💣 empatbelas

_oo0oo_

Saat ini aku dan Ali tengah duduk dikursi teras rumahnya. Kursi kayu dengan sebuah meja ditengah sebagai pembatas. Aku ingin sekali menanyakan perihal kalung itu tapi aku masih mencoba menyusun kata.

"Pril!" panggil Ali tiba-tiba.

"Ya?" sahutku cepat.

Ali menoleh kearahku dengan menampilkan senyum khasnya. "Lo percaya sama mimpi nggak, sih?"

"Mimpi? Mimpi kayak gimana yang lo maksud?" aku balik bertanya karena memang aku tidak paham dengan apa yang dikatakan Ali.

"Mimpi tentang petunjuk," terang Ali. Ia lalu membenarkan duduknya dan sedikit menghadap kearahku. "Gue punya alasan kenapa gue bilang kalo lo cocok jadi pendamping hidup gue!"

Aku seketika mengalihkan pandanganku, menatap lurus ke depan. Rasa trauma tiba-tiba menghinggap. Trauma akan masa lalu yang membuat aku menutup diri.

"Gue pernah mimpiin lo!" ucap Ali tiba-tiba. Spontan kepalaku menoleh menatapnya. "Gue pernah minta petunjuk sama Allah dan Allah kasih petunjukNya lewat mimpi!"

Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ali pernah mimpi bertemu denganku? Apa sebaiknya aku juga mengungkap apa yang selama ini aku simpan?

"Pertama kali ketemu sama lo, gue nggak tau kalo lo adalah cewek yang ada didalam mimpi gue. Niqab itu yang membuat gue susah ngenalin lo sampai akhirnya kejadian bullying itu yang membuat gue tau siapa lo sebenarnya!"

Aku benar-benar terpaku mendengar penjelasan Ali. Inikah Kuasa Allah? Begitu indahnya Dia mengatur semuanya.

"Sekarang lo percaya kan sama gue?"

Aku menghela nafas pelan dan mencoba mengungkapkan tentang hal yang selama ini mengganjal dalam hatiku.

"Gue boleh nanya satu hal nggak sama lo?"

"Soal apa?"

Mataku beralih menatap kalung yang bertengger dileher Ali. "Kalung itu---milik lo?"

Ini adalah kunci dari semua penantianku. Jika memang benar itu milik Ali, maka dengan hati ikhlas aku menerima Ali.

Ali menarik kalungnya dan memperlihatkan liontin R itu. "Ini satu-satu benda yang gue punya!" terangnya lalu mengecup liontin itu.

Aku menelan salivaku dengan susah payah. "R? Itu inisial nama lo?" tanyaku lagi.

Ali mengangguk. "Rafali. Itu nama depan gue!"

Airmataku seketika menitik. Dalam hati aku terus mengucap syukur. Akhirnya aku menemukannya.

"Loh, kok malah nangis? Kenapa?" tanya Ali panik.

Aku menggeleng pelan dan mengusap airmataku. Berdiri dari kursi kayu ini dan Alipun mengikuti pergerakanku.

"Kalo lo emang serius, segera dateng kerumah gue. Gue tunggu!" ucapku pada akhirnya sebelum pergi.

Aku keluar dari rumah Ali dengan airmata berderai. Ini adalah airmata kebahagiaan. Aku terus mengucap syukur, jalan yang aku lalui begitu indah.

_oo0oo_

Malamnya Ali benar-benar datang kerumahku. Aku kira ia hanya main-main dengan ucapannya. Ali datang bersama dengan Budhenya. Aku lupa belum menanyakan dimana keberadaan orangtuanya saat ini.

Papa tampak kebingungan atas kedatangan Ali tapi beliau tampak welcome menyambut Ali.

"Ada masalah apa sampai Ibu datang kerumah saya malam-malam begini?" tanya Papa ramah.

Aku belum sempat menceritakan kejadian siang tadi pada Papa. Biarlah Ali yang menjelaskannya sendiri.

"Maaf kalau kedatangan kami berdua memgganggu waktu istirahat Bapak!" Budhenya Ali bersuara dan menjelaskan maksud kedatangannya. "Begini, Pak. Saya mewakili kedua orangtua Ali bermaksud untuk melamar Prili sebagai calon istri untuk keponakan saya, Ali!"

Papa seketika mendelik lalu menoleh kearahku. Aku mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Jadi benar kamu mau menikahi anak, Om?" tanya Papa dengan pandangan lurus menatap Ali.

Ali mengangguk pasti. "Benar, Om. Insya Allah saya bisa membahagiakan Prili!"

Aku tersenyum lalu menunduk. Elusan tangan Papa terasa dipucuk kepalaku. "Bagaimana denganmu, Pril?"

Aku menoleh dan menatap Papa. Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Aku tidak akan menolak, tentu tidak. Karena inilah orang yang Allah kirim untukku.

_oo0oo_

Aku membawakan secangkir teh hangat untuk Ali. Ia tengah duduk di teras belakang rumahku. Sementara Budhe Ninik dan Papa sedang berunding mencari hari baik untuk proses akad nikah kami.

Budhe Ninik mengusulkan jika sebaiknya aku dan Ali melaksanakan akad nikah dulu. Hanya ijab qobul tanpa resepsi. Hal ini dilakukan untuk menghindari fitnah dan zina. Acara resepsi nanti diselenggarakan setelah lulus sekolah.

"Gue bawain minum, Li!" ucapku pelan sambil meletakkan secangkir teh hangat diatas meja.

Ali menoleh dengan senyum lebar. "Makasih ya, Pril!" tangannya terulur meraih cangkir putih itu dan menyesap isinya. "Sini, duduk. Gue mau nanya satu hal sama lo!"

Aku mengangguk dan duduk dikursi sebelah Ali. "Nanya soal apa?"

"Kenapa lo nerima lamaran gue?"

Aku menarik nafas panjang dan membuangnya dengan sangat pelan. Mungkin inilah saatnya Ali mengetahuinya.

"Alesannya cuman satu!" ucapku singkat. Kening Ali tampak berkerut dan menatap bingung kearahku. "Karena kalung itu!"

Tangan Ali refleks memegang kalung dengan liontin huruf R itu. "Ini? Kenapa emangnya?"

"Allah ngasih gue petunjuk lewat mimpi. Dalam mimpi gue, gue ngeliat cowok sedang membawa kalung itu."

Senyum Ali semakin melebar. Melihat senyum itu membuatku ingin berlama-lama menatapnya. Tapi dengan segera aku memutus kontak mata dengannya. Tangan Ali menggenggam linton itu lalu mengecupnya.

"Ini satu-satunya benda peninggalan orangtua gue!"

Ah ya aku lupa menanyakan soal keberadaan orangtuanya. "Memangnya beliau ada dimana?"

Senyum hangat Ali seketika memudar, raut wajahnya mendadak sendu dan aku dapat melihat kilatan amarah terpancar dari bolamata legamnya.

"Beliau sudah tenang di Surga!"

Kami senasib. Itulah yang ada dipikiranku saat ini. "Maaf, Li," ucapku lirih.

Ali mendengus pelan lalu menggeleng. "Nggak pa-pa, lo berhak tau kok! Oh ya ngomong-ngomong, Mama lo dimana? Gue nggak liat dari tadi."

Mungkin inilah yang Ali rasakan beberapa detik yang lalu. Sesak dan sakit ditinggalkan oleh orang yang berarti dalam hidup kita.

"Mereka udah pergi. Allah lebih sayang mereka!" ucapku lemah.

"Mereka? Apa maksudnya, Pril?"

Aku mendongak sedikit, menghalau airmata yang siap tumpah. "Kedua orangtua gue juga udah meninggal, Li. Dua saudara gue juga meninggal. Gue cuman punya Papa. Dia orangtua angkat gue!"

"Maaf, Prill. Gue bener-bener nggak tau soal ini!" sesalnya.

Aku menggeleng pelan sambil menyeka kedua mataku yang sudah berair. "Ceritanya panjang. Suatu saat nanti, gue bakalan ceritain ke lo!"

Ali mengangguk, menyetujuinya. "Gue nggak akan maksa lo buat cerita sekarang!"

Akhirnya, pertemuan keluarga malam ini ditutup dengan acara makan malam bersama. Papa dan Budhe Ninik memutuskan akad nikah akan dilakukan seminggu lagi.

Sungguh waktu yang sangat singkat. Tapi bagiku terasa lama sekali. Aku sudah tak sabar menjadi yang halal untuk Ali.

_oo0oo_

Surabaya, 12 Juni 2018
Ayastoria

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top