💣 duapuluh
_oo0oo_
Aku berkali-kali mengusap pipiku yang basah. Bayu tampak berdiri dibelakang Ali, disebelahnya ada Bulek Siti yang terlihat bingung harus bersikap bagaimana.
Kualihkan pandanganku dari dua sosok dibelakang Ali. Mata hazelku kini menatap wajah dingin Ali. Tak ada senyum lembut untukku.
"Dengerin penjelasan aku dulu, Li---"
"Kenapa kamu nggak jujur dari awal?" sela Ali. "Kenapa aku harus tau dari orang lain, Pril?"
"Kalopun aku jujur, apa kamu bakalan percaya? Apa kamu bisa menghilangkan dendam kamu?" tanyaku balik. "Kalo bisa memilih, Li. Aku lebih baik mati bersama mereka daripada hidup penuh luka. Semua orang membenciku hanya karena ulah kedua orangtuaku. Kalau saja saat itu tubuhku ikut hancur, mungkin aku nggak akan sesakit ini!"
Ali masih saja diam dan matanya seperti enggan menatap kearahku. Sepertinya ia masih dikuasai dendam dan emosi.
"Oke. Nggak pa-pa kalo kamu nggak bisa terima aku. Ini emang udah takdirku. Menjadi anak teroris dan selamanya akan dibenci. Dihina. Bahkan suamiku sendiripun ngerasa jijik ngeliat aku!"
Aku menarik nafas pendek sambil menyeka kedua pipiku.
"Maafin aku. Maafin kedua orangtuaku. Aku pergi dan jangan pernah menyuruhku kembali!"
Dan tetap saja, sepasang mata elang itu masih tak mau menatap wajahku. Pergerakan Bulek Siti membuat pandanganku beralih menatapnya. Bulek Siti melangkah mendekati Ali dan menyentuh pelan pundaknya.
"Ali, dengerin Bulek. Prili itu korban, dia nggak tau apa-apa. Saat itu ia masih kecil dan belum mengerti apa arti kata teroris---"
"Tapi Papa Mama meninggal karena ulah mereka, Bulek!" potong Ali. Sebuah titik bening tersembul dari kedua sudut mata elangnya.
Melihat Ali menangis, airmataku ikut berderai. Rasa sakitnya begitu menyesakkan dadaku.
Bulek Siti jadi ikut menangis. Ia langsung menarik tubuh Ali dan memeluknya. "Lupakan masa lalu ya, Li. Bulek mohon. Papa sama Mama kamu udah tenang disana, jangan membuat mereka sedih karena melihatmu seperti ini."
Ali mengurai pelukannya dan kembali menyeka matanya dengan cepat. "Maaf, Bulek. Aku belum bisa."
Bulek Siti mendesah kecewa, menggelengkan kepalanya pelan. "Bulek harap, kamu bisa berpikir dewasa, Li. Nggak seharusnya kamu menumpahkan dendammu pada istrimu. Ingat, dia adalah makmummu dan kamu sebagai Imam harus bisa menjaga dan melindunginya." jelas Bulek Siti sambil menatapku sebentar.
Sepertinya bujukan Bulek Siti tak mempan dan aku tak mungkin berada disini, disaat semua orang menolaknya. Aku maju selangkah dan menarik tangan Ali, menjabatnya lalu mencium punggung tangannya.
"Assalamualaikum!" pamitku. Sekali lagin kutatap wajah dingin itu tapi sama sekali tak berubah. Aku beralih menyalami Bulek Siti.
"Mau kemana kamu, Pril?" tanyanya cemas. Aku tersenyum kecil dan menggeleng. "Jangan pergi, Nak!" cegahnya.
Andai itu suara dari Ali, aku tak akan berpikir dua kali. Kulirik Ali dari sudut mataku dan airmataku semakin berderai saat melihat sikapnya. Ali membalikkan badannya dan masuk ke dalam rumah.
Inikah akhir dari rumah tanggaku?
Tanpa sengaja aku menatap wajah Bayu yang tampak tersenyum miring.
"Gue berhasil, kan?" gumamnya pelan.
_oo0oo_
Aku bingung, kemana aku akan pergi. Tak ada tujuan. Pulangpun tidak mungkin karena aku tak membawa apapun saat meninggalkan rumah Bulek Siti.
Akhirnya aku memilih beristirahat disebuah halte bis saat merasakan kepalaku berputar-putar. Tubuhku masih terasa lemah. Aku merogoh saku syariku karena hpku yang tiba-tiba bergetar.
Mengatur nafas dan mencoba menetralkan suaraku, aku menjawab panggilan telpon dari Papa.
"Assalamualaikum," sapaku pelan.
"Wa'alaikumsalam. Bagaimana keadaanmu, Sayang?"
Aku menengadahkan kepalaku, mencoba menghalau airmata yang terasa ingin tumpah. "Baik, Pa. Papa sendiri gimana?" tanyaku baik.
"Baik juga, Sayang. Papa kangen banget sama kamu. Kapan pulang?"
Ucapan Papa semakin membuatku tak kuasa menahan isak tangisku. Aku membekap mulutku sendiri, menahan isak tangis agar tak terdengar oleh Papa. Airmataku sudah berderai membasahi sebagian hijab dan niqabku.
"Pril, kamu kenapa sayang?" mungkin Papa mendengar suara isak tangisku. Dan sepertinya aku tak bisa menyembunyikan semua ini dari Papa.
"Pa----" panggilku dengan suara tercekat. Tangisku pecah dan suara Papa terdengar begitu panik. "Aku pengen ketemu Papa!"
_oo0oo_
Menjelang sore hari, aku masih belum juga menemukan tempat untuk beristirahat. Padahal kepalaku terasa mau pecah dan badanku terasa mengigil.
Pandangan mataku mulai berkunang-kunang. Dari kejauhan aku melihat siluet tubuh seseorang.
Apa mungkin itu Papa?
Sosok itu semakin mendekat dan sepertinya sengaja menghampiriku. Seorang laki-laki dengan sebuah peci dikepalanya. Baju koko putihnya membalut bagian atas tubuhnya dan celana kain warna hitam menutup kakinya yang terlihat jenjang.
"Assalamualaikum!" sapanya sopan.
"Wa---wa'alaikumsalam!" sahutku sedikit terbata.
Laki-laki itu semakin mendekat membuatku menggeser posisi dudukku.
"Sendirian, Mbak?" tanyanya basa basi. Aku hanya mengangguk. Rasa takut dan cemas mulai menghampiriku apalagi kondisi halte yang semakin sepi. "Mau kemana, Mbak?"
"Mau ke Jogja, Mas!" sahutku asal. Laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya. Diam-diam aku menulis pesan untuk Papa. Aku ingin Papa segera datang dan menjemputku. Entah kenapa perasaanku mulai tak enak.
"Disini tinggal dimana?" tanyanya lagi.
"Di daerah Mayjend Sungkono!" jawabku singkat. Andai saja aku membawa uang, mungkin aku akan naik ke taksi yang beberapa kali lewat.
"Mbaknya nggak takut apa ke Jogja sendirian? Apalagi udah hampir malem!"
Aku hanya meringis kecil. Sebenarnya aku lebih takut dengan makhluk yang ada di sebelahku ini. "Udah biasa, Mas!" jawabku sesantai mungkin.
Aku semakin gelisah saat melihat keadaan halte yang sudah sepi dan tinggal aku dan laki-laki itu. Aku menyapukan pandanganku, menatap beberapa mobil dan motor yang lalu lalang di depan mataku. Tak ada seorangpun yang aku kenal.
"Mbak, itu kayaknya ada yang manggil!" seru laki-laki itu sambil menunjuk kearah samping kananku. Spontan aku ikut menoleh dan menyipitkan mataku.
Ada seorang laki-laki berdiri disana, menatap kearahku.
Ali?
Aku menajamkan pandanganku tapi ternyata itu bukan Ali. Siapa dia?
Aku menoleh kesamping kiri, bermaksud menanyakan siapa laki-laki yang berdiri disana. Tapi satu hal yang dilakukannya sangat diluar dugaanku.
Laki-laki berpeci itu menutupkan sapu tangan ke hidungku. Suaraku melemah dan kesadaranku mulai hilang.
Siapa sebenarnya mereka?
_oo0oo_
PART KHUSUS
Roni, orangtua angkat Prili tampak marah saat mengetahui kenyataan bahwa Ali membiarkan Prili pergi. Saat mendapatkan pesan dari Prili, Roni belum bisa menjemput Prili karena ada urusan yang sangat penting. Kabar kaburnya tahanan bernama Ikbal membuat Roni harus melakukan rapat dengan beberapa jajaran Polisi di Pulau Jawa.
"Papa tidak habis pikir, bagaimana kamu bisa membiarkan Prili sendirian diluar sana?" teriak Roni penuh amarah. Tatapan matanya begitu nyalang menatap kearah Ali.
Ali menundukkan wajahnya begitu juga dengan Siti.
"Kamu tidak bisa menjudge Prili seperti itu Ali. Kamu tidak tau masa lalu dia seperti apa. Papa, Papa yang selalu ada disampingnya. Papa yang selalu membuatnya tertawa tapi kamu malah membuatnya menangis. Suami macam apa kamu!"
"Maafin Ali, Mas. Ali saat itu sedang emosi. Saya juga sudah berusaha mencegah Prili tapi tidak bisa!" Siti berusaha meredam emosi Roni.
Roni menghela nafas panjang lalu menyandarkan punggungnya. Tangan kirinya ia gunakan untuk menyangga pelipis kirinya.
"2 minggu Prili menghilang dan saya tidak tau dimana dia sekarang!" lirih Roni. "Dunia luar adalah ancaman baginya. Saya takut kalau mantan calon suaminya kembali dan mengancam hidup Prili!"
Kening Ali mengkerut mendengar penuturan Roni. "Maksud Papa?" tanyanya pelan.
Roni mengangkat kepalanya lalu menatap Ali dengan pandangan sendu. "Ikbal. Seorang teroris yang hampir saja membuat nyawa Prili melayang. Laki-laki itu bermaksud menikahi Prili. Papa menyetujuinya tapi ternyata ada niat buruk dibalik rencana pernikahan itu. Ikbal dan keluarganya akan membawa Prili ke Suriah dan akan melakukan aksi bom bunuh diri lagi!"
Siti seketika membekap mulutnya sementara Ali hanya mengerjapkan matanya beberapa kali. Sama sekali tak ada dalam benaknya jika Prili dalam bahaya.
"Lalu bagaimana soal Ikbal, Pa. Apa polisi sudah menemukannya?" tanya Ali cemas. Roni hanya menggeleng pelan. "Maafin Ali, Pa. Maafin Ali karena nggak bisa jaga Prili. Ali sangat menyesal!"
Roni mengangguk beberapa kali. "Sudahlah. Yang penting sekarang adalah menemukan Prili. Papa tidak akan tenang sebelum bertemu dengan anak Papa!"
"Ali akan bantu, Pa!"
Roni mengangguk lagi. Baru saja ia akan beranjak dari tempat duduknya tapi hpnya berdering. Telpon dari nomer tak dikenal.
"Ya, hallo----"
"Prili Aisyah. Anda mencarinya?" sela suara seseorang dari seberang sana.
Rahang Roni seketika mengetat dan matanya membulat sempurna. "SIAPA KAMU?" teriak Roni yang langsung membuat panik Siti dan Ali.
"Tak perlu berteriak Pak Polisi. Anak anda aman bersama saya!"
"Apa yang kamu inginkan?"
"Baiklah. Saya sangat menyukai orang yang tidak bertele-tele. Siapkan penerbangan siang ini juga. Jangan sampai pihak berwajib tau soal ini karena kalau tidak----"
"JANGAN BERBUAT MACAM-MACAM DENGAN PRILI!!!" teriak Roni lagi.
Laki-laki diseberang sana terdengar tertawa keras. "Anda mengancam saya, Pak Polisi? Berani sekali anda? Apa anda tidak takut saya akan berbuat lebih terhadap Prili Aisyah?"
Roni menarik nafas panjang dan membuangnya dengan cepat. Meredam amarahnya sebisa mungkin. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Bagus. Saya ingin pesawat pribadi siap jam 2 siang ini. Alamat akan saya kirim nanti. Dan siapkan uang 5Milyar. Tetap diam dan rahasiakan dari pihak manapun!"
"HALO! HALO! TUNGGU!!!" teriak Roni lagi saat sambungan telpon itu terputus. Ia melirik jam tangannya yang sudah menunjuk ke angka 1.
"Apa yang terjadi dengan Prili, Pa?" tanya Ali panik.
"Prili diculik!"
_oo0oo_
Surabaya, 19 Juli 2018
Ayastoria
Follow akun IG baru gue ya @ayastoria. Disana ada kumpulan foto AliPrilly hasil editan gue.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top