💣 delapanbelas

_oo0oo_

"Loh, istrimu kenapa, Li?"

Aku tau itu suara dari Bulek Siti, terdengar panik.

"Nggak tau Bulek. Tiba-tiba aja Prili pingsan waktu aku ajak ke makam!"

Ali meletakkan tubuhku di atas tempat tidur. Aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan tapi sarafku tak bisa menggerakkan anggota tubuhku. Bahkan hanya untuk sekedar membuka mata saja aku tak sanggup.

"Demam nggak badannya?" tanya Bulek Siti lagi.

Aku merasakan sentuhan hangat dari telapak tangan Ali yang menyentuh keningku.

"Normal kok Bulek. Mungkin kecapekan!"

Bulek Siti menghela nafas panjang. "Ya udah kamu temenin istirahat sana. Bulek keluar ya!"

"Iya, Bulek!"

Selembar selimut langsung membungkus tubuh mungilku. Telapak tangan Ali kembali mengusap lembut keningku bahkan ia mendaratkan kecupan lembut disana.

Ali. Setelah kamu tau yang sebenarnya, apa kamu tetap akan bersikap manis seperti ini? Apa rasa dalam hatimu tetap untukku?

Ali. Andai aku bisa memilih, aku tak ingin menjadi anak seorang teroris. Tapi Allah tidak memberiku pilihan. Ini adalah takdirku.

Ali. Akulah orang yang kau benci. Akulah orang yang selama ini kau caci dalam hati.

Ali. Aku takut.
Saat terbangun nanti apa aku masih bisa melihat senyummu?
Saat aku membuka mata nanti, apa kamu bisa melupakan dendammu?

Aku takut, Ali.

"Pril, bangun donk sayang. Ada aku disini!" Jemari Ali menyentuh salah satu sudut mataku yang terasa basah. "Hei, kamu kenapa hm?"

Airmataku terus mengalir dan aku merasakan jemari Ali kembali menyekanya. Aku berusaha mengumpulkan tenagaku, berusaha membuka mataku perlahan. Dan hal pertama yang aku lihat adalah wajah cemas Ali.

"Prili, kamu kenapa, hm?" tanyanya lagi dengan sedikit mendekatkan wajahnya.

Mataku mengerjap pelan lalu kepalaku menggeleng. "Aku capek!" keluhku dengan nada pelan.

Senyum Ali seketika mengembang. Ternyata aku masih bisa melihat senyum hangat itu. Ali lalu membaringkan tubuhnya disebelahku. Tangan kirinya ia gunakan untuk tumpuan kepala sementara tangan kanannya memelukku.

Kami bertemu pandang saat aku menoleh kearahnya. Ali menarik tangan kanannya dari atas perutku lalu perlahan membuka hijab dan niqabku. Menariknya pelan lalu meletakkannya di sisi tempat tidur yang kosong.

"Sekarang istirahat!" titahnya. Aku hanya tersenyum kecil dan memposisikan kepalaku seperti semula.

Ali kembali memelukku dan meletakkan dagu lancipnya tepat dipundak kananku. Ujung hidungnya menempel di telingaku membuatku merasa geli karena hembusan nafasnya yang terasa hangat.

"Maafin aku ya. Aku nggak tau kalo kamu masih capek!"

Aku mengangguk pelan. Aku tak bisa melihat wajahnya tapi aku tau, Ali saat ini tengah tersenyum. Dan aku bahagia, masih bisa melihat senyumnya.

_oo0oo_

Aku perlahan membuka mataku. Sepertinya sudah malam karena diluar sudah gelap. Kamar hanya diterangi cahaya dari lampu pijar yang tak seberapa terang. Mataku langsung tertuju pada sebuah jam dinding yang menempel di dinding kamar.

18.15

"Astaghfirullah!!!" ucapku pelan. Sudah berapa lama aku tertidur? Bahkan aku melewatkan shalat Maghribku.

Aku menoleh kearah Ali yang masih terlelap. Kupegang lengannya yang menindih perutku dan kugoyangkan pelan.

"Ali, bangun. Udah malem!" seruku pelan. Tak ada reaksi membuatku mengulangi ucapanku. "Li, bangun. Udah mau jam setengah tujuh!"

"Hm?" sahutnya tanpa membuka matanya.

"Udah malem, Li. Ayo bangun!" seruku lagi.

"Ntaran ya, masih ngantuk!" sahutnya sambil mengeratkan pelukannya.

"Ali, ih. Banguuuun. Maghribnya udah lewat tuh!"

"Tadi kenapa nggak kamu panggil, biar berhenti!"

"Ali. Nggak lucu ih. Di pikir tukang bakso. Ayo bangun!!" aku kembali menggoyangkan lengannya yang masih setia melingkar diperutku sambil menggeliatkan tubuhku.

Tapi apa yang dilakukan Ali malah membuat tubuhku menegang. Ia menempelkan pucuk hidungnya pada telingaku, hembusan nafasnya secara tidak langsung menerpa area kulit belakang telingaku juga leherku.

Merasa ada yang tak beres, bolamataku bergerak kekanan. Melirik wajahnya yang entah kenapa malah tersenyum.

"Kenapa berhenti?" tanyanya tiba-tiba.

Aku memejamkan mataku seketika dan menelan salivaku. Rasa gugup menyergapku. Padahal setiap malamnya kami selalu tidur bersama dan seperti inilah posisi yang disukainya. Tapi entah kenapa hari ini Ali terasa beda.

Atau pikiranku saja yang terlalu mesum?

Tanpa sadar aku menggelengkan kepalaku. Pergerakan kepalaku terhenti saat tangan kanan Ali menangkup pipi kiriku dan menariknya pelan, membuat pandangan mata kami beradu.

"Aku boleh minta sesuatu nggak?" pertanyaannya membuatku takut.

"A-apa?" sahutku dengan jantung serasa berdetak lebih cepat.

Ali menempelkan ujung telunjuknya pada keningku lalu menariknya kebawah. Melewati hidung dan bibirku. Pergerakan tangannya berhenti tepat di bagian bawah bibirku.

"Aku minta hakku!"

Jantungku terasa ingin melompat keluar. Antara rasa senang dan rasa sedih. Aku bingung harus menolaknya atau mengiyakannya. Sementara pendidikanku belum selesai.

"Gi--gimana kalo aku hamil?" tanyaku cemas.

"Sah-sah aja, Pril. Kita udah nikah!"

"Gimana sama sekolahku?" tanyaku lagi.

Ali tersenyum lalu jemarinya meraba area pipiku, membuatku tanpa sadar memejamkan mataku. "Aku punya caranya. Serahin sama aku!"

"Tapi, Li----"

"Ssssttt. Aku nggak mau kehilangan kamu, Prill!" ucapnya dengan posisi ujung jarinya menempel di bibirku.

Aku juga, Li. Aku nggak mau kehilangan kamu. Kalau dengan cara ini bisa bikin kamu selalu ada disampingku. Aku akan melakukannya.

_oo0oo_

Hanya sekali Ali melakukannya tapi efeknya membuatku tak bisa bangun dari tempat tidur. Rasa remuk pada tulangku dan nyeri di bagian intimku membuatku hanya bisa bersembunyi di balik selimut.

"Aku ambilin makan, ya!" tawarnya.

Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Tak mungkin juga aku keluar dari kamar dalam keadaan 'sakit' seperti ini. Umur yang masih belia membuat gejolak hasrat diantara kami tak bisa dikendalikan. Tapi aku bahagia karena kami sudah terikat.

Bayangan saat Ali mencumbuku. Saat Ali menciumku. Saat Ali membisikkan kata cinta padaku. Dan saat Ali menanamkan benih cinta itu. Semua hal itu membuatku tersenyum.

"Kebayang soal tadi ya?"

Suara Ali yang terdengar tiba-tiba membuatku menghentikan senyumku dengan sangat terpaksa. Ali duduk di tepi tempat tidur. Ia lalu meletakkan sebuah mangkuk dan segelas air putih di atas nakas.

Aku langsung menatap sengit kearahnya. "Kamu kenapa boongin aku?"

"Boongin kamu? Soal apa?" tanyanya balik.

"Kamu bilang, kamu tau caranya bikin aku nggak hamil. Tapi kenapa kamu lakuinnya di 'dalem'?"

Bukannya merasa bersalah dan meminta maaf tapi Ali malah terkekeh. Jemarinya menoel hidungku dengan gemas.

"Lupa tadi. Keenakkan sih!"

Langsung saja lengannya menjadi sasaran kemarahanku. Aku mencubitnya. "Iiih, kamu sengaja kan!"

"Aaw. Aaw. Sakit, Pril!" rintihnya.

"Kamu sengaja kan?" sungutku.

"Beneran, Pril. Aku lupa tadi!" jelasnya sambil mengusap lengannya. Wajahnya sedikit meringis menahan ngilu.

"Kalo 'jadi' gimana?" tanyaku kalut.

"Ya itu artinya rejeki buat kita. Anak itu titipan, Pril. Artinya Allah percaya sama kita buat jaga titipanNYA!"

Aku hanya bisa mendengus kesal. Mulut laki-laki memang manis diluar. Tapi aku bahagia karena Ali punya alasan kuat kenapa melakukan hal itu. Semoga saja dengan begini aku tidak kehilangannya.

_oo0oo_

Keesokannya aku bangun dengan tubuh yang terasa remuk redam. Rasa perih di bagian intimku masih terasa. Badanku juga sedikit meriang. Aku memilih air hangat untuk menyegarkan badanku pagi ini.

Mungkin karena lelah, aku terlambat bangun pagi ini. Sudah waktunya sarapan dan mungkin saja Ali dan Bulek Siti sedang menyiapkan makanan.

Aku keluar kamar dengan langkah pelan. Sedikit meringis saat nyeri itu menyerangku. Melangkah pelan menuju ruang makan, aku mendengar bunyi denting sendok dan garpu yang beradu. Juga mendengar tawa Ali yang begitu renyah.

Begitu sampai di ruang makan, aku melihat Ali sedang melahap sarapannya dan disebelahnya duduk Bulek Siti yang tengah mengupas buah apel. Keningku mengernyit saat menatap sebuah punggung laki-laki asing yang tampak berdiri dari kursi meja makan dan masuk ke dalam dapur.

Apa mungkin itu Paklek Roni?

"Eh kamu udah bangun. Gimana, udah enakan?" tanya Ali saat mengetahui kedatanganku.

Aku mengangguk lalu menghampirinya. "Kenapa nggak bangunin aku?" protesku.

"Tidur kamu pules banget. Aku pikir kamu masih sakit!" jelasnya. "Oh iya, aku mau kenalin kamu sama seseorang!"

"Siapa?" tanyaku antusias. Aku mengambil duduk di sebelah Ali.

"Anaknya Bulek Siti!" sambar Bulek Siti sambil meletakkan potongan apel diatas piring. "Bay, sini sayang!" teriak Bulek Siti.

Kepalaku spontan menatap daun pintu yang menghubungkan ruang makan dan dapur. Ternyata laki-laki itu tadi bukan Paklek Roni tapi anaknya Bulek Siti.

Seorang laki-laki muncul dan betapa terkejutnya aku menatap wajahnya. Aku tau dia. Aku kenal dia.

Bayu?

_oo0oo_

Surabaya, 14 Juli 2018
Ayastoria

Maaf
Maaf
Maaf

Part yg ini gue revisi ya...
Anaknya bulek Siti bukan Iqbal tapi Bayu.

Gak tau napa kok malah iqbal yg nongol padahal di outline yg gue bikin nama bayu yg jdi anaknya bulek Siti.

Maafkan author ya...mklum lg banyak pikiran malah maksain buat nulis. Niatnya sih nyari selingan tapi malah salah.

Oke. Segitu aja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top