Chapter [sixteen]
Sebuah rumah besar dengan pagar menjulang tinggi itu adalah kediaman keluarga Maheswara. Gadis yang baru tiba di depan pagar rumahnya itu turun dari motor sang kekasih. Laura tersenyum lebar dan memberikan helm yang tadi ia pakai ke Juan.
"Makasih," ujarnya. Juan mengangguk seraya merapikan rambut Laura yang tadi berantakan karena helm.
"Kalau gitu aku pulang dulu ya. Entar telepon aku kalau kamu kangen." Ucap Juan membuat pipi Laura merona.
"Tiap hari ketemu juga gak bakal kangen lah."
Juan terkekeh, "ya siapa tau abis ini kamu beneran kangen, kan? Aku tiap hari bahkan tiap menit selalu kangen sama kamu."
"Kalo kangen kenapa gak telpon aku duluan?" tanya Laura sembari memicingkan matanya.
"Pengennya sih gitu, tapi aku takut mengganggu kamu. Kamunya juga gak suka kalau aku keseringan nelpon kamu, iya kan?"
Laura hanya diam sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia jadi teringat, dulu saat kembarannya masih ada, ia jarang sekali melihat Ara yang telponan sama Juan layaknya orang pacaran pada umumnya. Jika begini ia takut Juan malah mencurigainya karena perubahan sikap Laura yang dulu dan sekarang. Ia menghembuskan nafasnya dan bertekad akan merubah sifat Laura yang dulu di anggap nakal dan kurang perhatian sama pacarnya perlahan-lahan jadi lebih baik. Ia yakin semua orang tidak akan menaruh curiga padanya jika semua yang ia lakukan di lakukan secara bertahap. Namun, tetap ia akan mengikuti karakter Laura yang dulu, yaitu hobi menjahili orang lain dan keluar malam. Mungkin akan sulit mengingat Launa adalah gadis yang datar dan tidak suka melanggar peraturan. Namun, mau bagaimana lagi? Sekarang ia berada di posisi Ara, dan agar semua orang termasuk orangtuanya tidak curiga ia harus bersikap seperti Ara.
"Ra!"
Laura tersadar dari lamunannya kala Juan memegang tangannya.
"Eh, iya, emm anu– kamu gak mau mampir dulu?" tanya Laura.
"Enggak dulu deh, abis ini aku masih ada urusan. Titip salam aja ya sama mama papa kamu, calon mertua." Ucap Juan tersenyum manis.
"Ihh apaan sih," Laura jadi salting sambil memukul pelan lengan Juan. "Yaudah balik sana."
"Kok ngusir?"
"Lah tadi kan kamu sendiri yang mau pulang, gimana sih." Gerutu Laura, kesal.
Juan terkekeh sembari mencubit hidung mancung Laura sebelum ia melenggang pergi.
"Oke, pulang dulu ya princess!"
"IHH JUAN!!"
•••
PRANK!
"AARRGHH!"
Laura yang baru masuk kedalam rumahnya tersentak kaget kala sesuatu yang di lempar itu pecah, di tambah suara teriakan mamanya yang semakin membuatnya khawatir. Dengan cepat ia berlari ke kamar Kana dan melihat mamanya sedang terduduk di lantai sambil memeluk sebuah bingkai foto.
"Mama!"
Kana terus menangis sambil memeluk figuran foto yang menampakkan dua orang gadis kembar tengah tertawa bahagia. Dia bahkan belum menyadari kedatangan Laura sampai ketika Laura memeluk tubuh Kana, barulah wanita itu menyadari kehadiran Laura. Lantas dia memeluk anak satu-satunya itu begitu erat.
"Mama kenapa... Plis, jangan bikin aku khawatir." Laura ketakutan kala melihat mamanya yang berantakan, seperti tertekan.
"Ara... Mama emang gak becus ya jadi orang tua? Iya kan? Anak mama sampai meninggal gara-gara mama gagal jagainnya, hiks... Mama benci dengan diri mama sendiri." Lirih Kana, terisak-isak.
"Gak ma, enggak sama sekali. Mama adalah orang tua yang paling baik di dunia ini, tolong jangan benci diri mama sendiri." Laura terus mengusap punggung Kana untuk menenangkannya.
"Mama emang orang tua yang gagal, buktinya kembaran kamu meninggal, Ra! Una! Una udah gak ada! Mama masih belum bisa nerima kenyataan ini. Mama... Mama..." Kana tidak sanggup melanjutkan perkataannya, sampai akhirnya ia menangis dalam pelukan putrinya.
Laura yang mendengar tangisan dan tubuh yang bergetar hebat itu ikut sedih. Saat ini mamanya masih terpuruk dengan kepergian saudara kembarnya. Ia menahan air matanya agar tidak jatuh sampai matanya memerah. Ia tidak mau ikut menangis agar mamanya tidak semakin menjadi membenci dirinya sendiri.
Semua ini adalah salahnya. Ia ikut sakit saat mamanya menangisi kepergian Ara dengan menyebutkan nama Launa. Ternyata sesayang ini Kana terhadapnya.
Maafin Una, ma.
Una masih hidup ma, Una sayang banget sama mama. Tolong mama jangan nangis lagi, Una jadi semakin merasa sakit di dada. Batin Laura aka Launa.
"Ma... Jangan nyalahin diri mama lagi, mama gak salah, semua ini udah takdir. Gak ada yang tau kapan kematian seseorang, begitu pun... ke-kepergian... Ar– Una." Laura mendongak menatap langit-langit kamar mamanya, berusaha untuk tidak menumpahkan air matanya terlalu banyak lagi.
Kana masih menangis sampai tersedu-sedu. Hati Laura semakin sakit dan dadanya terasa sesak.
"Ma... Jangan nangis lagi, a-aku ikut sakit." Ucap Laura terdengar gemetar.
"Ada apa ini?"
Tiba-tiba suara bariton pria dari belakang punggung Laura mengagetkannya. Baru sekarang ia bisa minta papanya lagi. Sejak kemarin ia datang ke rumah, ia sama sekali tidak melihat keberadaan papanya. Ia pun tidak berniat untuk mencari dimana papanya, karena ia masih takut untuk melihat wajah papanya. Pasca kecelakaan yang menimpanya, Kana memberitahu pada Laura kalau papanya jadi semakin sibuk dengan urusan pekerjaan hingga jarang berkumpul di meja makan. Kana pun hanya bisa bertemu dengan Arga–suaminya saat malam ketika Arga pulang.
"Papa..."
Arga maju dan berjongkok sembari menangkup kedua pipi Kana. Mata wanita itu dua-duanya sembab, bahkan rambutnya berantakan. Padahal baru tadi pagi Arga melihat istrinya dalam keadaan baik-baik saja. Walau terkadang dia juga beberapa kali melihat Kana yang suka histeris dan melempar barang sambil terus memeluk foto anak-anaknya.
Laura menyingkir ke belakang dan memberi ruang untuk papanya menenangkan mamanya.
"Sayang... Lihat aku," ujar Arga lembut. Kana mendongak menatap wajah suaminya. "Ini semua bukan salah kami, tapi emang udah takdirnya. Ku mohon jangan menyakiti diri kamu lagi, oke?"
Kana tidak membalasnya, wanita itu masih terisak lalu memeluk suaminya begitu erat. Laura yang melihatnya jadi kepikiran, sejak kapan mamanya depresi seperti ini? Saat di rumah sakit dan ketika pulang, baru kali ini ia melihat mamanya sangat terpuruk.
Berarti mama seperti ini... Karena aku?
Laura mendadak menegang saat Arga menatapnya, tatapan itu tidak seperti biasanya. Entah mengapa jantungnya berpacu begitu cepat. Tertegun sesaat kala Juan memeluknya tiba-tiba.
"Jangan pergi juga seperti saudara kembar mu. Mama kamu akan semakin sedih jika kamu pun pergi. Papa mohon, tetaplah bersama kami."
"Pa...."
Arga melepaskan pelukannya dan menatap wajah Laura dengan senduh.
"Bukan cuma mama kamu yang sedih, papa pun akan semakin sedih, Ra."
"Aku janji gak akan pergi ninggalin kalian."
Arga mengangguk sambil mengusap sebentar air matanya. "Tolong jangan kecewakan kita, Ara. Papa mohon sama kamu jangan bikin ulah lagi."
Laura mengangguk-angguk mengerti dengan maksud papanya.
"Akan aku usahakan," lirih Laura. Karena ia pun sudah membuat kedua orang tuanya kecewa tanpa mereka ketahui.
***
Makasihh udah baca 💗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top