Chapter [seven]
"Baiklah anak-anak, hari ini bapak akan membagikan hasil nilai ulangan harian fisika minggu lalu." Ucap seorang guru berkumis tebal.
Sebagian penghuni kelas IPA-A saling bisik-bisik, seakan menebak siapa yang akan mendapatkan nilai paling tinggi. Semua mata langsung tertuju ke cowok tampan yang duduk di paling belakang. Juanda Areksa yang kini tengah tersenyum tipis menanggapi perkataan teman-teman yang duduk di depan dan sampingnya.
"Percaya deh pasti lo paling tinggi," ujar teman sebangku Juan.
"Haha gak salah lagi, sih." Ceplos salah satunya.
"Juaann is debest!" Pekik anak perempuan. Sedangkan Juan hanya geleng-geleng kepala menanggapi nya.
"Hei anak-anak! Perhatikan saya di depan bukan ke Juan." Pintah pak Bagas selaku guru fisika.
Semuanya kembali terdiam, membuat pak Bagas menghela nafas panjangnya. Memang benar yang di ributkan murid-muridnya, kalau Juan selalu menduduki peringkat pertama setiap ulangan. Bahkan di nilai-nilai biasa dia selalu mendapat seratus tanpa ada coretan sama sekali. Sempurna sekali, ya.
"Baiklah, langsung saja saya katakan seperti biasa nilai tertinggi masih diperoleh Juanda Areksa. Silahkan maju dan ambil kertasnya." Ucap pak Bagas.
Semuanya bersorak kegirangan sambil bertepuk tangan heboh.
"Huhhh teman gue tuh!"
"Teman gue juga."
"Aelah temen kita sekelas lah anjr!" Sahut cowok brondong yang langsung di geplak oleh teman sebangkunya.
"GALIH MULUT MU!" pekik Pak Bagas.
Seketika Galih langsung menutup mulutnya yang keceplosan.
"Peak sih lu, udah tau masih ada pak Bagas malah ngomong kasar."
"Lupa bro,"
Semuanya tertawa saat Galih si tukang ribut di kelas kena marah oleh pak Bagas. Walaupun begitu cowok itu malah kembali cengengesan bersama temannya.
"Sudah-sudah! Ambil kertas ulangan kalian saat namanya bapak sebut."
Ketika giliran nama Launa di panggil banyak bisikan dari teman-teman cewek yang sinis terhadapnya. Namun, Launa mengacuhkan itu semua. Baginya omongan mereka tidaklah penting, melainkan angin lalu yang lewat. Dan saat ia sudah mengambil hasil ulangannya tiba-tiba wajah Launa berubah muram, seakan gadis itu merasa kecewa dengan hasilnya.
"Tidak apa Launa, walaupun nilai kamu sekarang turun dari ulangan yang lalu, tapi ini juga sudah lebih tinggi dari teman-temanmu." Ucap Pak Bagas. Launa hanya mengangguk dan kembali ke bangkunya.
"Emangnya nilai Launa berapa, pak?" tanya salah satu siswa berkacamata.
"Sembilan puluh," jawab pak Bagas, dan seketika mengundang kehebohan anak-anak lain.
"Anjir tinggi itu!"
"Masih tinggi tapi muka dia kayak kecewa berat."
"Halah, emang dasar Launa kan lebay, selalu pengen dapat yang sempurna."
"Itu akibat kalau pelit ngasih contekan."
"Kagak ada hubungannya jubaidah! makanya belajar jangan bisanya nyontek."
"Apaan sih," sinis gadis dengan liptin sedikit tebal.
Dan bisik-bisik anak perempuan lainnya. Tidak banyak juga anak cowok yang mengomentari nilai Launa. Sedangkan Launa hanya diam tidak kuasa untuk meladeni mereka. Ada yang lebih ia khawatirkan, yaitu amarahnya papa kalau tau nilainya turun.
•••
PLAK!
"SELAMA INI KAMU NGAPAIN? KAMU TIDAK BELAJAR HEH?"
Launa menunduk takut sambil memegang pipinya yang terasa perih.
"B-belajar, pah."
"Kalau belajar kenapa nilainya bisa turun? Kenapa? Pasti kamu malas-malasan."
"Enggak pah,"
"Jangan bohong kamu! Berapa kali papa liatin kamu suka begadang, itu ngapain? Pasti mainin hp, kan?!"
Lagi dan lagi Launa menggeleng sambil terus menunduk. Kali ini ia akan habis di marahi papanya karena hasil ulangannya menurun.
"Pah, udahlah, lagian itu cuma ulangan harian." Ucap Kana menenangi suaminya.
"Justru itu cuma ulangan harian kenapa nilainya bisa rendah! Baru ulangan harian aja nilainya jelek, gimana ujian selanjutnya yang bakal lebih susah!"
Arga menarik kasar tangan Launa dan memukulnya dengan gantungan pakaian yang berada di atas meja.
Plak
Plak
"Harusnya kamu tau apa akibatnya kalau nilai kamu tidak memuaskan! Apalagi itu turunnya jauh sekali sama ulangan sebelumnya."
"Waktu itu papa masih bisa ngasih toleran, tapi kali ini kamu udah kebangetan, Launa!"
Plak.
Launa meringis kesakitan, menahan sakit di telapak tangannya. Kana yang berada disitu tidak tega melihat anaknya yang kesakitan. Buru-buru dia mengambil alih gantungan itu dan menatap suaminya yang saat ini diselimuti amarah.
"Sudah mas sudah! Mau sampai kapan kamu mukulin Una? Kamu gak lihat tangan dia udah merah," ujar Kana parau sambil memeluk Launa.
Arga melihat itu langsung melepaskan tangan Launa. Dia mengacak rambutnya dengan kesal. Kemudian pria paruh baya itu melenggang pergi dan masuk ke kamar. Suasana hatinya memang sedang tidak baik-baik saja, di tambah melihat nilai Launa yang menurun semakin menambah emosinya.
"Sudah Una, tenangin dirimu, ada mama disini." Kana mengelus pundak Launa yang masih gemetaran. Namun, tangis Launa semakin menjadi kala ayahnya sudah pergi. Sedari tadi gadis itu menahannya karena takut Arga semakin kesal.
"Una udah belajar, Ma, dan Una begadang bukan main hp. Kenapa papa selalu nyalahin Una? Kenapa Ma? Selama ini Una selalu nurutin apa yang papa inginkan, Una gak pernah ngecewain papa." Lirih Launa.
"Iya, Una gak pernah ngecewain mama sama papa kok. Mungkin papa mu lagi capek, sayang. Kamu tolong jangan membenci papamu ya?"
"Una gak pernah benci papa, Ma."
"Iya, sayang iya. Mama antar ke kamar ya. Kamu jangan nangis lagi, nanti matamu bengkak, besok kan masih sekolah."
Launa menghapus jejak air matanya dan berusaha bangkit dari duduknya. Langkah pelannya mengikuti langkah Kana yang memapahnya. Malam ini tidurnya ditemani rasa sakit akibat ayahnya.
•••
Diam-diam Laura membuka pintu kamar Launa dan menyelusup masuk ke dalam. Gadis itu melihat saudaranya yang tengah tertidur dengan selimut tebal yang menutupi hingga ke atas leher. Lantas ia mendekat dan melihat wajah Launa yang lembab karena masih ada air mata terus menetes dari matanya.
"Kasian lo, Na. Padahal dari awal gue udah bilang gak usah nurutin kemauan papa, tapi lo kepengen banget jadi anak tersayang papa. Sayang sekali papa cuman nganggap lo sebagai penerus perusahaannya."
Laura tersenyum miring sambil bersedekap dada, menatap Launa yang lelap dalam tidurnya.
"Tadinya gue mau ngomong buat jangan terlalu dekat dengan Juan, tapi ngeliat lo kayak gini gue jadi gak tega. Yaudah deh, have a sweet dream twins." Bisik Laura di samping tempat tidur Launa, kemudian ia keluar dari kamas tersebut.
Setelah Laura menutup pintu kamar Launa, gadis itu menghela nafasnya gusar. Kembali ia menatap pintu kamar itu dengan tatapan senduh.
"Gue sayang banget sama lo, Na. Harusnya lo menyadari itu, semua yang gue lakuin demi kebaikan lo sendiri. Gue cuma gak mau lo makan hati terus." Monolog Laura.
"Perasaan lo ke Juan itu, gue tau, Na. Lo bisa nutupin dari semua orang, tapi enggak dengan gue. Sorry, kalo selama ini gue nyakitin elo, tapi gue juga gak bisa ngelepasin Juan. Maupun kembaran gue sendiri, gue gak akan ngasih Juan ke siapapun."
Setelah itu Laura kembali ke kamarnya yang berada disebelah kamar Launa. Gadis itu tidak menyaksikan langsung saat kembarannya di tampar oleh papahnya. Ia hanya berdiam di kamar dengan earphone yang menyumbat telinganya, tetapi ia masih bisa mendengar teriakan papanya walau dari kamarnya sekalipun. Tidak ada yang bisa ia lakukan saat papanya sudah marah, apalagi dalam keadaan baru pulang kerja. Dan lagi, Laura tidak ingin ikut campur dalam masalah Launa.
***
Yak, update lagi guys!
Gimana? Capek ya? Sama kok aku juga, tapi tetap harus smile ya😊 haha.
•
•
Kalo hari ini kalian ngerasa lelah, capek, udah gak semangat ngejalanin hari. Ingat satu hal, apa tujuan kamu? alasan kamu bertahan itu karena apa? Pasti ada impian yg ingin kami gapai, kan? Jadi, tetap semangat yaa mau secapek apapun kamu. Boleh kok berenti sebentar, tapi cuma istirahat ya gak ada yang nyuruh buat nyerah. Ingat itu.
•
•
Sekian dari pacarnya Yoshi, babay muach💋
Makasihh udh baca dan bertahan sampai sini💕 jangan lupa tekan bintang di bawah, pojok kiri😅🙏
•
•
16.05.2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top