Chapter [six]

BRAK!

Seisi kelas memandang seorang gadis yang datang sambil mendobrak pintu. Gadis itu seperti tengah menahan amarah seraya matanya mencari-cari sesuatu.

"Dimana Juan?"

Mereka semua terdiam sesaat masih bingung dengan kehadiran gadia itu tiba-tiba. Sampai pertanyaan kedua dari gadis itu membuat semuanya bergidik ngeri.

"Gak ada yang jawab gue obrak-abrik nih kelas. Cepatan kasih tau di mana juan!" Teriaknya.

"Dia gak ada disini," jawab seorang siswi yang duduk di bangku dekat dengan pintu.

"Kemana?"

"Gatau, sebelum bel emang belum masuk."

Laura berdecak kesal, lalu memandang lagi seisi kelas dengan tatapan yang tajam.

"Mana Launa?"

Semuanya saling bertukar tatap dan menggeleng yang berarti mereka juga tidak tahu. Membuat Laura semakin emosi dan buru-buru keluar kelas. Meninggalkan berbagai pertanyaan penghuni kelas IPA-A yang kebingungan.

•••

Di lain tempat dua orang yang sedang menata barang-barang olahraga yang tidak terpakai itu saling mengobrol. Diantara mereka hanya si cowok yang paling banyak omong, sedangkan gadis di sebelahnya hanya tersenyum simpul sambil mengangguk, sesekali gadis itu membalas perkataan temannya.

"Gue bingung kenapa banyak cewek-cewek yang suka sama gue. Apa mereka cuman suka visual gue doang? berarti mereka gak benar-benar mencintai gue dong. Heran kan," kekeh cowok itu.

"Lo itu harusnya sadar kalo lo kelewat tampan, bahkan gak cuman visual doang, tapi lo pinter dan sering jadi juara. Sampai-sampai jadi juara hati mereka haha." Tawa gadis itu seraya menyusun bola voli yang ia pegang.

"Haha, apaan sih, biasa aja kok. Malah gue ngerasa lo yang lebih pinter, Na."

"Tapi yang paling unggul lo," balas Launa.

Juan menggeleng. "Itu cuman kebetulan."

"Gak ada yang kebetulan, An. Lo paling unggul itu karena diri lo sendiri, dan itu udah takdir lo. Ya, pokoknya lo lebih wow ketimbang gue."

Juan terkekeh seraya mengacak-acak rambut Launa, "makasih. Tapi menurut gue, lo juga wow, haha."

Launa memutar bola matanya malas, berbicara dengan cowok ini memang tidak akan ada habisnya. Dia selalu merendah untuk meroket, membuat Launa jadi gemas sendiri.

"Terserah deh."

"Btw, bener kata lo. Gak ada yang kebetulan di dunia ini, semua yang terjadi emang udah seharusnya. Kayak gue pas ketemu sama Laura, berarti itu udah takdir, ya kan?" pernyataan Juan membuat Launa seketika terdiam, bahkan ia merubah raut wajahnya.

"Eh kok lo diam sih? ada yang salah dari yang gue omongin?" tanya Juan, bingung.

Launa mendongak dengan alis mengkerut, lantas ia menggeleng seraya tersenyum tipis.

"Gak kok, btw gue mau tanya, An."

"Apaan?" balas Juan tanpa menoleh ke Launa, karena dia yang fokus menghitung barang-barang tang barusan mereka susun.

"Emm, anu, lo cinta banget ya sama Laura?" tanya Launa. Walau merasa tidak suka dengan pertanyaan nya sendiri, tetapi ia ingin sekali mendengar langsung dari seseorang yang sudah setahun lebih ia kagumi.

Sebentar, Juan menghentikan gerakan jarinya yang tengah mencatat. Wajah cowok itu tampak berseri dan tersenyum manis. Membuat jantung Launa berdebar kencang, takut-takut ekspetasinya terlalu tinggi.

"Iya, sangattt cinta. Bahkan awal pertama gue ngeliat dia itu gue udah ngerasa ada yang aneh, dan gue baru sadar kalu gue memang jatuh cinta pandangan pertama sama dia." Jawab Juan. Dan seketika Launa merasa sesak didalam ruangan itu, tetapi ia menahannya sebisa mungkin.

Jawaban Juan barusan sangat menyayat hatinya. Mengetahui fakta secara langsung dari cowok yang ia cintai itu ternyata se-menyakitkan ini. Secara tidak langsung kalau perasaannya tidak akan terbalaskan. Launa menghapus air mata yang hampir jatuh dari matanya, ia takut kalau terlihat oleh Juan. Harusnya tadi ia tidak menanyakan soal perasaan Juan. Entah kenapa ia benar-benar berharap kalau cowok itu ada menaruh rasa walau sedikit terhadapnya.

"Oh, gi-gitu. Ya, baguslah. Btw ini udah selesai kan? Kita langsung balik kelas aja, gue takutnya kalo kelamaan disini malah kena omel sama guru yang ngajar." Gak Juan. Gue takut kalo kelamaan disini hati gue semakin hancur. Lanjut Launa dalam hati.

"Hm, iya juga, yaudah ayok balik kelas. Ini tinggal gue serahkan ke pak Rowan." Balas Juan.

Disaat keduanya hendak pergi meninggalkan gudang, tidak sengaja mereka bertemu dengan Laura yang sudah berdiri di depan pintu gudang sambil bersedekap dada. Gadis itu menatap Juan dan Launa dengan tatapan yang sulit diartikan. Juan yang melihat itu jadi kalang kabut, takut kalau kekasihnya salah paham lagi. Namun, tidak dengan Launa yang memasang wajah datar ketika beradu tatap sama Laura.

"Ara! Kok kamu bisa disini? kamu gak masuk kelas?" tanya Juan mendekati Laura.

Laura mengalihkan pandangannya ke Juan sambil tersenyum, "gak sayang. Aku dari tadi nyariin kamu, ternyata kamu disini sama Kak Una."

"Ara, ini gak seperti yang kamu lihat. Tolong kamu jangan salah paham dulu, oke? aku jelasin dari–"

Laura langsung menutup mulut Juan dengan jari telunjuknya. Ia tersenyum sambil mengeratkan pelukan di tangan Juan.

"Gak usah di jelasin. Aku percaya kok. Btw, kamu anter aku ke kelas ya."

Sontak Juan langsung melihat ke bawah, fokusnya ke kaki Laura sebelah kiri yang dia ketahui kaki itu habis jatuh.

"Kaki kamu masih sakit?"

"Udah enggak. Aku cuma mau kamu anter aku dulu ke kelas, soalnya aku belum masuk ke kelas pas bel bunyi."

Juan menghela napas lega, lantas dia mengangguk. "Pasti minta aku ngasih alasan ke guru kamu, kan?"

Laura cengengesan, "pinter deh."

Kemudian Juan menatap Launa yang masih berdiri di depan pintu gudang.

"Launa, gue nemenin Ara dulu ya. Lo balik ke kelas duluan aja," ujar Juan.

"Ya, silahkan. Gue emang mau balik kelas duluan kok. Bye Juan, Ara." Balas Launa kemudian pergi dari hadapan sepasang kekasih itu.

"Bye Unaa, lain kali kalo disuruh guru jangan ngajak Juan ya, soalnya aku capek nyariin Juan nya." Ucap Laura sedikit meninggikan suaranya.

"Ara," ujar Juan memperingati. Namun, Laura membalasnya dengan cengiran.

Launa yang mendengar jelas suara Laura merasa kesal, dia mengepal kuat kedua tangannya. Ingin sekali ia membalas perkataan Laura, tetapi ia lelah untuk berdebat, apalagi saat ini masih ada Juan. Launa hanya tidak ingin Juan menilai sifatnya yang kasar dan bertolak belakang dengan sifat yang selalu dia tunjukkan di depan semua orang. Selain itu ia juga tidak ingin terlibat masalah kalau-kalau ada guru yang melihat mereka.

Setelah menjauh dari Juan dan Laura, entah mengapa air mata Launa terjun dengan sendirinya. Sedari tadi ia menahan nyatanya ia tidak sanggup. Masih terngiang-ngiang pernyataan Juan tadi, membuat hatinya terasa sakit. Kenapa ia sangat mencintai cowok itu? padahal Juan sendiri sudah menyatakan perasaannya bawah dia lebih mencintai Laura dari pada Launa. Hanya Laura yang Juan pilih dari banyaknya gadis yang naksir dia. Teringat jelas dulu saat Juan berusaha dekat dengannya yang ia pikir cowok itu juga menyukainya. Ternyata Juan hanya ingin tahu keseharian Laura melalui ia. Juan mengakui itu secara tidak sadar ketika cinta cowok itu sudah diterima oleh Laura.

"Kok sakit banget ya," monolog Launa.

***

Oke. Sekian chapter hari ini, nantikan chapter berikutnya 😻


Btw, ada yg pernah ngalamin sama kayak Launa? Atau sekarang lagi ngalamin🙊

Soalnya Author pernah ngalamin awokawok. Emang gak enak ya menganggumi dalam diam, apalagi udah sampe mencintai. //plak

Malah jadi curhat wkwk. Gak guys, yg aku alami itu cuma cinta monyet, hihi 🙈


Udah ah jangan dilanjut:>

Makasihh sudah baca💕 love sekebonnn!

Jangan cuma baca, vote juga dong biar makin semangat nih hehe.
👁️👄👁️

Bye bye muachh 💋


15.05.2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top