Chapter [twelve]

Satu bulan kemudian

Seorang gadis yang terbaring lemah di atas brankar itu mulai membuka matanya perlahan. Mata itu kembali menutup kala mentari pagi menyilaukan matanya. Beberapa kali gadis itu berkedip, menyesuaikan penglihatannya. Ia menatap ke arah jendela yang terbuka dengan gorden putih yang bergoyang-goyang ditiup angin. Kemudian ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, terdapat banyak peralatan medis dan juga bau obat-obatan. Ia memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.

"Shh," desisnya. "Rumah sakit?" Mengetahui bahwa ia tengah berada di rumah sakit, gadis itu kembali mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya.

"Ara awas!!"

"Aakhh! Kak Una!"

"Ara...."

Gadis itu mendongak dengan mata yang terbuka lebar. Detik kemudian ia melepaskan selang infusnya lalu turun dari atas ranjang.

Dengan mata yang mulai berair gadis itu membuka pintu dan tiba-tiba datang seorang suster memeganginya.

"Loh mba mau kemana? jangan keluar dulu, sepertinya mba baru siuman dari koma." Ucap suster itu.

"Koma?"

"Iya, mba, ayo saya antar ke kasurnya lagi. Mba belum sepenuhnya sembuh."

Gadis itu mengernyit heran, lantas ia mencegah suster tersebut dan bertanya. "Berapa lama saya koma, sus?"

"Hm, sebulan, mba."

"Apa? Sebulan?" gadis itu shock dan hampir saja terjatuh kalau saja suster tidak sigap memeganginya.

"Eh mba gapapa? Lebih baik mba istirahat dulu, biar saya panggilkan dokter." Setelah membantu gadis itu berbaring di atas kasur, suster kembali keluar untuk memanggil dokter. Sedangkan gadis itu masih terdiam, mencerna semua apa yang terjadi.

"Sebulan gue koma, berarti... ARA! apa dia selamat?" gumam gadis itu dan kembali bangun dengan keringat dingin yang menjalar di wajahnya.

Ia mengingat kilas balik yang terjadi pasca kecelakaan itu, dan tanpa sadar air matanya turun begitu saja tanpa diminta.

"Aakhh!"

"Ara AWAS!"

Bruk!

Kecelakaan tidak terduga itu membuat shock Launa yang masih tersadar, ia melihat Laura yang ternyata sudah tidak sadarkan diri dengan luka paling parah. Launa menangis dan berusaha memanggil Laura, sayangnya Laura tidak merespon apapun. Lantas Launa mengambil ponselnya dan menghubungi siapapun yang bisa membantunya, tetapi ia kembali menangis kala melihat ponselnya sudah hancur begitupun punya Laura yang entah kemana.

Sebelum kesadarannya kembali hilang, tiba-tiba Launa kepikiran sesuatu. Ia melihat Laura sebentar sembari meneteskan air mata. Entah setan apa yang merasukinya, hingga ia tega melakukan hal licik. Dengan gemetar tangannya menyentuh tangan Laura yang penuh darah, ia juga memandangi Laura lagi dengan seksama. Kemudian ia mengambil sebuah gelang yang berada di pergelangan kiri Laura dan dipasang di tangannya sendiri. Bahkan rambut Laura yang semulanya di ikat ia gerai agar persis sepertinya. Tidak lupa name tag yang ada di seragam Laura dilepasnya dan menukar dengan name tag Launa. Setelah itu Launa memejamkan matanya dengan nafas memburu karena tidak tahan akan rasa sakit di sekujur tubuh, ia hanya berdoa semoga ada yang menolong mereka.

________

"Dok, tolong dua gadis ini habis mengalami tabrakan, luka mereka cukup parah, terutama gadis yang name tag Launa ini."

"Baik, sus, segera siapkan peralatan. Kita akan melakukan operasi."

"Tapi bagaimana dengan keluarganya? Apa kita beritahu dulu?"

"Silahkan beritahu, tapi ini menyangkut nyawa, jadi kita tidak bisa menunda-nundanya."

Launa membuka matanya perlahan, ia melihat beberapa wajah suster tengah mendorong brankarnya. Kemudian kepalanya menoleh kesamping dan terlihat satu orang yang juga sama-sama di masukan ke salam ruangan yang sama, dia adalah Laura. Gadis itu masih menutup matanya.

"Sus," panggil Launa.

"Iya? Oh astaga kamu sadar? Bertahanlah, dokter akan segera mengecek mu."

"T-tolong," parau Launa karena dadanya yang terasa sakit. Suster itu paham dan mengangguk.

"Saya mengerti, kamu tenang saja, kami akan bekerja semaksimal mungkin untuk menyelamatkan mu dan saudara kembar mu."

Launa tidak sanggup lagi menahannya, tiba-tiba matanya kembali tertutup dan semuanya gelap.

_____

"Ara?"

"Ra?"

"Laura!"

Sontak gadis itu menegang hebat saat seseorang menggucang bahunya. Ia kembali tersadar dari lamunannya kemudian menangis dalam pelukan wanita yang selama ini telah merawatnya.

"Maa... hiks," ia menangis dalam pelukan sang mama.

"Tenang ya, kamu udah gapapa. Mama senang kamu udah siuman, sayang. Tolong jangan tinggalkan mama." Isak Kana seraya mengusap rambut putrinya.

"Ara, tolong jangan sakit lagi, mama jadi ikut sakit melihat kamu terbaring disini." Ucap Kana, membuat gadis itu menghentikan tangisnya. Sejenak ia berfikir ada yang aneh.

Ara? Apa maksud mama? Aku kan Launa, apa  jangan-jangan...

Launa melepaskan pelukan itu dan menatap mamanya intens.

Dengan ragu ia bertanya, "ma, di-dimana ss-saudara kembar ku?"

Kana menutup mulutnya sambil terisak-isak. Membuat Launa jadi kebingungan sekaligus merasa cemas. Sejak kecelakaan itu ia melihat keadaan Laura, entah kenapa ia berfikir bahwa kembarannya bisa jadi tidak selamat? apa firasatnya benar, karena mamanya memanggil ia dengan nama 'Ara'.

"Ma..." Lirih Launa.

"U-una, dia, dia udah meninggal. Selepas di lakukan operasi, nyawanya udah gak bisa di tolong lagi." Kana tidak sanggup dan tangisannya pecah di ruangan itu sambil memeluk anak satu-satunya yang selamat.

Launa terdiam dengan dada berdebar kencang, bahkan telapak tangan berkeringat dingin. Ia tidak tahu harus berkata apa, nyatanya dari awal firasat ia melihat Laura ternyata benar. Kini perasaannya jadi campur aduk, tanpa sadar air matanya turun dengan deras dan membalas pelukan mamanya.

Jadi, Laura meninggal dunia?

Ara...

Gue minta maaf, Una minta maaf, Ra.

Maafin Una, maaf, maaf.

Rasanya Launa ingin berteriak sekencang-kencangnya. Dadanya ikut terasa sakit mendengar kembarannya sudah tiada. Seperti ada yang hancur di dalam tubuhnya, entah kenapa ia bingung dengan dirinya sendiri. Ia tidak senang mendengar kabar duka Laura, tapi disisi lain ia malah berbuat jahat terhadap Laura sebelum mereka di larikan ke rumah sakit.

"Ma, sakit..."

Kana panik dan memandang wajah Launa dengan khawatir.

"Apanya yang sakit? Katakan dimana sakitnya? Mama panggilkan dokter dulu, kamu tahan sebentar, mama janji akan–"

"Ma," lirih Launa kembali memeluk Kana untuk memenangkan kekhawatiran mamanya.

"Hati aku yang sakit, Ma." Ucap Launa.

"Hati kamu?"

"Saudara kembar ku meninggal, dan aku gak ada di saat terakhirnya." Isak Launa.

Kana mendekap erat putrinya, "maafin mama gak bisa jagain kalian. Maaf, ini semua salah mama."

Launa menggeleng-geleng. Mamanya salah, semuanya bukan salah wanita itu atau salah siapapun. Hal itu terjadi karena dirinya, iya, ia yang egois dan membuat Laura meninggal.

"Aku yang salah bukan Mama."

Satu bulan ia tidak sadarkan diri dan tidak dapat melihat saudara kembarnya di saat-saat terakhir. Launa merasa sangat berdosa dan tidak tahu harus apa. Kini semuanya hanya tahu ia sebagai Laura sedangkan yang meninggal adalah Launa. Padahal kebenarannya bukan seperti itu, semuanya karena Launa yang sudah menukar identitas ia dan Laura sebelum mereka di tangani. Launa menyadari bahwa ia sudah membohongi banyak orang, tetapi ia juga takut untuk mengakui kesalahannya.

Maafin gue, Ra. Gue gak tau kenapa waktu itu gue begitu bejat. Maaf, maaf.

Mama, papa, semuanya maaf...

Dalam hati Launa terus meruntuki dirinya. Sampai akhirnya kesadaran ia hilang, membuat Kana panik dan berteriak memanggil Dokter.

***

Launa dan Laura itu sama-sama egois 😭 mereka juga sama memiliki lukanya masing-masing. Penasaran gimana Launa ngejalanin hari berikutnya? Yuk tunggu chapter nya besok yaa.

Kalo masih ada yang bingung, besok di chapter 13 aku jelasin😅 ini udah kepanjangan sepertinya hehe. Oke byee!


Makasihh udah baca 💖
____
21.05.2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top