💣 duapuluh satu

_oo0oo_

"Bagus. Saya ingin pesawat pribadi siap jam 2 siang ini. Alamat akan saya kirim nanti. Dan siapkan uang 5Milyar. Tetap diam dan rahasiakan dari pihak manapun!"

Gawat. Mau dibawa kemana aku?

Hampir 2 minggu aku disekap di dalam gudang tua ini. Aku tidak tau siapa dalang dari semua ini. Dan aku sama sekali tidak mengenal mereka semua.

Apakah mereka teroris?

"LEPASIN AKU!!" teriakku sambil mencoba membuka ikatan dikedua tanganku. Tapi hasilnya, pergelangan tanganku malah terasa perih.

Laki-laki berkepala plontos itu langsung menoleh dan menghampiriku. Ia duduk jongkok di depanku dan menatapku sambil menyeringai.

"Nanti akan gue lepasin kalo udah tiba disana!" ucapannya malah membuatku bingung.

"Mau dibawa kemana aku?" tanyaku cepat.

Laki-laki itu tampak terkekeh sambil menggelengkan  kepalanya. "Ke tempat yang seharusnya. Tempat lo bukan disini, tapi di Suriah!"

Seketika ruangan ini dipenuhi oleh suara tawanya yang menggelegar.

"Suriah? Apa maksudmu?" tanyaku lirih.

Tawanya perlahan mereda dan kedua bolamatanya kembali menatapku. "Lo bakalan tau jawabannya setelah tiba disana!"

"LEPASIN AKU!!" teriakku lagi.

"Diem. Atau gue bunuh juga lo!" ancamnya.

Membunuhku? Mungkin aku lebih baik mati daripada hidup terluka seperti ini. Dan mati ditangan mereka mungkin adalah takdirku.

"Bunuh aja. Kenapa bisanya cuman ngancam?" tantangku.

Laki-laki itu mengetatkan rahangnya dan dalam hitungan detik saja, telapak tangannya yang kasar dan besar sudah mendarat di pipi kiriku. Rasanya panas dan perih. Kepalaku seketika berdenyut hebat dan pandanganku mulai mengabur.

"Bos pasti nggak akan ngampuni gue kalo cewek ini gue siksa!"

Aku samar-samar masih bisa mendengar suaranya sebelum kegelapan benar-benar menguasaiku.

_oo0oo_

"Udah, Bos. Pokoknya beres. Alamat udah gue kirimin. Pesawat dan uang juga udah mereka siapkan. Sekarang bagaimana?"

Aku terbangun saat mendengar suara itu. Laki-laki berkepala plontos yang sempat melayangkan tamparannya padaku.

Sambil meringis menahan ngilu, aku terus berusaha membuka ikatan tanganku tapi hasilnya masih sia-sia. Perutku tiba-tiba terasa melilit dan mual itu datang lagi.

"Hoek!! Hoek!!!" tak ada apapun yang keluar dari mulutku.

Laki-laki itu seketika menoleh dan menatapku bingung.

"Nggak tau, Bos. Dia mual-mual sendiri!"

"......"

"Sumpah, Bos. Gue nggak ngapa-ngapain nih cewek."

"......"

"Oke, Bos. Oke!"

Setelahnya laki-laki itu menutup sambungan telponnya dan berjalan mendekatiku. "Napa lo?" tanyanya tajam.

Aku tak bisa menjawab karena perutku benar-benar mual. Ia lalu mengambil sebuah gelas berisikan air putih dan menyodorkannya kearahku.

"Nih, minum. Bikin repot aja lo!"

Aku terpaksa menerima minum pemberiannya karena tenggorokanku benar-benar kering. Setelah selesai, laki-laki itu meletakkan gelas itu ke tempatnya semula.

Mataku menatap setiap pergerakannya dan saat wajahnya tepat ada didepanku aku menyemburkan minuman yang ada di dalam mulutku. Tepat mengenai wajahnya.

"SIALAN!!!" makinya dan tangannya sudah melayang ke udara, hampir saja akan menamparku lagi kalau saja telponnya tidak berdering. "Awas lo!"

Ia bergerak menjauh dariku sambil mengusap wajahnya dengan ujung baju hitamnya. "Ya, Bos!"

"......."

"Udah, Bos. Cuman mual biasa, masuk angin kayaknya!"

Sepertinya orang tadi menelponnya lagi. Bos? Siapa sebenarnya mereka?

"Nanti jam 2 Bos."

"......"

"Sekarang? Apa nggak bahaya, Bos?"

"......"

"Oke. Oke. Saya akan kesana, Bos!"

Lagi, laki-laki itu menutup panggilannya dan berjalan menghampiriku.

"Kali ini lo selamet. Tapi kalo lo berulah lagi. Habis lo!" ancamnya lalu melangkah pergi meninggalkanku.

Aku menghela nafas lega. Ini belum berakhir. Mereka pasti akan membawaku dan pergi jauh dari kota ini.

Suriah?

Apa mereka jaringan teroris? Lalu kenapa mengincarku? Apa karena keluargaku teroris?

Mataku menatap gelas kaca yang tergeletak tak jauh dariku. Dengan sekuat tenaga, aku menggerakkan kakiku untuk menggapai gelas itu. Mengapitnya diantara kedua kakiku dan membantingnya ke lantai. Lalu mengambil pecahan kecil dari gelas itu.

Susah payah aku mengarahkan pecahan gelas itu agar bisa ku jangkau dengan tanganku. Tapi sepertinya itu tak mudah. Akhirnya aku melepas alas kakiku dan mengapit pecahan itu diantara jari kakiku.

"Bismillah. Tolong hamba Ya Rabb!!" pintaku lirih.

Bersamaan dengan itu, pintu gudang terbuka lagi dan laki-laki itu muncul. Ia menghampiriku dan membawaku keluar dari gudang.

Pecahan gelas yang kusimpan disela-sela jari kakiku tanpa sengaja menggores telapak kakiku. Rasa perih dan nyeri itu sebisa mungkin aku tahan saat laki-laki itu menyeretku dengan paksa dan memasukkan aku ke dalam mobil hitam miliknya.

Aku duduk di jok belakang sementara ia duduk di balik kemudi. "Untung Bos sayang sama lo, kalo nggak udah mati lo dari seminggu yang lalu!" dumelnya sambil mulai menjalankan mobil.

Aku benar-benar tak mengerti apa yang dikatakannya. Bos sayang padaku? Sayang tapi menyekapku?

Kulihat laki-laki itu sibuk dengan kemudinya dan kesempatan emas ini aku gunakan untuk mencoba membebaskan diri. Dengan segala cara aku berusaha mengambil pecahan kaca yang sedikit menancap dikakiku.

Aku tekuk satu kakiku dan kuletakkan diatas jok dengan perlahan. Ingin aku menjerit saat kaca itu aku cabut dengan paksa. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan.

Saat pecahan kaca itu sudah berhasil aku genggam, aku memanfaatkan waktu secepat mungkin. Melepas ikatan ditanganku sambil berjaga-jaga.

'Alhamdulillah!' seruku dalam hati saat tali itu berhasil terlepas. Aku beringsut mendekatinya yang sibuk menyetir dan dengan gerakan cepat aku menodongkan ujung kaca itu ke lehernya.

"Berhenti atau mati?" ancamku.

Mobil tidak berhenti tapi kedua bolamatanya berputar kebawah, menatap kaca yang menempel di lehernya. Tapi bukannya takut, laki-laki itu malah terkekeh.

"Besar juga nyali lo!"

Entah dengan kekuatan seperti apa, pecahan kaca yang awalnya aku pegang kini sudah berpindah tangan dan malah melukai pergelangan tanganku.

Aku merintih, menangis saat darah tiba-tiba mengucur dari tangan kecilku. Laki-laki itu tersenyum puas dan tetap melajukan mobilnya. Sementara aku sibuk memegangi pergelangan tanganku.

Tapi aku tak boleh menyerah. Aku tidak ingin ke Suriah. Aku tak ingin melukai orang-orang yang aku sayangi.

Dengan menahan rasa sakitku, aku mengusap pergelangan tanganku dengan telapak tangan kananku dan dengan gerakan cepat kuusapkan ke wajah laki-laki itu.

"AAARGGGHHH!! KURANG AJAR. SIALAN LO!" teriaknya saat darahku mengenai kedua matanya. Akibatnya mobil oleng dan malah menabrak pembatas jalan.

Aku mendorong dengan sekuat tenaga pintu ini dan langsung berlari secepat mungkin. Aku bisa melihat laki-laki itu sedang menelpon seseorang. Mungkin orang yang dipanggil Bos tadi.

Kerumunan orang-orang sedikit menyelamatkanku. Dalam keramaian seperti ini tidak mungkin laki-laki itu akan berani mengejarku dan melukaiku. Tapi aku tak tinggal diam. Berlari secepat mungkin adalah pilihan utama.

Luka dikakiku, kepala yang terasa berat dan perut yang terasa melilit membuatku tak bisa berlari dengan cepat. Tapi sebisa mungkin aku harus mencari orang yang bisa menolongku.

Mataku tiba-tiba menangkap sosok yang aku kenal sedang berdiri dikejauhan. Jaket kulit dan sebuah kacamata bertengger dihidung mancungnya.

Mungkinkah saat ini dia bisa menolongku?

Aku berusaha mendekatinya dan melupakan masa laluku yang kelam bersamanya. Saat ini hanya dia yang aku kenal.

"Iqbal. Tolong aku!" rintihku sambil berjalan kearahnya.

Iqbal membuka kacamata hitamnya dan pandangan matanya menatap lurus kearahku. Aku terus melangkah, mendekatinya.

Tapi apa yang dilakukannya membuat langkahku seketika terhenti. "Iqbal?" seruku lirih.

Tangan kanannya memegang sebuah pistol dan entah sengaja atau tidak, benda itu ia arahkan padaku. Tubuhku seketika membeku.

Bagaimana mungkin Iqbal berniat membunuhku?

"Iqbal?" panggilku lagi.

Ia tersenyum miring dan menarik pelatuk pistol itu. Saat suara tembakan terdengar, tubuhku seketika ambruk.

Panas dan nyeri menyerang rongga dadaku. Aku terkapar tak berdaya di atas tanah. Mataku masih bisa menatap sosok Iqbal yang langsung dikerumuni banyak orang. Sepertinya mereka berusaha merebut benda yang ada ditangan Iqbal.

Mataku mengerjap pelan. Aku tak tau, benda kecil itu bersarang dimana. Yang aku tau, aku benar-benar merasakan sakit yang teramat sangat. Nafaskupun mulai tersengal-sengal.

Ya Rabbi, jika ini adalah akhir dari perjalanan hidupku, aku ikhlas.

Aku tak menyangka jika nyawaku akan berakhir dengan timah panas milik Iqbal.

_oo0oo_

Surabaya, 22 Juli 2018
Ayastoria

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top