💣 duapuluh tiga
_oo0oo_
Karma apa yang menimpaku sehingga aku mendapatkan cobaan yang bertubi-tubi seperti ini?
Apa ini semua balasan atas apa yang sudah dilakukan kedua orangtuaku di masa lalu? Dan apa ini adalah doa dari orang-orang yang telah terdzolimi karena perbuatan kedua orangtuaku?
Lalu untuk apa aku hidup jika hanya akan menambah luka dalam hatiku?
_oo0oo_
"Prili, tunggu!"
Nanda berteriak sambil berlari kearahku. Rasanya lama sekali aku tidak bertemu dengannya.
"Ada apa, Nan?" tanyaku pelan dan kembali melangkah saat Nanda sudah ada disebelahku.
"Sorry ya gue nggak sempet jengukin lo. Habisnya gue juga nggak diijinin sama ortu ke Surabaya!"
Aku mengangguk paham sambil mengembangkan senyumku. "Iya, santai aja kali. Gue udah baikan kok!"
"Trus si Ali gimana kabar? Denger-denger dia jengukin lo sampe kesana ya?"
Aku tersenyum getir saat mendengar nama itu. Hingga sampai saat ini tak seorangpun yang mengetahui statusku dengan Ali.
"Iya, kapan hari sama keluarganya---"
"Widiiiih. Bakalan dilanjut nih!" potong Nanda tiba-tiba.
"Dilanjut apaan, Nan?" tanyaku bingung.
"Dilanjut ke jenjang pernikahan!" Nanda tertawa cekikikan setelah melontarkan kalimat candaan itu.
"Bisa aja lo!"
"Eh tapi soal berita di TV itu bener, Pril?"
Lagi-lagi aku tersenyum walau rasanya hati ini menangis. Semua media cetak dan online sudah memuat berita tentangku. Tentang anak teroris yang selamat dari bom bunuh diri beberapa tahun yang lalu. Dan semua orang juga tau siapa aku sebenarnya.
Aku tak mampu bersuara dan hanya bisa mengangguk lemah. Kudengar Nanda menghela nafas pendek lalu tangannya mengusap lembut bahuku.
"Sabar ya, Pril. Ini cobaan. Gue tau lo nggak salah kok. Lo cuman korban!"
Aku mengangguk dan sedikit tersenyum lega mendengarnya. Aku kira Nanda akan menjauhiku karena masa laluku tapi pikiranku salah. Dan aku akan mempertahankan seorang sahabat seperti Nanda.
"Lah, masih sekolah lo?"
Aku dan Nanda seketika menatap ke depan. Disana berdiri Syila sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Salah satu sudut bibirnya terangkat sebelah, mencetak sebuah senyum miring yang membuatku muak seketika.
"Sekarang gue tau alesan lo pake niqab itu," senyun sinis Syila semakin melebar. "Ternyata buat nutupin kedok yang selama ini lo simpen?"
Syila terkekeh pelan, ia perlahan maju dan mendekatiku tapi langkahnya ditahan oleh Nanda.
"Lo mau apa lagi sih, Syil?" gertak Nanda.
"Gue nggak ada urusan sama lo. Lagian lo ya, Nan. Bego banget sih mau temenan sama dia? A-nak te-ro-ris!"
Mataku terpejam seketika mendegar kalimat terakhir yang Syila ucapkan.
"Stop! Lo bisa nggak sih berhenti ngejudge Prili?" bela Nanda. "Dia juga korban dan nggak seharusnya lo bersikap kayak gitu sama Prili!"
"Korban apa yang lo maksud? Dia itu harusnya mati dan nggak pantes buat hidup di dunia ini lagi!"
Perkataan Syila yang begitu pedas benar-benar menyinggungku. Aku maju selangkah dan menyuruh Nanda mundur. Nanda menurut tapi ia tidak begitu jauh dariku.
"Yang nentuin gue hidup atau mati bukan lo. Yang ngasih nyawa gue juga bukan lo. Selama ini gue diem tapi bukan berarti gue nerima apapun ucapan lo!" sengitku.
Tapi Syila malah tertawa pelan dan menatapku remeh. "Masih berani juga lo membela diri setelah apa yang dilakuin orangtua lo?"
Pandangan mata Syila tiba-tiba beralih dan ia berteriak memanggil nama seseorang. "Ali. Bisa kesini?" panggilnya. Aku hanya diam dan tak berani melihat kebelakang. "Habis lo kalo sampe Ali tau siapa lo sebenarnya!"
Aku masih diam sampai akhirnya Ali sudah berdiri di sebelahku dan Syila. "Ada apa?" tanya Ali dengan suara khasnya.
Seketika kedua mataku berkaca-kaca. Panas dan rasanya buliran kristal itu susah aku tahan. Teringat kejadian saat masih di Surabaya beberapa hari yang lalu.
Setelah melewati masa kritis, aku meminta Papa membawaku pulang, tanpa Ali disisiku. Itu aku lakukan atas kemauanku sendiri. Aku belum siap bertemu dengan Ali. Rasanya, aku sangat berdosa pada Ali.
Pertama, akibat kedua orangtuaku, Ali menjadi anak yatim piatu.
Kedua, karena kecerobohanku, aku kehilangan calon anak kami.
Apa mungkin Ali akan memaafkanku?
"Rafali Al-Syarief. Lo nggak lupa kan kedua orangtua lo meninggal karena apa?" ucapan Syila sukses membuat kedua tangan Ali mengepal. Aku yang hanya menunduk bisa melihat dengan jelas pemandangan itu.
"Dan lo tau nggak siapa yang saat ini berdiri di depan kita?" Syila memberi jeda sebentar pada ucapannya. "Namanya Prili Aisyah. Waktu kecil dia dipanggil Ais oleh keluarganya. Dia anak terakhir dari 3 bersaudara. Dan satu hal info menarik yang gue jamin lo bakalan kaget setelah denger ini!"
Aku masih menunduk, kedua mataku menatap kepalan tangan Ali.
"Prili Aisyah, cewek ini ternyata anak teroris!"
Lolos sudah airmata yang sedari tadi aku tahan.
"Lo bener-bener keterlaluan, Syil!" seru Nanda yang berdiri tak jauh dariku. Tangannya langsung merangkul tubuhku dari samping. "Nggak usah dengerin Syila. Yuk cabut!" ajak Nanda tapi aku tak bergeming.
Tubuhku terasa kaku apalagi kedua kakiku. Harusnya aku bisa dengan mudah meninggalkan tempat ini tapi aku mengharapkan seseorang yang akan membawaku.
Ali, bukan Nanda.
"Pril, ayo pergi dari sini!" ajak Nanda lagi.
"Mau pergi kemana lagi lo? Kemanapun lo pergi, dunia nggak bakalan nerima lo!" timpal Syila. "Gimana, Li. Udah tau kan siapa sebenarnya Prili Aisyah?"
Aku merasakan Nanda menarik lenganku dan kakiku perlahan melangkah meninggalkan tempat ini. Tak ada pembelaan yang aku dapatkan dari Ali. Hal itu wajar, mungkin saja Ali masih menyimpan luka itu dan tak bisa melupakannya.
Dan aku terlalu naif untuk mengharapkan pembelaan dari Ali, suamiku sendiri.
"Tunggu!"
Aku menelan saliva pelan saat suara berat itu muncul dan membuat langkahku terhenti. Nanda menoleh cepat.
"Nggak perlu nahan Prili disini, Li kalo cuman bikin dia sakit!" ucap Nanda sinis.
Suara langkah kaki terdengar mendekatiku dan aku masih memilih diam ditempatku sampai akhirnya aku melihat Ali berdiri di depanku. Pandangan mata kami bertemu, sorot matanya begitu dingin dan tajam.
Kedua tangannya tiba-tiba bergerak cepat dan menangkup kepalaku dari sisi kanan dan kiri. Ia memajukan wajahnya dan mendaratkan kecupan lembut di keningku.
"I love you forever and I promise not to leave you and release you, again." Ali kembali mencium keningku lalu memelukku sebentar.
Airmataku seketika tumpah. Hal itu tentu saja membuat Syila dan Nanda melongo menatapku dan Ali bergantian.
"Mak--maksud lo apa, Li?" seru Syila tak percaya.
Tangan Ali memegang kedua pundakku dan memutar tubuhku, menghadap Syila dan Nanda yang tampak kebingungan. Lalu gerakan tangannya meraih jemariku dan menggenggamnya, menyelipkan di sela-sela jemari mungilku.
"Gue nggak akan pernah ninggalin Prili karena gue cinta sama dia!" jelas Ali lalu menarik tanganku dan mengecup punggung tanganku di depan Syila dan Nanda.
Syila tampak tak terima melihat ini semua. "LO GILA. DIA TERORIS, LI!!" pekiknya histeris.
Teriakannya malah mengundang beberapa siswa-siswi untuk melihat adu mulut kami.
Ali terkekeh pelan. "Ya. Gue gila. Gue gila karena mencintainya. Dan saking gilanya gue, gue bahkan menikahinya!"
Spontan mulut Syila terbuka lebar. Sementara Nanda juga tampak terkejut. Semua yang mendengar ini terdengar berbisik ria di belakangku.
Tapi aku tak peduli. Karena ada Ali. Dialah kekuatanku.
"Perlu kalian tau, buat semua yang ada disini. Cewek yang ada disamping gue ini namanya Prili Aisyah. Dia istri gue. Dia sandaran hati gue dan dia tempat gue pulang. Jadi bagi siapa saja yang berani ngerusak rumah gue, akan berhadapan sama gue!"
Lagi Ali mencium punggung tanganku dengan lembut.
"SADAR, LI. DIA TERORIS!!!" teriak Syila lagi.
Aku mulai geram dan akhirnya maju selangkah tanpa melepaskan kaitan jemariku pada jemari hangat Ali.
"Syila, i'm not teroris!" ucapku penuh penekanan dan langsung menarik Ali meninggalkan kerumunan ini. Bisa aku dengar suara kasak-kusuk dari siswa-siswi yang menyaksikan siaran langsung ini.
Aku bahaga. Ali menepati janjinya. Dia tercipta sebagai pelindungku dan pendampingku.
"PRILI. LO UTANG PENJELASAN SAMA GUE!!"
Teriakan Nanda membuat langkahku terhenti sebentar, menoleh kearahnya sambil mengedipkan mataku sebelah. Rengkuhan tangan Ali dipundakku membuatku kembali melangkah.
_ENDING_
Tungguin aja spesial part I'm Not Teroris.
Kalo mood nulis lancar ya bakalan up segera 😊😊
Surabaya, 24 Juli 2018
Ayastoria
Ada scene yg bikin kalian baper n mewek gak di story ini?
Atau mungkin ada beberapa scene yg dipikir gak masuk akal??
Koment aja. Gue nggak bakalan marah. Malah gue seneng dapet kritikan dari kalian semua.
Setelah ini lanjut ke story MMH yg sempet ke pending lama...
Sekali lagi gue mau promosi story baru gue ada di akun RomanceWP yg judulnya Immortal Prince.
Jangan lupa nengok kesana ya. Itu story kolab gue, bukan pribadi.
Oke bye n sampe ketemu di story2 laennya yg bikin kalian mewek 😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top