Chapter [twenty three]
"LAURA! LAURA!"
Laura yang baru meneguk air spontan melotot terkejut saat suara teriakan papanya masuk ke Indra pendengarannya. Ia baru teringat dengan surat panggilan yang di kasih oleh guru BK-nya masih tergeletak di atas meja dekat tasnya.
"Astaga. Gimna ini," gumamnya dengan keningnya yang mulai berkeringat.
"LAURA DIMANA KAMU! LAURA!"
Sesaat Laura memejamkan matanya sambil menghembuskan nafas panjang. Setelah itu ia memberanikan diri menemui papanya yang ia yakini saat ini sedang marah besar setelah membaca surat itu. Laura melihat papanya yang baru pulang itu sedang memegang erat sebuah kertas putih dengan raut wajah yang tidak bersahabat.
"Pa-papa ud-udah pulang? Tadi Ara denger papa manggil A-"
PLAK!
"BERAPA KALI PAPA BILANG JANGAN MEMBUAT MASALAH, LAURA! KAMU ITU TULI YA? SAMPAI OMONGAN ORANG TUA SENDIRI KAMU GAK MAU DENGERIN!" Bentak Arga setelah menampar pipi mulus Laura.
Belum selesai perkataan Laura terucapkan, namun sang papa langsung menamparnya dan menyemburnya dengan kata-kata pedas. Laura hanya diam sambil menunduk. Ia juga memegangi pipinya yang terasa panas. Tamparan papanya yang kali ini sangat menyakitkan dari yang dulu-dulu. Sekian lama papa tidak menamparnya, kini ia harus merasakannya lagi hanya karena satu masalah yang ia perbuat. Walau tidak sepenuhnya itu kesalahannya.
Seperti Dejavu Laura merasakan tidak ada bedanya dengan yang dulu. Walau sekarang ia mengganti posisi Ara, nyatanya ia juga merasa sakit itu lagi. Membuat ia berfikir mau jadi dirinya sendiri ataupun Ara rasanya sama saja.
"Papa kerja dari pagi sampai malam itu demi kamu! Demi keluarga kita! Tapi apa? Kamu sama sekali tidak peduli dengan kerja keras papa. Kamu cuma bisanya main dan main!"
"Kamu pikir selama ini papa gak pernah sekasar ini ke kamu karena kamu yang paling di manja? Paling di sayang makanya kamu bebas mau ngapain?"
Laura menggeleng-geleng dengan tersedu-sedu. "Eng-enggak pah..." Lirihnya.
"Mas!" Suara Kana menghentikan sejenak tindakan Arga. Lantas wanita itu berlari dan langsung memeluk tubuh bergetar Laura yang ketakutan.
Arga mengacak-acak rambutnya tidak beraturan. Akhir-akhir ini kondisi dia tidak stabil, banyak sekali masalah yang menjadi beban baginya. Dan Laura menambahkan beban lagi kala dia melihat surat panggilan itu yang tergeletak di atas meja.
"Kenapa kamu selalu membuat masalah terus-menerus Ara!! Apa kurang semua barang yang papa kasih ke kamu? Atau ada yang kamu butuhkan? Katakan! Tapi jangan membuat orang tua kamu pusing!" Tegas Arga.
Laura menggeleng lemah, "bukan aku pa. Aku gak buat masalah, aku juga gak tau soal itu..." Lirih Laura sambil mengeratkan pelukannya pada sang mama.
"Terus ini apa?! Surat ke sekian kalinya, Ara!" Bentak Arga sambil meremas-remas kertas itu tepat di depan wajah Laura.
"Kalo memang kamu gak buat masalah, kertas ini gak mungkin ada disini, Laura!"
"Aku di fitnah, pa!" Balas Laura tak kuasa menahannya.
"Sekarang kamu bilang kalo kamu di fitnah? Apa kamu tidak pernah sadar diri sama setiap masalah yang selama ini kamu perbuat, LAURA SALENDRA MAHESWARA!" Tegas Arga.
"Aku sadar pa, tapi kali ini aku jujur kalo aku di fitnah makanya orang-orang di sekolah pada salah paham." Ucap Laura.
Arga hendak membalas perkataan itu, namun terhenti dengan tangan Kana yang menginterupsi dia untuk berhenti.
"Kalo kamu tidak mau datang it's okay mas. Ara masih punya mamanya, jadi biar aku yang datang besok. Lagian Ara gak ada minta ke kamu buat datang ke sekolah."
"Kamu jangan seperti ini lagi, Mas. Kalau Ara sakitnya kambuh lagi gimana?!" Kelakar Kana membungkam Arga. Laura yang mendengar itupun sontak terkejut. Ia bertanya-tanya apa maksud dari perkataan mamanya barusan?
Kambuh? Emangnya selama ini Ara sakit? Tapi sakit apa? Batinnya menerka-nerka.
Arga mengusap wajahnya sebentar kemudian memijat keningnya yang terasa nyut-nyutan. Tanpa mengatakan apapun lagi, Arga pergi masuk ke kamarnya meninggalkan kertas yang tadi dia pegang di atas meja. Kana bernafas lega lalu mengusap punggung Laura dengan lembut.
"Kamu enggak kenapa-napa kan sayang?" tanya Kana khawatir. Laura menggeleng sembari tersenyum nanar.
"I'm Ok, Ma."
"Maafin mama karena tadi gak sempat nyegat papa kamu."
"Gak perlu minta maaf, Ma. Bukan mama yang salah, emang dasar aku yang ceroboh."
"Tapi kamu beneran gak apa-apa kan? Apa dada kamu terasa sakit? Atau ada yang sakit? Katakan saja Ara, kalo ada kita langsung ke rumah sakit."
Laura memegang tangan mamanya sembari menggeleng. Ia jadi bingung harus menjawab apa sekarang. Salah-salah kata yang ada mamanya busa curiga, apalagi ia tidak tahu mengenai sakit yang dimaksud mamanya. Hanya gelengan kepala yang bisa ia balas.
"Yaudah, kalo gitu kamu masuk kamar sana. Besok kita sama-sama ke sekolah kamu." Ucap Mama seraya mengecup kening Laura.
"Iya, makasih, Ma."
•••
BUGH!
"Lo apain Ara? Jawab gue!"
Azriel menyeka darah yang keluar dari ujung bibirnya. Cowok itu tersenyum smirk lalu membalas tinjuan yang tadi dia dapatkan.
"Bangsat!" umpatnya.
"Katanya siswa berprestasi, siswa teladan dan blablabla. Tapi kelakuan kayak bangsat datang-datang langsung ngehajar orang! Itu namanya prestasi?" kekehnya.
"Gak usah bacot lo!" Juan kembali meninju Azriel lebih keras, dan kali ini dia meninju bagian rahang dan perut hingga cowok itu tersungkur.
"Lo cukup jawab pertanyaan gue yang tadi. Gak usah ngalihin pembicaraan!"
Azriel bangkit dan tersenyum. Dia menaikkan kedua alisnya, "pertanyaan? Sorry, yang mana ya? Kayaknya gak ada pertanyaan yang perlu gue jawab."
Juan mengumpat pelan, "sial. Lo tinggal pilih, jawab pertanyaan gue atau sebentar lagi lo bakal terbaring di rumah sakit?"
Sontak Azriel tertawa mendengarnya. Dia sampai memegang perutnya, entah karena menahan sakit atau ucapan Juan yang terdengar lucu di telinganya sampai membuat geli di perut.
"Gue pilih ke rumah sakit. Soalnya hari ini gue males banget dengerin ceramah guru-guru. Heran gue kenapa sih mulut mereka gak pernah capek ngasih ceramah ke gue. Sebegitu perhatian mereka ke gue."
Juan semakin dibuat kesal tatkala musuh didepannya itu sengaja memancing emosinya. Dadanya naik turun, menahan amarah yang siap membeludak. Wajahnya tegas dengan kedua tangan terkepal kuat.
"LO APAIN ARA BRENGSEK!" BUGH. Azriel kembali tersungkur setelah mendapat tinjuan tiba-tiba dari Juan. Bahkan cowok itu mendapat luka lecet dan lebam yang banyak di wajahnya.
"Hah, anjing." Azriel berdiri dan membalas tatapan tajam Juan. "Lo mau tau banget? Oke gue kasih tau, tapi nanti malam, di area balapan." Senyum miring itu terbit di wajah Azriel.
"Kalo gue kalah, gue bakal jawab pertanyaan lo. Tapi, kalo Lo yang kalah..." Azriel berjalan mendekat sambil memegang kuat bahu Juan. "Cewek Lo buat gue." Ucapnya kemudian pergi dari tempat tersebut.
***
Makasihh banyak udah baca yaaa❤️❤️❤️
•
•
01.06.2022
#Tertanda author yg paling manis EHE!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top