💣 enambelas
_oo0oo_
"Shodaqollahul adziim!"
Aku dan Ali menutup Kitab Penyelamat ini. Setiap selesai melaksanakan shalat, Ali selalu mengajakku untuk tadarus. Tak kusangka suaranya begitu merdu dan membuatku terharu.
"Kok ngeliatinnya kayak gitu?" celetuk Ali.
Aku yang tercyduk karena tengah mengamatinya hanya bisa tersenyum lebar sambil menggeleng.
"Udah malem, yuk tidur!"
Aku mengangguk lalu melepas mukena putihku. Melirik sebentar kearah jam dinding kamar yang ternyata sudah menunjuk ke angka 10. Sudah satu jam lamanya aku dan Ali mengaji.
Aku merapikan perlengkapan sholat kami sementara Ali meletakkan Kitab Suci Al-Qur'an dirak buku yang menempel di dinding.
Aku lebih dulu naik keatas tempat tidur. Menarik selimut sebatas dada. Kumiringkan tubuhku kekanan saat mengetahui Ali datang lalu tidur disebelahku.
Inilah posisi ternyaman saat aku tidur dengan Ali. Ali ikut memiringkan badannya, menghadap kearahku. Tangannya lalu terulur dan merengkuhku. Telapak tangannya yang hangat mengusap punggungku, memberikan kenyamanan yang selama ini belum pernah aku dapatkan.
"Bentar lagi ujian kenaikan kelas. Jangan lupa belajar dan berdoa!" pesannya. Aku mengangguk saja.
Kurasakan tangan Ali memeluk erat tubuhku. Mataku tiba-tiba jatuh pada benda yang melingkar dileher Ali.
Kalung perak ini.
"Kalung kamu bagus. Aku suka!" celetukku tiba-tiba.
Rengkuhan tangan Ali sedikit melonggar. Hal itu membuatku mendongak dan menatap manik matanya. Begitu juga dengan Ali yang menatap kearahku sambil tersenyum.
"Kamu suka?" tanyanya dan aku jawab dengan anggukan.
Tiba-tiba Ali melepas kalungnya lalu memasangkannya dipergelangan tanganku. "Aku lebih suka kalo kamu yang pake ini!"
Aku menatap sebuah kalung yang sudah melingkar di tangan mungilku. "Kenapa aku yang pake. Ini kan punya kamu!"
"Dalam Islam, harta suami adalah milik iatri dan suami tidak berhak atas harta istri. Itu artinya, apa yang aku miliki adalah milik kamu dan apa yang kamu miliki, aku tidak berhak memintanya!"
Ya. Aku sering membaca kalimat itu. Ternyata Ali benar-benar memahaminya.
"Makasi,Li!" ucapku haru lalu mencium kalung itu.
"Kalung ini pemberian Ibu. Cuman ini yang aku punya!" wajah Ali seketika berubah sendu.
Tanganku perlahan mengusap pipinya dengan lembut. "Mungkin kamu mau cerita?"
Ali tersenyum lalu menggeleng. "Belum waktunya. Sekarang udah malem, besok sekolah lagi."
Aku putuskan untuk menuruti ucapannya. Selama seminggu menjadi istrinya, Ali memperlakukan aku dengan lembut dan penuh kasih sayang. Ia bahkan bisa menahan dirinya untuk tidak berbuat jauh saat berada diatas tempat tidur.
Aku bahagia. Ali benar-benar menjagaku. Ia juga mengerti akan artinya pendidikan untukku.
_oo0oo_
Kami melangkah beriringan menyusuri koridor kelas. Suasana sekolah sudah sedikit ramai. Semalam aku tak bisa tidur karena memikirkan Ali. Aku terlalu penasaran dengan masa lalunya. Terutama cerita tentang kalung itu, kalung peninggalan orangtuanya. Dan wajah Ali selalu sendu saat mengingat orangtuanya. Tidak hanya sendu tapi aku melihat pancaran kemarahan dari bolamatanya.
Usapan lembut tangan Ali diujung kepalaku membuattku tersadar.
"Kalo jalan jangan sambil ngelamun!" tegurnya. Aku yang sedikit terkejut hanya bisa melemparkan senyum kikuk. "Mikirin apaan, sih?"
Aku menggeleng pelan. Ali tersenyum tipis lalu menggiringku melangkah menuju kelasku. Kegiatan seperti ini sudah menjadi rutinitas Ali. Ia akan mengantarku sampai depan kelas dan akan menjemputku saat istirahat atau pulang sekolah.
"Ali! Prili!"
Aku dan Ali menoleh serempak saat mendengar suara itu. Tampak dari kejauhan Nanda berjalan cepat menghampiri kami. Sebelumnya ia menatap wajah Ali sebentar.
"Ngegas banget lo deketin Prili?" cibiran itu ditujukan pada Ali yang saat ini masih berdiri di depanku.
Ali melempar senyum kecilnya sebelum menjawab. "Keburu di ambil orang!" cetusnya ringan. Lalu pandangan mata Ali beralih menatapku, telapak tangannya tiba-tiba mendarat di pucuk kepalaku dan mengusapnya pelan. "Yang bener ya kalo belajar, jangan kayak Nanda!"
Ali memutar tubuhnya dan langsung pergi. Aku bisa melihat wajah cengo Nanda. Bibirnya membulat begitu juga dengan kedua matanya. Aku tersenyum tipis lalu melangkah masuk ke dalam kelas.
"Pril, tunggu!" Nanda mengekor di belakangku. Saat aku duduk di bangkuku, Nanda juga ikut duduk di sebelahku. Aku yakin Nanda pasti akan menginterogasiku. "Lo sama Ali----"
Aku menoleh seketika menatap wajah ayu Nanda, ucapannya terpotong begitu saja.
"Kenapa?" tanyaku balik.
"Kalian----pacaran?" tebaknya. Aku tersenyum lalu menggeleng pelan. "Kalo nggak pacaran kenapa bisa seromantis itu? Jelasin ke gue sekarang!"
Benar dugaanku, Nanda pasti menuntut penjelasan.
"Gue nggak pacaran sama Ali!" sanggahku.
"Kenapa dia megang-megang lo dan lo diem aja?" protesnya. Aku hanya mengendik pelan membuat Nanda mendengus kesal. "Kayaknya ada yang disembunyiin nih dari gue!"
Belum saatnya Nanda tau soal hubunganku dengan Ali. Nanda memilih beranjak dari bangku sebelahku saat mendengar suara bel pelajaran pertama sudah berbunyi.
_oo0oo_
Aku bisa melihat tatapan sinis Syila saat melihat Ali berdiri di depan pintu kelasku. Tangannya mengepal disamping rok abu-abunya yang hanya sebatas paha.
Aku berusaha tak menghiraukan tatapan Syila yang begitu mengintimidasi.
"Ada apa?" tanya Ali tiba-tiba saat aku menundukkan pandanganku. Aku menggeleng pelan tapi sepertinya Ali tau apa yang aku takutkan. "Nggak usah takut. Ada gue disini!"
Tubuhku berjengkit kaget saat jemari besar Ali tiba-tiba menggenggam jemariku yang sudah mengeluarkan keringat dingin. Aku menoleh menatapnya tapi tampaknya Ali tak mempedulikannya.
"NAH LOH KETAUAAAAAAN!!"
Teriakan itu membuat Ali dengan cepat melepaskan genggaman tangannya. Aku menoleh ke belakang bersamaan dengan Ali yang terdengar menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Kalian pacaran?" tebak Nanda dengan senyum miringnya.
Aku menatap wajah Ali, bermaksud mencari bantuan dan memberinya kode agar tak menghiraukan pertanyaan Nanda.
"Gue sama Prili nggak pacaran!" sanggah Ali.
Kening Nanda mengkerut dengan bibir sedikit manyun. "Trus, kenapa pegang-pegangan tangan?"
Ali mendengus kesal. "Gue nggak pacaran sama Prili. Gue sama dia kan udah nik----mmmpppffffttt!"
Terpaksa aku melakukan ini. Telapak tanganku bergerak cepat menutup mulut Ali yang hampir saja keceplosan.
"Mm, Nan. Sorry ya gue ada perlu sama Ali. Gue duluan ya. Bye!" Telapak tanganku masih membungkam mulut Ali sementara tangan kiriku menyeret lengannya.
Nanda terlihat terdiam di tempatnya. Sampai parkiran sekolah baru aku melepaskan telapak tanganku. Dan reaksi Ali malah cengar-cengir sambil menggaruk tengkuknya.
"Kenapa ketawa?" protesku.
"Aku kirain tadi kamu mau nyium aku!" celetuknya. Mataku seketika melotot mendengar ucapan Ali. "Biasanya kalo di film-film kan kayak gitu. Di cium biar nggak bocorin rahasia!"
Aku mendengus sambil memutar bola mataku. "Tapi ini bukan film, Li. Udah yuk pulang sebelum yang lainnya liat!" Aku mengambil helm yang ada di kaca spion motor Ali.
Ali menuruti perintahku dan mulai menyalakan mesin motornya. Aku duduk di jok belakang dan Ali perlahan menjalankan motornya. Deru motornya begitu menggema.
"Nggak pengen pegangan nih?" tawarnya. Aku kembali mendengus dan memilih tak menjawab.
Motor Ali melaju menyusuri jalanan kota yang begitu padat. Sesekali tanganku refleks memegang pinggang Ali saat ia menambah kecepatannya lalu melepaskannya saat laju motornya sedikit melambat.
"AAWW!!" pekikku saat dengan sengajanya Ali menarik tuas rem motornya. "Ali ih!"
Ali tertawa terbahak saat kedua tanganku tiba-tiba melingkar dipinggangnya. Baru saja aku mau menarik tanganku tapi Ali menahannya. Ali menyatukan kedua tanganku dan memegangnya. Terkadang mengusap lembut punggung tanganku.
Apa kabar dengan jantungku?
Rasanya organ tubuhku yang satu ini semakin berdetak cepat. Perlakuan Ali begitu manis dan lembut. Berkali-kali aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menormalkan detak jantungku.
"Libur semester ntar luar kota yuk!" ucap Ali tiba-tiba.
"Hah? Kemana?" sahutku cepat.
"Honeymoon!"
Tangan kananku terlepas dari pinggangnya dan memukul pelan pundaknya. "Serius, ih!" gerutuku.
Suara tawa Ali terdengar begitu memabukkan. Terdengar renyah. "Canda, Sayang!"
Senyumku mengembang mendengar Ali memanggilku seperti itu. Jantungku malah semakin menggila.
"Mau nggak?"
"Kemana?" sahutku lagi.
"Luar kota!"
"Cuman berdua?" tanyaku lagi.
Ali mengangguk. "Aku pengen ngajak kamu ke Surabaya!"
Senyumku seketika sirna. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk beberapa saat. Kaitan tanganku sedikit mengendur.
Ali akan membawaku ke Surabaya?
Tak taukah ia kalau kota itu kota yang paling aku jauhi seumur hidupku? Apakah aku harus menceritakan masa laluku pada Ali?
_oo0oo_
Surabaya, 04 Juli 2018
Ayastoria
DOA UNTUK IBU
"Ya Rabbi yang memberi kami hidup. Pemilik jiwa dan raga kami, jika Engkau menghendaki beliau berumur panjang maka segera sadarkan beliau. Segera sehatkan beliau dan kembalikan kepada kami. Tapi jika Engkau menginginkan beliau kembali padaMu, pulang kepadaMu, berikan beliau jalan yang mudah, terangi jalannya dan kami sekeluarga akan mencoba mengikhlaskan atas apa yang Engkau takdirkan. Aamiin..."
19 Juli sampai sekarang engkau masih terlelap. Apa yang harus aku lakukan agar kau terbangun. Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa melihat senyummu?
Aku merindukan tatapan matamu Ibu.
Aku merindukan suaramu.
Aku merindukan semua yang ada padamu.
Sampai kapan aku harus menahan rindu ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top