Tiga Puluh Satu
Ini hukuman buat lo.
-Luki
"Ahhhhhhhhh, gue keseeeel! Gue sebeeeeeeeel! Gue gemeeeeeees!" Axel datang sambil menginjak-injak lantai berulangkali. Tak hanya itu, dia juga menonjok dinding yang ada di sebelahnya, tapi langsung mengaduh dan mengibas-ibaskannya kala merasa sakit. Tak puas dengan itu, dia menendang tong sampah hingga isinya berserakan.
Luki meliriknya saat tong sampah itu menggelinding. "Bersihin," titahnya.
Secara otomatis Axel membungkuk dan mengambil tong sampahnya lagi karena merasa takut. "Baik."
Luki yang sedang menyemprot tanaman hiasnya kembali fokus ke depan. "Udah ketemu Lusi?"
Axel yang sedang berjongkok menghela napas berat. "Udah." Lagi-lagi dia menunjukkan muka masam.
"Terus gimana? Dia inget lo?"
Axel meninggalkan tong sampah itu tanpa menyelesaikannya dan berlari mendekati Luki. "Ya lo pikir? Dengan wajah dan tubuh kayak gini? Masa dia inget?"
Axel menatap kedua tangannya yang lebih besar, dia bolak-balikkan berulangkali. Bahkan badannya jauh lebih tinggi daripada Luki.
"Gue jumbo begini! Terus ini ...." Axel menggosok bulu-bulu tipis yang ada di rahang dan janggutnya. "Gatel banget brewokan gini."
"Bizar," gumam Luki dengan raut sangat lelah. "Inget umur lo! Sekarang, di dunia nyata, lo berumur 27 tahun. Inget? 27 tahun! Jadi berhenti bertingkah seperti anak-anak dan cobalah untuk beradaptasi."
"Itu masalahnya! Gue nggak bisa bersikap 10 tahun lebih tua. Gue itu masih 17! Gimana ceritanya gue lebih tua 2 tahun dari lo dan Lusi?!" pekiknya.
"Bizar ... maksud gue, Axel!" Luki memegang kedua bahu Axel yang lebih lebar dan besar darinya. "Lo harus fokus sama rencana kita, oke? Lo mau bersama dengan Lusi secara normal, kan? Ya ini caranya."
Axel masih tak terima. Dia melepas kedua tangan Luki darinya. "Ada cara lain kok. Kenapa gue nggak langsung loncat di depan Lusi sambil bilang, 'Jeng-jeng-jeng! Hai, Lus, ini Bizarki Laxellon dari komik Natasya's Love!'. Kan bisa gitu."
"Nggak. Itu terlalu mudah buat lo. Lo harus dihukum karena udah membunuh diri lo sendiri di dunia komik. Kan gue cuma bilang kalau kalian bakal hancur bersama kalau nggak segera mengakhiri cerita. Tapi nggak harus bunuh diri juga, apalagi di depan Lusi!" ucap Luki yang masih kesal dengan keputusan Bizar.
"Kalau nggak gitu, gue harus apa?"
"Lo kan bisa bilang ke dia kalau lo nggak cinta dia atau apa. Eh, lo malah menafsirkan perkataan gue seenaknya. Sekarang lo rasain hukuman lo. Toh, lo juga terlalu sering menyakiti adik gue di dunia komik," kata Luki, kemudian berjalan mendekati meja kerjanya.
"Untung Om Pamungkas masih inget soal kekayaannya, jadi lo bisa menggunakannya juga. Apa sekarang dia masih cari nyokap lo?" tanya Luki sembari memindahkan dokumen penting dan tidak untuk ditempatkan di map.
"Jadi begini ...," gumam Axel yang tidak mendengarkan ucapan Luki sama sekali.
"Apanya?" tanya Luki.
Axel tampak menggosok wajahnya dengan perasaan resah. "Gue nggak nyangka kalau rasanya bakal sesakit ini ditolak orang yang kita suka. Pasti dulu Lusi juga merasakan ini. Tapi kenapa dia kelihatan kayak nggak pa-pa banget?"
"Itu karena dia udah suka banget sama lo sebelum masuk dunia komik. Sekarang apa lo suka banget sama dia sampai sekuat itu untuk tahan?"
Axel tampak mengerutkan keningnya. "Ini susah banget, gue nggak bohong."
"Gue janji, lo bisa mengungkapkan jati diri lo tepat ketika Lusi membuka hatinya untuk lo."
"Cara lembut apa lagi yang harus gue lakukan biar dia tertarik sama gue?" gumam Axel yang suaranya masih bisa didengar Luki.
"No-no-no, itu kalau Bizar karena dia masih muda. Kalau lo ... Axel yang merupakan pria dewasa dan matang harus bisa menjadi dominan untuk dia. Karena perempuan dewasa kayak Lusi pasti langsung tergila-gila sama laki-laki dewasa yang tegas dan keras."
Luki tampak tak meyakinkan. Axel malah merasa bahwa sarannya itu sesat. "Lo tau dari mana?"
"Karena itu yang gue lakukan ke bini gue."
"Ah, istri lo ... gue belum pernah ketemu dia sama sekali. Apa dia cantik?" tanya Axel.
"Kalau cantik kenapa? Lo mau berhenti suka sama adik gue dan bersaing?"
"Yailah ... Luki, nanya doang padahal. Gue kan penasaran," ucap Axel yang sudah menciut duluan.
"Itu yang memang harus dilakukan laki-laki dewasa untuk melindungi wanitanya. Catat!"
Axel mengangguk dengan lemah. "Entar kalau Lusi nggak suka gue gimana? Dia aja nggak inget sama sekali padahal gue udah melakukan apa yang dia lakukan ke gue dulu."
"Mikir. Dulu Lusi juga kayak gini. Jangan pernah kehabisan ide dan mundur."
Axel berbalik, hendak membaringkan dirinya di brankar yang dia tempati selama bertransmigrasi ke komik.
"Bersihin tong sampahnya dulu!" kata Luki.
Mengamati Axel, Luki jadi teringat kala pertama kali menjumpai tubuhnya di ruang khusus yang disembunyikan kakek Feronika. Sepertinya sebelum meninggal, sang kakek sudah mempersiapkan sebuah komik baru khusus untuk keempat orang itu, sehingga dia sengaja menyembunyikannya dari Feronika. Beruntungnya menjadi menantu, Luki jadi mengetahui hal-hal yang tak seharusnya dia ketahui.
Saat pertama kali membangunkan Axel, Luki melihat wajah pria itu yang kebingungan. Dia menyentuh perutnya dengan ekspresi syok.
"Perut gue!" Axel menatap ke arah perutnya. "Loh, kok nggak ada darahnya?"
"Welcome to the real world, Axel," ucap Luki dengan tangan bersedekap. Mendengar itu, Axel yang masih merasa bahwa dirinya Bizar bukan Axel jadi kebingungan.
"Gue ... di rumah sakit?" Axel mengedarkan pandangannya, tapi tak mengerti mengapa bentuk ruangannya seaneh ini.
"Lo di laboratorium dengan tubuh nyata lo. Jujur gue kaget saat tau kalau lo juga bertransmigrasi seperti gue dan Lusi," ucap Luki.
"A--apa?! Itu nggak mungkin. Lo juga kenal Lusi?"
"Lo mungkin kenal gue sebagai Leoner," ucap Luki dengan ekspresi serius.
"Leoner?!" Axel langsung meloncat dari tempatnya dan meraba-raba wajah Luki. "Kok-- bisa?! Lo juga jadi lebih kecil begini? Wajah lo ... lo operasi plastik?"
"Bukan gue yang kecil, lo yang membesar. For your information, tubuh gue dan Leoner hampir mirip. Dan ... ini adalah wajah asli gue, bukan hasil operasi," ucap Luki, menjelaskannya dengan sabar.
"Terus kok?"
"Itu di sana ada kaca besar, udah gue siapin buat lo. Coba lo lihat gimana penampilan lo," kata Luki, menunjuk sebuah kaca yang ada di dekat pintu ruangan kaca.
Dengan percaya diri, Axel berjalan mendekat. Namun ketika sudah melihat sebuah bayangan di kaca, dia langsung terpelonjak kaget.
"HAH?!" Axel menoleh pada Luki sambil menunjuk dirinya sendiri. "I--itu siapa?!"
Luki hampir tertawa melihat reaksi Axel. Tapi mungkin kalau dia berada di posisi Axel, dia akan bereaksi serupa sebab tubuh dan wajah asli Axel sangat luar biasa.
"Itu lo, bodoh!"
"Gue? Lo nggak salah? Om yang keren ini ... gue?" Axel mulai beranjak dari tempatnya dan kembali berdiri. Dia mulai menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri, ternyata bayangan di kaca mengikutinya.
"Lo ngapain?" tanya Luki kala melihat Axel yang berjoget aneh di depan kaca.
"Gue memastikan apakah om-om ganteng ini adalah gue. Nggak nyangka banget gue ngelihat laki-laki keren joget aneh," ucap Axel yang masih terperangah. "Ini kalau jadi artis, laku nih gue yakin."
"Axel ... itu elo."
Axel menyentuh pipi dan dagunya yang memiliki brewok karismatik. "Jadi cowok ganteng ini bernama Axel, ya? Hai, om, Gue Bizar."
"Axel ... dia itu lo!!!"
Dan begitulah. Selama tiga minggu, Luki berusaha mati-matian untuk meyakinkan Bizar kenyataan bahwa dirinya adalah Axel. Luki juga menceritakan semua hal yang terjadi dari awal dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan mengapa Axel ada di dunia komik.
Selain itu, hal menakjubkan Luki temukan kala menggeledah data-data tokoh komik. Yaitu kebenaran bahwa ayah Lauren ... adalah ayah kandung Axel di dunia nyata.
"Anakku!" seru Pamungkas yang baru datang sambil membawa dua kantung berisi lauk-lauk.
"AYAH?!" Axel super senang. Dia segera berlari menuju ayahnya.
"Wah-wah, kamu ganteng banget kalau pakai jas ini. Nanti ayah akan belikan yang lebih banyak lagi. Apa kamu sudah bertemu Lusi?" tanyanya saat melihat Axel sibuk membuka kantung yang Pamungkas bawa.
"Iya, udah. Tapi dia nggak ingat sama sekali."
Parahnya, ternyata sifat Pamungkas komik dan nyata itu serupa. Nama aslinya juga ternyata adalah Pamungkas. Mungkin kakek sudah kehabisan ide memberi nama. Namun, yang membuat Luki juga masih penasaran, mengapa ayah dan anak ini bisa terpisah dan sama-sama terjebak dengan kakek Feronika?
"Leoner, ayo ke sini. Aku bawa banyak. Kita makan bersama," seru Pamungkas.
"Iya, Ayah! Eh?" Luki jadi baru sadar kalau dia kembali menyebut Pamungkas dengan sebutan ayah seperti di komik.
"Hahaha, tak masalah. Aku juga belum terbiasa memanggil kamu dengan nama asli. Kalian semua bisa menjadi anakku. Toh, Lusi dan Axel bersama," ucap Pamungkas, membuat perasaan Luki hangat mendengarnya.
"Baik, Ayah."
***
"Lo adalah penyebab kematiannya."
"Gara-gara lo mereka meninggal."
"Kalau kalian nggak bertemu, ini nggak akan terjadi."
"Sekarang lo senang, Lusi?"
Lusi melihat Bizar yang berdiri tak jauh darinya dengan tubuh yang berlinangan darah. Tak hanya Bizar, dia juga melihat ayah Lauren dan Natasya yang menatap ke arahnya dengan tatapan dingin.
Tubuh Lusi bergetar. Dia tak bermaksud membuat mereka mati. Bahkan dia tak ingin melihat mereka mati.
"Lo pembunuh, Lusi."
Suara itu terus terngiang. Air mata Lusi sudah berjatuhan kala dadanya terasa sesak hingga sulit bernapas. Ini adalah perasaan bersalah yang begitu kuat. Apakah seorang pembunuh juga merasakannya? Lusi menutup telinganya sambil berjongkok. Bukan keinginannya untuk melihat mereka mati.
Namun ketika merasakan sedang menggenggam sesuatu di tangan kanannya, Lusi pun menurunkan tangannya. Ternyata itu adalah pisau yang berlinangan darah. Spontan Lusi melemparkannya.
"A--yah se ... lalu sayang kamu, Nak. Ka--mu akan selalu menjadi anak ayah. Terima kasih ... sudah datang di hidup ayah ..."
"Ma--maafin gue, Ren. Gu--gue udah salah paham, padahal lo temen pertama gue."
"Gue mana bisa melihat lo hancur, Lusi?"
Semua kata-kata terakhir mereka sebelum memejamkan untuk selamanya terus terngiang. Lusi tak sanggup mendengarnya. Hatinya sakit mengingat itu semua. Dia memang pembawa musibah untuk orang-orang yang menyayanginya.
Kala mata Lusi terbuka dan sadar bahwa itu semua mimpi, Lusi menutup wajahnya dan kembali menangis sejadi-jadinya.
"Maaf ... maafin gue."
Lusi menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan hampa.
"Gue janji, gue akan menemukan lo, Bizar."
-----
Hai teman-teman! Hari ini updatenya agak lama ya? Sebenarnya untuk cerita ini aku mengusahakan untuk update setiap hari karena aku menyadari sebagai pembaca kalau kita pasti gampang lupa sama alur kalau penulisnya nggak update-update. Apalagi cerita fantasi yang banyak teori di setiap babnya.
Tetap tungguin terus, ya. Have a nice day!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top