"Saya bantuin, Bulek!" tawarku.
"Ah nggak usah, Pril. Ini juga bentar lagi selesai. Kamu istirahat sana. Li, bawa Prili ke kamar sana. Kasihan dia pasti capek!" perintah Bulek Siti.
Ali mengangguk kecil sebelum menyahut. "Iya, Bulek!"
Ali membawaku melangkah menuju sebuah kamar yang ada dilantai atas. Lalu Ali membuka pintu bercat cream dan membawaku masuk.
"Ini dulunya kamarku. Kalo maen kesini aku selalu tidur di sini!" jelasnya.
Aku mengangguk dan memilih duduk di tepi tempat tidur. Sementara Ali menyeret koper masuk kedalam kamar dan meletakkannya di sudut ruangan. Ia lalu menutup pintu kamar dan menghampiriku.
"Istirahat ya, nanti sore ikut aku!"
"Kemana?" tanyaku cepat.
"Mm, jalan-jalan!"
Aku hanya mengangguk. Kalau bisa aku ingin mengatakan pada Ali, aku sebenarnya merindukan kota ini. Tempat kelahiranku. Andai bisa, aku ingin menemui saudaraku yang ada di sini. Tapi apa mereka masih mau menerimaku? Sementara dulu mereka tidak mau mengakuiku?
_oo0oo_
Sore hari Ali membawaku jalan-jalan mengelilingi kota Surabaya. Melewati gedung-gedung tinggi dan beberapa Mall yang dulunya pernah aku kunjungi.
"Ini namanya Tunjungan Plaza, Pril. Kata orang Surabaya, maen kesini kalo nggak mampir ke Tunjungan Plaza rasanya nggak afdol!"
Aku mengikuti arah pandang Ali sambil tersenyum getir. Aku tau itu tapi aku memilih diam. Ali juga menjelaskan beberapa gedung yang berjejer rapi saat kami melewatinya.
Responku lagi-lagi hanya tersenyum. Aku bingung harus menjawabnya seperti apa. Aku sangat mengenal kota ini. Aku merindukan kota ini.
_oo0oo_
Mobil berhenti di depan sebuah pagar. Aku menatap pagar itu dan seketika aku tau ini tempat apa.
Pemakaman umum.
Ternyata Ali ingin berziarah ke makam orangtuanya. Memasuki area ini, Ali menggenggam erat jemari tanganku. Aku sempat khawatir padanya. Aku merasakan telapak tangan Ali dingin dan berkeringat.
"Li, kamu nggak pa-pa?" tanyaku cemas.
Ali menoleh dan menggeleng. Tak ada senyuman hangat seperti biasanya. Aku bisa memaklumi hal itu. Ia pasti merasa sedih saat memasuki area ini.
Diam-diam, dalam hati aku memanggil nama Ayah dan Ibu juga kedua kakakku. Dimana mereka dimakamkan? Aku ingin sekali ziarah dan mengirim doa untuk mereka.
Langkah Ali terhenti tepat di depan dua makam yang berjejer. Ali melepaskan genggaman tangannya lalu duduk jongkok di depan pusara kedua orangtuanya.
"Pa! Ma! Ali pulang!" ucapnya sendu.
Ada rasa sesak menyerang rongga dadaku. Kami senasib. Aku lalu ikut duduk jongkok di sebelah Ali.
"Lihat ini Ali bawa siapa!" Ali menoleh ke arahku sambil tersenyum. Akhirnya aku bisa melihat senyum itu. "Namanya Prili. Dia istri Ali. Mohon doa restu ya, Ma. Pa!"
Aku tersenyum kecil sambil menahan sesak di dadaku yang kian menjadi.
"Yang tenang ya kalian disana. Ali akan selalu berdoa untuk Papa dan Mama. Semoga Papa dan Mama mendapatkan tempat terindah di sisiNYA!"
"Aamiin!!" sahutku cepat.
Tangan Ali perlahan memegang batu nisan itu dan kepalanya menunduk lalu tak lama kemudian kepalanya menoleh, menatapku.
"Mereka meninggal sekitar 9 tahun yang lalu!" jelas Ali. Matanya terlihat merah dan berkilat. Sepertinya ia menyimpan amarah dan dendam.
Tanganku terulur dan mengusap lembut pundaknya, memberinya kekuatan. "Yang sabar ya. Mereka udah tenang di sana!"
Ali mengangguk kecil dan kembali menatap batu nisan itu bergantian. "Tapi aku nggak akan maafin orang yang membunuh kedua orangtuaku!"
"Membunuh?" cicitku.
"9 tahun yang lalu, bom bunuh diri meledak di sebuah Masjid!"
Usapan tanganku di pundak Ali seketika terhenti. Jantungku hampir saja berhenti berdetak. Bom bunuh diri?
"Teroris itu meledakkan diri di salah satu Masjid. Papa dan Mama saat itu sedang mengikuti pengajian disana. Banyak korban tewas termasuk 2 teroris itu. Aku yang saat itu sedang mengambil air wudlu langsung digendong sama orang dan berlari keluar dari Masjid. Tapi Papa dan Mama masih di dalam!"
Perlahan aku menarik tanganku dari pundak Ali. Andai aku bisa, aku ingin berlari dan pergi dari muka bumi ini.
"Sampai kapanpun aku nggak akan maafin mereka bahkan keturunan mereka. Aku bersumpah, semua keturunannya adalah penghuni Neraka Jahannam!"
Mendengar sumpah Ali, telingaku seketika berdenging kuat. Airmataku tak bisa aku tahan. Tubuhku lemas dan pandangan mataku mengabur. Hingga beberapa detik kemudian kedua mataku tertutup.
Ya Tuhan, takdir apa yang KAU berikan padaku?
_oo0oo_
Surabaya, 6 Juli 2018
Ayastoria
Chapter ini udah panjang. Komentnya jgn NEXT ya...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top