Chapter [twenty six]
Tok tok tok
"Iya sebentar."
Setelah membereskan tempat tidurnya, Laura langsung membukakan pintu dan melihat mamanya tengah berdiri sambil membawakan makanan.
"Mama?"
"Kenapa tadi kamu gak turun buat sarapan, sayang?"
Laura membuka lebar pintu tersebut agar mamanya dapat ruang leluasa untuk masuk. Ia menatap nampan yang berisi makanan dan segelas susu yang masih di pegang mamanya, lalu ia mengambil alih nampan tersebut.
"Biar aku letakkan dulu di meja." Ucap Laura sembari meletakkan nampan itu atas meja belajarnya.
"Mama masuk ya," Kana masuk dan duduk di sisi ranjang.
"Aku masih belum siap ketemu papa, Ma. Makanya tadi aku gak ikut sarapan." Ucap Laura seraya duduk di samping Kana.
"Pantesan," Kana menatap senduh Laura kemudian mengambil sepiring nasi goreng yang dia bawakan. "Sekarang kamu makan ya, ini mama sendiri loh yang masakin. Kalo kamu gak mau keluar gapapa sayang, yang penting perut kamu terisi dulu." Ucapnya sambil menyuap satu sendok nasi goreng.
Laura tersenyum, merasa nyaman ketika mamanya mau menyuapi nya. Sekilas ia jadi teringat dulu saat masih kecil, ketika dirinya ingin sekali disuap mamanya. Laura pun membuka mulutnya dan memakan nasi goreng itu dengan nikmat.
"Enak sayang?" Laura mengangguk-angguk.
"Ini enak bangett, Ma. Apalagi disuapi sama mama." Ucap Laura setelah menelan makanannya.
Kana ikut tersenyum mendengarnya, hingga wajahnya yang bahagia itu lama-lama berubah sedih. Dia memandangi nasi goreng buatannya sambil mengaduk-aduk nya. Setetes air mata itu jatuh tanpa diminta, membuat Laura mengerti dengan ekspresi mamanya.
"Ma... Mama teringat La-launa ya?" tanya Laura gugup.
"Iya... Mama kangen dengan dia," lirih Kana dengan senduh.
Laura memeluk tubuh Kana dari samping dan meletakkan kepalanya di pundak Kana. "Aku juga ma," ujar Laura.
"Dulu, saat mama masakin nasi goreng dia sangat senang. Launa juga suka kalau mama yang menyuapinya. Dia pasti ngambek kalau mama lebih banyak menyuapi kamu, Ara. Tapi sekarang semua itu tinggal kenangan, tidak ada lagi senyum Launa ketika mama masakin nasi goreng."
"Ara..."
"Iya, Ma?"
"Pelukan kamu terasa seperti Launa yang memeluk mama," lirih Kana.
Laura diam. Dia tidak melepaskan pelukannya, tapi tidak juga membalas perkataan mamanya.
Hingga beberapa menit kemudian Laura melepaskan pelukan itu dan memandang wajah mamanya.
"Jangan sedih terus, Ma. Gimana kalo hari ini kita temui U-una? aku udah lama gak ke sana. Una pasti kangen kita juga, mumpung hari ini aku libur." Ucap Laura sembari menghapus jejak air mata Kana.
Mendengar itu seketika membuat Kana kembali bersemangat lagi. Dia tersenyum sambil mengusap pipinya Laura.
"Kamu benar, Ara. Nanti kita bawakan juga bunga Lily kesukaannya." Balas Kama begitu antusias.
Laura mengangguk-angguk. Walau dalam hatinya terasa sakit ketika melihat senyum Kana. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana terpuruknya Kana ketika tahu yang sebenarnya.
"Kalau gitu mama siap-siap dulu. Oh iya, ini kamu cepatan habisin makanannya. Setelah itu kita pergi dengan taxi, soalnya mobil mama masih di bengkel."
Laura mengusap wajahnya dan mengangguk. "Oke siap, Ma!"
"Eh tapi, Ma...."
"Kenapa, sayang?"
"Pa-papa gimana? Apa papa juga mau ikut?" tanya Laura pelan.
Kana menggeleng, "setelah sarapan papa kamu buru-buru ke kantor, mungkin nanti siang papa kamu pulang. Biasanya kan kalau hari libur papa gak sampai malam."
"Ohh, iya juga sih."
"Kamu kenapa? Kok kayak sedih gitu?"
"Gak apa-apa, Ma. Cuma aku pikir, kapan kita sama papa juga barengan temui Una."
Kana mengusap rambut putrinya dengan lembut, "nanti mama bicarakan sama papa kamu. Semoga dia ada waktu ya."
•••
Laura masih diam sambil memandangi sebuah makam di depannya. Sedangkan Kana sudah lebih dulu menangis sambil mengusap batu nisan dengan nama diatasnya yang terukir indah.
Sampai saat ini belum ada satupun yang mengetahui kebohongan nya. Namun, bagaimana kedepannya? Ia tidak bisa menjamin kebohongan yang ia sembunyikan tidak akan terbongkar. Pasti suatu saat semuanya akan menyadari itu, dan ia harus menyiapkan diri untuk menghadapi nya.
Melihat mamanya yang menangis begitu tersedu-sedu sambil memandangi batu nisan itu, semakin membuat hati Laura seakan di tusuk-tusuk. Sakit sekali. Sedari tadi, hampir setengah jam mamanya tidak berhenti menangis di depan makam saudara kembarnya.
"Ma... Udah ya? Kita pulang aja. Mama pasti capek nangis terus, aku gak mau kalo sampe mama ngedrop." Ucap Laura mengusap punggung mamanya.
Kana berdiri sambil menutup mulutnya dengan punggung tangan. Wanita itu mengangguk sambil menghapus air matanya di pipi.
"Ayo kita pulang...." Lirih Kana.
"Iya, Ma. Tapi, mama duluan ya, nanti aku nyusul. Masih ada yang mau aku utarakan ke Una." Jawab Laura dan diangguki oleh Kana.
Setelah Kana pergi, kini Laura berjongkok kembali sambil mengusap-usap batu nisan itu. Ia tersenyum nanar memandangi nama yang terukir di batu nisannya.
"Hai twins, apa kabar? kali ini gue datang bareng Mama. Sorry, karena papa gak bisa ikut...." Lirihnya.
Ia memegangi batu nisan itu sambil berkata, "harusnya gue yang mati, Ra, bukan lo."
"Gue minta maaf, karena keegoisan gue semua orang jadi mengira kalau Launa lah yang meninggal, mereka bahkan gak tau kalau makam ini sebenarnya milik lo, Ra." Ia meneteskan air matanya.
"Lo pasti sedih kan, karena semua orang gak ada yang menangisi lo, melainkan karena mereka ngiranya yang mati gue jadi nama gue yang mereka tangisi."
"Maaf...."
"Gue gak tau sampai kapan ini akan berlanjut. Tapi, pasti kebohongan gue akan terbongkar. Semuanya pasti benci banget sama gue. Mereka pasti ngerasa di khianati." Launa mendongak menatap langit untuk menahan air matanya keluar.
"Lo pasti marah besar sama gue, lo pasti benci banget sama gue. Apalagi orang-orang yang gue bohongi, Ra. Sejujurnya gue takut banget kalo ini semua terungkap, gue gak tau harus gimana ngadepin kemarahan papa. Juan dan teman-teman lainnya pasti benci banget sama gue."
"Gue benar-benar mempermainkan perasaan mereka, Ra. Terutama Juan, dia pasti akan sakit banget kalau tau yang sebenarnya."
Ia menundukkan kepalanya masih dengan memegangi batu nisan itu. Beberapa saat ia terdiam, kemudian ia mengusap wajahnya.
"Kayaknya sampai disini dulu perbincangan kita. Gue gak akan ngelarang lo buat benci sama gue, Ra. Setiap malam gue mimpiin lo terus, Ra. Pasti lo gak terima, kan? Iyalah, lo pasti ngerasa gak adil. Gue juga bakal begitu."
"Berapa kali gue minta maaf itu tidak akan cukup buat ngebalas semua rasa bersalah gue, Ra."
"Udah dulu ya, mama pasti udah lama nungguin gue. Gue pulang dulu, oh iya, ini ada bunga mawar buat lo." Ucap Laura sambil menaruh bunga mawar yang ia bawa di samping bunga Lily.
"Gue bawa diam-diam tanpa sepengetahuan mama. Gue tau, lo sukanya bunga mawar, bukan bukan Lily. Maaf yaa..."
"Gue sayang banget sama lo." Setelah mengatakan itu Laura mengecup batu nisannya kemudian beranjak pergi.
***
Makasih udah baca yaa❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top