Tiga Puluh Tiga
Ternyata ada banyak hal yang nggak gue tau tentang lo.
-Axel
Lusi mendorong tubuh Axel, kedua tangannya masih berada di dada pria itu. Dia menunduk. Kalau Axel tak mengajaknya menikah, mungkin dia akan dengan bodoh berpikir bahwa laki-laki ini adalah Bizar.
"Cukup ... gue nggak bisa."
Axel bingung karena Lusi berusaha menyembunyikan wajahnya. "Lo nggak pa-pa?"
Lusi masih tetap menunduk dan enggan menunjukkan air matanya. "Lo ... harus ngerti. Ini semua nggak mudah buat gue. Jadi tolong ... jangan ganggu hidup gue. Gue bukan orang yang pantas untuk dicintai."
Dari suara Lusi, Axel bisa tau kalau gadis itu tengah terisak. Akhirnya yang mampu dia lakukan adalah menepuk-nepuk punggungnya agar lebih tenang. "Lo orang yang pantas dicintai. Kalau memang nggak pantas, maka gue akan buat itu menjadi pantas."
Lusi semakin terisak kala mendengarnya. Dari awal pertemuannya dengan pria asing bernama Axel ini, Lusi memang sudah merasa aneh. Sebab semua yang Axel lakukan selalu mengingatkannya dengan moment ketika dia bersama Bizar. Dan itu tidak mudah bagi Lusi. Bizar adalah ingatannya yang paling menyakitkan.
"Kenapa ... laki-laki sebaik lo dateng ke hidup gue? Gue bukan siapa-siapa."
"Karena ... karena apa, ya?" Lusi mendongak, menatap Axel yang tampak main-main dengan perkataannya. "Emang suka sama seseorang harus ada karenanya, ya?"
Lusi tak mengerti, semakin dia bicara dengan Axel, dia seperti melihat dialognya yang banyak dipakai pria itu. Atau Jangan-jangan ... dia pembaca komik I'm In Love With a Second Lead?
"Tunggu ...," gumam Lusi yang mulai mengingat sesuatu. Hal itu membuat degup jantung Axel berdebar kencang. Apa Lusi sudah mulai menyadarinya? "Lo bilang, nama lo Axel, kan?"
Axel mengangguk. "Kenapa?"
Sekarang Lusi sudah ingat. Walau samar-samar, kejadian itu adalah ingatan paling besar selain kecelakaan orang tuanya di dalam hidup Lusi. "Apa lo pernah tenggelam waktu kecil? Contohnya, terseret ombak."
"Kok lo tau?" Axel juga terkejut mendengarnya. Dia bahkan baru tau kalau pernah tenggelam karena cerita ayahnya. Bagaimana bisa Lusi tau?
"Wah, ini ... gue masih nggak percaya, sih!" Lusi mengusap air matanya yang berlinangan. Sekarang dia paham mengapa laki-laki aneh ini tiba-tiba datang ke hidupnya. Apa ini seperti reuni teman lama? "Gimana kabar lo, Axel? Udah 16 tahun lebih nggak, sih? Dan lo ... baik-baik aja?"
Axel tak tau kenapa Lusi jadi seperti kenal dekat dengan dirinya. Apa maksud ini semua? Lantas Axel melihat tangan Lusi yang terulur.
"Sorry, karena kemarin udah bersikap kasar sama lo. Senang ketemu lo lagi, Axel," ucap Lusi dengan seulas senyuman.
***
Karena merasa sudah kenal dengan Axel, Lusi pun menerima tumpangan dari Axel ke sekolah yang ingin Lusi lamar. Dia pun keluar dari mobil kemudian kembali melihat Axel. "Makasih tumpangannya! Ngomong-ngomong, apa nanti lo ada waktu?"
"Gue nganggur, mau gue jemput?"
Lusi mengangguk dengan semangat. "Boleh! Gue cuma dua jam aja kok di sini."
"Oke, nanti gue ke sini lagi," jawab Axel yang sebenarnya masih bingung dengan perubahan sikap Lusi padanya.
Setelah berbalik, Lusi merasakan kebahagiaan yang besar. Bagaimana ya reaksi ibu Axel? Apa mereka sudah bertemu? Dulu ibunya berpikir bahwa anaknya sudah mati tenggelam. Beruntunglah Lusi bertemu dengannya di sini. Suasana hatinya jadi otomatis membaik karena dia akan segera mempertemukan ibu dan anak itu.
Ah, sepertinya ... seharusnya Lusi tak berpikir untuk bahagia secepat itu. Sebab kebahagiaan tidak gratis, pasti akan ada kesedihan yang menyertai. Hal itu dia simpulkan ketika melihat seorang laki-laki yang ingin Lusi jauhi seumur hidupnya sedang berdiri tak jauh dari pohon.
"Kaluzi ... my pretty girl," ucap orang itu.
Wajah Lusi memucat, kedua tangannya sudah bergetar sejak mata mereka bertemu. Kenangan-kenangan yang menyakitkan itu akhirnya terputar. Mengapa dia harus bertemu dengannya lagi?
"Ga--gavin? Lo ... kenapa bisa ...." Terakhir kali Lusi ingat, pria ini sudah mendekam di penjara. Kenapa bisa di sini?
"Iya, gue di sini karena merindukan wanita gue." Gavin meletakkan sebatang rokoknya di bibir lalu memberikan Lusi koreknya. "Hidupin."
Tangan Lusi bergetar, sehingga dia tak bisa melakukannya. Dia juga tak ingin terlihat ketakutan di depan Gavin.
"Gue bilang ...." Gavin mengaitkan anak rambut Lusi ke belakang, lalu mendekat ke telinganya. "... hidupin."
Spontan Lusi menerima korek itu. Sekuat tenaga dia menahan tangannya agar tidak bergetar. Kemudian dia dekatkan api itu ke rokok Gavin.
"Pinter." Gavin mengusap sayang kepala Lusi. "Sekarang ikut gue."
Lusi menggeleng. "Gu--gue harus cari kerja."
"Jadi, lo membantah kata-kata gue?"
Lusi menunduk, tak berani menatap Gavin. Pria itu berjalan mendekati Lusi lalu merangkul pinggangnya. Dia cubit kecil lengan Lusi seperti apa yang dulu selalu dia lakukan kalau gadis ini tak menurut.
"Jadi, lo tetap nggak ikut?"
Air mata Lusi menetes. Melawan Gavin hanya akan menyakiti dirinya sendiri dan Lusi sudah mengalami itu bertahun-tahun ketika masih berhubungan dengannya.
Lusi menggeleng untuk menjawab pertanyaan itu. Akankah kali ini ... dia disiksa lagi? Membayangkan jatuh ke dalam lubang menyakitkan itu membuat Lusi teringat Bizar. Dia adalah kebahagiaan sesaat yang Lusi pikirkan sepanjang harinya. Dengan Bizar, Lusi bisa keluar dari rasa takutnya atas tindakan Gavin. Jadi, apa berlebihan jika Lusi mengatakan bahwa Bizar membawa surga untuknya?
"Lusi?"
Langkah Lusi dan Gavin terhenti. Keduanya berbalik kala mendengar seseorang memanggil. Seperti seorang pangeran yang hendak menyelamatkan tuan putrinya, Axel datang di waktu yang tepat. Mungkin saat pergi, dia tak sengaja melihat Lusi yang berjalan aneh dengan seseorang.
"Siapa?" tanya Gavin kepada Lusi.
"Ada apa, Lusi?" tanya Axel yang semakin cemas dengan Lusi yang bahkan tak bisa menjawab.
"Gue lagi ngomong, lo kenapa ikutan?" sinis Gavin pada Axel yang sok dekat dengan Lusi.
"Gue ada perlu sama Lusi. Apa lo bisa melepas rangkulan lo? Kayaknya dia nggak nyaman."
Gavin terkekeh mendengarnya. "Kalau dia nggak suka kenapa? Suka-suka gue mau gimana. Dia kan pacar gue."
"Pa--pacar? Apa itu bener, Lus?"
Lusi ingin berkata bahwa pria ini menyakitinya, tapi dia tak berani. Harapannya, Axel bisa mengerti tanpa harus ia jelaskan.
Gavin mencekik leher Lusi dari belakang. Spontan Lusi mengangguk, tapi matanya berkedip beberapa kali sebagai isyarat. Yang sayangnya, Axel tidak memperhatikannya.
"Udah jelas, kan? Bye!" ucap Gavin yang langsung merangkul Lusi lagi. Sebelum keduanya beranjak, Axel kembali menghentikannya dengan menahan bahu Gavin. Dengan sigap, pria itu memutar tangan Axel hingga menguncinya.
"ARRRGH!"
"Gav ... jangan!"
Gavin tertawa. "Lo berani melarang gue?"
"Di--dia nggak salah apa-apa," ucap Lusi yang sudah ketakutan melihat Axel mengerang kesakitan.
"Dia udah ganggu milik gue. Jadi harus dihukum!"
Lusi melihat Gavin yang mengeluarkan pisau lipatnya. Hal itu membuat telinganya berdenging seketika. Dia langsung mengingat kejadian-kejadian saat Natasya dan Bizar mati.
Lusi menggeleng, tak ingin kejadian yang sama terulang kembali.
Tanpa babibu, Lusi langsung melindungi Axel dengan menerima dirinya sebagai sasaran pisau Gavin. Dia tak lagi peduli dengan tatapan tajam pria gila itu padanya, Lusi hanya tak ingin ada orang mati lagi karenanya.
"LUSI!"
Melihat darah yang keluar dari tangan Lusi yang menahan pisau itu membuat Gavin panik dan segera berlari pergi. Sebelum tumbang ke tanah, Axel segera menopang tubuhnya. Keduanya jatuh terduduk dengan kepala Lusi yang berada di pangkuan Axel.
"Lu--Lusi! Lo ... lo ketusuk!"
Axel sudah panik akut tapi hanya bisa kelabakan sendiri. Dia benar-benar mencemaskan kondisi Lusi yang berlumuran darah. Namun, kenyataannya dia malah melihat Lusi tertawa.
"Lusi?"
Lusi bangun dari pangkuan Axel dan membersihkan pakaiannya yang terkena tanah. "I'm fine, Xel. Lo baik?"
Lusi mengulurkan tangannya yang berdarah ke arah Axel. Membuat pria itu semakin bingung lalu bangkit sendirian tanpa menerima uluran tangan Lusi.
"Lo ...."
"Gue nggak pa-pa, gue berhasil nahan pisau itu pakai tangan. Wajah lo lucu ya kalau panik?"
Axel menarik kedua tangan Lusi dan membuka telapak tangannya. Keduanya sama-sama tergores lebar. Harusnya gadis itu merasa kesakitan sekarang.
"Sakit, kan?"
"Nggak lebih sakit dari melihat orang lain mati karena gue," jawab Lusi, merasa sangat senang karena Axel tidak terluka.
"Kita obati dulu!" Axel menarik pergelangan tangan Lusi, mengajaknya ke mobil untuk mengobati luka itu.
Sampai Axel datang kembali usai dari apotek, Lusi menunggu di mobil. Dia datang dengan wajah serius karena mencemaskan luka Lusi. Dengan cekatan, Axel mengobatinya.
"Sakit?" tanya Axel lagi.
Lusi mengangguk dengan seulas senyuman. Dia senang melihat sisi lain dari Axel yang sok cool dan menyebalkan.
"Kalau dia pacar lo, kenapa bisa segila itu?"
Lusi menunduk. "Padahal gue nggak mau kelihatan lemah di mata siapa-siapa."
"Hei, lo udah nyelamatin gue. Lo adalah orang terkuat di bumi menurut gue."
Mendengar itu, Lusi akhirnya mau menatap Axel dengan mata berkaca. Jujur dari tadi dia masih ketakutan dengan tindakan Gavin. Lantas Axel menangkup kedua pipi Lusi, lalu menempelkan kening mereka berdua.
"Jangan berakting kuat, lo bisa berbagi kelemahan lo sama gue," ucap Axel.
Lusi menggeleng, kedua bahunya terisak. Dia semakin kalut kalau diperlakukan begini.
"Gue minta maaf. Gue janji, nggak akan terluka karena lo. Gue akan berusaha menjaga diri dan menyelamatkan kita berdua."
Ya, itulah yang ingin Lusi dengar. Dia ingin mendengar orang lain mau menjaga dirinya demi Lusi, bukan melukai dirinya demi Lusi.
Maaf, gue nggak tau kalau efek kejadian itu bisa sebesar ini buat lo, batin Axel.
"Dia bukan pacar gue," ucap Lusi akhirnya. Dia memundurkan kepalanya dari Axel. Kemudian Axel pun kembali mengobati lukanya.
"Sekitar enam tahun yang lalu, gue kenal laki-laki bernama Gavin. Dia adalah cinta pertama gue," ungkap Lusi. Sebenarnya Axel terkejut, tapi dia memilih untuk fokus melanjutkan apa yang dilakukan karena senang Lusi mau membuka diri padanya.
"Gavin yang gue kenal dulu adalah orang yang baik. Dia murah senyum, populer di kalangan mahasiswa baru, dan punya image bagus. Gue merasa rendah diri harus dekat dengan dia padahal gue cuma anak sakit-sakitan yang pulang-pergi rumah sakit." Lusi tidak tau mengapa dia bercerita. Ketika melihat wajah terkejut Axel tadi, rasanya Lusi hanya ingin menjelaskan semuanya agar tak ada kesalahpahaman.
"Sampai akhirnya, gue dan dia pacaran. Tanpa tau kalau dia punya selera yang aneh dalam menjalin hubungan. Semacam toxic relationship di mana menyakiti pasangan adalah bentuk kasih sayang. Dia tertarik dan tergila-gila dengan tatapan gue yang katanya haus perhatian dan kasih sayang. Gue bertahan sama dia selama tiga tahun dan menganggap itu semua cinta." Lusi terkekeh. "Bodoh, ya?"
Axel sudah sekuat tenaga menahan kekesalan yang ada pada dirinya kala mendengar kisah itu. "Kenapa lo nggak menceritakan hal ini dari dulu ke gue? Sedangkan dulu gue banyak menyakiti lo."
Lusi tak mengerti apa maksud Axel. "Ha?"
Kemudian Axel membawa Lusi ke dalam dekapannya. Kali ini gadis itu tak menolak, anggap saja sebagai bentuk terima kasih karena sudah mengobati tangannya.
"Bersandarlah ke gue, Lusi. Gunakan gue kapanpun. Lampiaskan semuanya ke gue."
Lusi senang mendengarnya. Walau ini mungkin cukup lucu baginya sebab dia belum terlalu lama mengenal Axel.
"Katanya ... di hidup ini kita akan jatuh cinta tiga kali."
Axel memilih diam mendengarkan Lusi bicara walau dengan posisi yang masih sama.
"Cinta pertama adalah cinta yang lugu, yang seindah dongeng, dan yang kita pikir akan bertahan selamanya. Tapi itu tidak mungkin terjadi karena kita akhirnya sadar, kalau dongeng itu tidak nyata." Lusi membayangkan cinta ini sebagai Gavin.
"Cinta kedua adalah cinta yang intens. Cinta yang rasanya seperti akan menjungkirbalikkan dunia. Orang yang datang dengan kelebihan yang luar biasa dan kekurangan yang mengingatkan kalau kalian tidak mungkin bisa bersama. Cinta ini akan membuat lo sangat kesakitan karena akan mengajarkan apa yang lo inginkan dan apa yang nggak lo inginkan." Cinta ini adalah Bizar, di mana Lusi sadar bahwa dia adalah satu-satunya laki-laki yang pas dengannya walau berbeda dunia.
"Dan cinta ketiga adalah cinta tanpa syarat. Yang akan tinggal, yang akan membuat kita merasa dicintai, didengarkan, diperhatikan, dan dilindungi. Yang tidak kita sangka kedatangannya tetapi akan membuat kita merasa seperti pulang ke rumah." Saat membayangkan cinta ini, dia malah tiba-tiba teringat Axel.
Apa lo ... akan menjadi cinta ketiga dan terakhir gue, Xel? pikir Lusi tanpa sadar.
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top