Tiga Puluh Empat
"Gue nggak ngerti, tapi sepertinya sekarang gue jadi tergila-gila sama lo, Lus."
-Axel
"Gimana kabar lo selama ini, Xel?" tanya Lusi untuk meredam keheningan yang terjadi di antara keduanya.
Axel menoleh sekilas, lalu menatap ke depan lagi. "Gue oke, tapi belum bisa menemukan ibu."
Sontak Lusi menatapnya. "Gue tau di mana nyokap lo!"
Axel terkejut. Dari mana Lusi tau? Dan apakah mereka berdua pernah saling kenal sejak kecil sehingga Lusi tampak akrab dengannya?
"Di mana?"
"Di pulau tempat kita ketemu dulu. Tante Anggi masih tinggal di sana," ucap Lusi.
"Apa dulu kita pernah ketemu?" tanya Axel yang kebingungan.
"Iya. Waktu itu gue lagi kabur dari panti asuhan. Tante Anggi deketin gue dan ngajak gue ke rumah lo. Tapi waktu lagi ngobrol, lo malah keseret ombak. Setelah dicari, lo sama sekali nggak ditemukan. Jadi semua orang ngira kalau lo udah meninggal. Sejak saat itu, gue tinggal sama Tante Anggi sampai umur 14 tahun," ungkap Lusi, dia jadi teringat kenangan lamanya bersama ibu Axel di pulau dulu.
"Kenapa cuma sampai umur 14 tahun?"
Lusi terkekeh. "Soalnya gue merasa nggak enak udah membebani beliau. Sejak saat itu gue juga dapet sponsor untuk menghidupi diri gue sendiri. Yang ternyata sponsor itu adalah kembaran gue sendiri."
Itu pasti Luki, pikir Axel.
"Lo sendiri ... lo tinggal di mana selama ini? Apa lo baik-baik aja? Bagaimana lo bisa selamat?" Pertanyaan beruntun dari Lusi tak ada yang bisa dia jawab, sebab dia tak ingat apa-apa tentang masa lalunya.
"Gue nggak inget apa-apa. Gue cuma tau kalau gue pernah keseret ombak dan terpisah dari ibu. Selebihnya, gue nggak inget apa-apa," kata Axel yang tampak lelah berusaha mengingat-ingat. Sebab semua ingatan masa kecilnya hanya seputar Bizarki Laxellon.
Pasti itu sangat menyiksa ... ketika nggak ingat apa-apa, batin Lusi, diam-diam dia merasa kasihan dengan Axel.
"Lalu, apa yang terjadi? Kenapa lo tiba-tiba menemui gue dan tau di mana gue berada? Kalau ingatan lo hilang, harusnya lo nggak ingat gue." Itulah pertanyaan yang masih membingungkan bagi Lusi.
"Gue kenal lo dari suatu tempat. Saat itu juga gue yakin, kalau gue jatuh cinta sama lo," ucap Axel dengan enteng. Entahlah, saat mencoba-coba menyatakan perasaan tanpa beban, dia jadi merasa senang dan ingin terus mengatakannya. Mungkin inilah yang dirasakan Lusi dulu, tanpa malu terus mengatakan bahwa menyukai Bizar.
"Jadi, lo suka gue karena tampang? Padahal gue nggak cantik," ucap Lusi yang heran.
"Itu kan tergantung selera. Cantik atau ganteng relatif. Bagi tubuh ini, lo cantik," kata Axel.
Mungkin bagi Bizar, Lusi biasa saja karena sudah jatuh cinta pada Lauren. Tapi ... saat pertama kali Luki menunjukkan penampilan asli Lusi, Axel merasa bahwa perempuan itu harus menjadi miliknya. Kecantikan Lusi tak bisa Axel gambarkan dengan sederhana. Apalagi, tubuh Lusi yang lebih mungil membuat gadis itu tampak menggemaskan. Mungkin sejatinya, bagi seorang Axel, Lusi adalah perempuan idamannya.
Bener juga, sih, pikir Lusi.
"Jadi sekarang nyawa lo tinggal empat, ya," ucap Lusi dengan senyum lebar, hendak mengejek Axel karena tadi mengajaknya menikah tapi tertolak.
Axel menghela napas berat. "Kenapa lo nggak terima aja ajakan gue? Gue janji akan melindungi dan bikin lo bahagia."
"Bagaimana gue bisa menerima lo saat hati gue untuk orang lain? Itu hanya akan menyiksa lo," kata Lusi.
"Lo lagi mencari orang itu, kan? Bagaimana kalau gue bantu lo menemukannya?" tanya Axel. Tawaran itu menarik perhatian Lusi. Apa benar dia bisa minta tolong pada Axel? Tapi, apa itu mungkin?
"Lo yakin?"
Axel mengangguk. "Ayah gue kaya raya, mungkin gue bisa bantu lo."
Lusi menatap ke arah jemarinya yang bertaut. Dia ragu, sebab tak tau bagaimana rupa asli Bizar. "Namanya Bizar, Bizarki Laxellon. Penampilannya ... gue nggak tau. Apa lo bisa mencarinya?"
Axel menatap penuh Lusi yang tampak diselimuti kesedihan. "Apa yang akan lo katakan kalau dia berdiri di depan lo?"
"Pertama-tama ... gue akan minta maaf. Gue harus memastikan hidup dia baik-baik aja, lalu pergi."
"Pergi? Lo bilang, cuma dia yang ada di hati lo," ucap Axel yang bingung dengan jawaban Lusi.
"Gue udah melakukan hal yang buruk. Gue nggak pantas buat dia." Lusi menutup wajahnya sendiri. "Gue rasa, gue nggak bisa sama dia lagi. Gue bisa nebak kalau dia bakal marah dan benci gue. Gue akan terima semuanya lalu pergi dari hidupnya. Dia harus melanjutkan hidup dengan normal tanpa bayang-bayang gue lagi."
"Gimana kalau dia malah merasa bersalah dan sama sekali nggak mau lo pergi? Gimana kalau dia masih ingin lo menjadi bagian dari hidupnya?" tanya Axel sambil menyandarkan kepalanya ke kursi mobil, dia tatap lekat Lusi yang tampak ingin menangis.
"Itu nggak mungkin."
"Gimana kalau mungkin?" Ucapan Axel membuat Lusi menatapnya juga.
"Gue yang nggak bisa." Lusi tak bisa membayangkan sebab sampai sekarang, dia masih terus-menerus terbayang akan detik-detik terakhir kepergian Bizar. Dan itu adalah hal terburuk yang terjadi dalam hidupnya.
Perkataan Lusi membuat Axel berpikir bahwa tidak mengungkap identitas aslinya sepertinya adalah keputusan yang benar. Kini dia tak ragu lagi mengikuti rencana Luki.
"Kalau gitu, lupakan dia dan ingat gue," ucap Axel yang mulai beraksi menyebalkan.
"Males, gue nggak tertarik sama lo," balas Lusi yang tak kalah menyebalkan.
"Wah, gue nggak percaya akan mendengar ucapan itu dari lo. Lo nggak tau, ya?" Axel mengelus-elus dagunya yang brewokan. "Wajah ini laku kalau jadi artis, loh."
"Hahaha, lo narsis banget! Nggak sesuai sama image lo yang garang," kata Lusi, dia tak bisa menahan tawanya saat melihat ekspresi Axel yang sadar bahwa dirinya tampan.
"Gue seneng lihat lo ketawa. Gimana kalau untuk hari ini lo libur dulu?" tanya Axel yang sebenarnya ingin mencari waktu berdua dengan Lusi, dia khawatir gadis itu didatangi mantan pacarnya lagi.
"Terus gue harus ngapain? Gue pengangguran yang nggak ada kegiatan."
Axel tersenyum. Dia menemukan ide yang banyak digemari perempuan. "Mau temenin gue belanja?"
***
Lusi mengikuti langkah Axel yang masuk ke mall dengan langkah lebar. Membuat Lusi yang ada di belakangnya berlari kecil. Menyadari hal itu, Axel memelankan langkahnya agar Lusi bisa menyamainya.
Lusi menyadari itu. Dia tersenyum kecil dengan sikap manis Axel. Pria itu memang lelaki yang gentle.
"Lo mau beli apa?" tanya Lusi saat keduanya sedang menaiki eskalator bersama.
"Kita lihat baju dulu?" Sebenarnya Axel juga tak tau harus beli apa. Dia tak memikirkannya sama sekali, yang penting bisa ke sini dengan Lusi.
"Apa lo punya rekomendasi?" tanya Axel kala mereka berdua sudah memasuki salah satu toko. Lusi berjalan mengitari pakaian-pakaian mewah itu. Dia menemukan beberapa baju yang mungkin cocok dengan Axel karena tubuhnya yang besar dan wajahnya yang dewasa.
"Coba ini kalau lo mau," ucap Lusi, dia memberikan beberapa pakaian ke Axel.
"Banyak banget?"
"Harus dong, biar nggak salah beli. Soalnya di sini bagus-bagus, tapi nggak tau kalau belum dicoba," kata Lusi, dia mendorong punggung Axel agar segera melangkah masuk ke ruang ganti.
Lusi mendudukkan dirinya di sofa yang tersedia untuk VVIP. Memang sejak masuk ke toko ini, para pegawai menyambut Axel dengan ramah sebab Axel meminta akses VVIP agar bisa memanjakan Lusi.
"Wah ... itu manusia?" ucap beberapa pelanggan VVIP yang melihat Axel keluar dari ruang ganti. Lusi mendengarnya, dia tak suka Axel dipuji begitu. Para pegawai juga tampak terperangah, masih sulit percaya bahwa ada ketampanan tidak nyata seperti itu.
"Gimana?" tanya Axel yang mulai berpose agar Lusi terpesona.
"JELEK!" pekik Lusi yang sengaja membesarkan suaranya agar orang-orang tau bahwa Axel datang bersamanya.
"Siapa sih cewek itu?"
"Istrinya, ya? Apa pacarnya? Ah, adiknya kali!"
"Iya, mungkin adiknya. Mana mau cowok itu sama cewek kayak dia? Biasa banget tau!"
Lusi mengepalkan tangannya, dia menggeram kesal mendengar bisikan-bisikan di belakangnya yang bicara enteng seolah Lusi tak bisa mendengarnya.
"Gue nggak suka baju ini. Lo kelihatan jelek. Ganti!" suruh Lusi yang tentu saja dituruti Axel.
Setelah berganti pakaian kedua, jawaban Lusi juga masih sama. Dan pakaian-pakaian yang lain juga. Seolah pakaian apa pun yang dipakai Axel, dia tetap tidak terlihat menarik di mata Lusi.
"Ih, kok jelek terus, sih? Padahal bagus-bagus!"
"Tau tuh, ceweknya sinting! Apa buta?"
"Plis, cowok kayak gitu kenapa terjebak sama cewek sinting?"
Lusi tersenyum penuh kemenangan lalu berdiri dari tempatnya. Dia bersedekap dada lalu berjalan mendekati Axel. Dia tarik dasi Axel hingga wajah pria itu begitu dekat dengannya.
"Lo nggak capek? Gue capek lihat lo ganteng terus. Tapi, lo akan kelihatan jelek kalau ada cewek lain yang bilang lo ganteng selain gue."
Mendengar itu, Axel pun mengedarkan pandangannya. Dia sadar kalau mereka berdua sedang menjadi pusat perhatian dan itulah yang mungkin mengganggu perasaan Lusi.
"Saya nggak jomblo!" seru Axel tiba-tiba. Hal itu membuat Lusi terkejut. Axel membalik badan Lusi sambil merangkul bahunya. "Saya cuma punya dia! Punya dia!"
Perempuan-perempuan yang ada di sana pun langsung berpaling dengan rasa cemburu dan jengkel yang menjadi satu. Melihat itu, Lusi tersenyum penuh kemenangan lalu menarik dasi Axel untuk mengajaknya keluar.
"Ayo, Ayang!" serunya. Membuat Axel ingin tertawa saat itu juga.
Setelah Axel selesai membayar baju-baju yang tadi dia coba, tawa keduanya pecah dan sesekali menarik perhatian orang yang lewat karena interaksi keduanya begitu akrab.
"Gue kaget waktu lo tiba-tiba kayak gitu! Lo nggak lihat wajah mereka yang lucu banget tadi?" ucap Lusi sambil memegang perutnya yang lelah tertawa.
"Apalagi gue? Gue kaget waktu lo tiba-tiba tarik dasi gue. Gue kira lo marah," kata Axel.
"Kalau gue marah, emang lo bakal gimana?" tanya Lusi yang penasaran.
"Ya gue gelitikin sampai lo ketawa lagi."
Lusi menggeleng heran, kenapa dia repot-repot bertanya?
"Karena gue udah, sekarang giliran lo yang belanja," ucap Axel, membuat Lusi mengangkat kedua alisnya.
"Gue? Nggak usah. Baju gue banyak."
"Alah, ayo!" Axel menarik tangan Lusi secara paksa dan mengajaknya ke salah satu toko baju perempuan.
Saat masuk di sana, Lusi sudah tak nyaman sendiri sebab harganya yang tak sesuai dengan dompet Lusi. Ketika melihat sebuah kemeja sederhana, Lusi membulatkan matanya sebab harganya sampai delapan ratus ribu.
Ini kan bisa jadi uang makan gue beberapa minggu, pikir Lusi yang hampir sesak napas karena tak ada yang murah.
"Lo suka yang mana?" tanya Axel karena heran melihat Lusi diam-diam saja.
"Bagus semua, sih," ucap Lusi sambil tersenyum canggung.
"Kalau gitu beli semua aja," kata Axel dengan enteng.
"Hahahah, lucu banget bercanda lo."
"Gue nggak bercanda." Axel menatap pegawai yang sedang memahami interaksi keduanya. "Mbak, bungkus semua, ya? Yang sesuai sama ukuran dia."
"Ha--hah?!"
"Se--semuanya, Pak?" tanya pegawai itu yang tak kalah terkejut.
"Benar, semuanya."
Lusi segera memukuli lengan Axel. "Heh! Lo gila! Kalau mau buang uang jangan di sini!"
"Terus, di mana? Cuma lo yang gue pikirin."
"Ta--tapi ... nggak gini juga, anjir! Mana cukup lemari gue nyimpen itu semua!" ucap Lusi yang masih tak habis pikir dengan otak Axel.
"Kalau gitu nanti kita beli lemari," jawab Axel tanpa beban.
"Heh, nih anak dibilangin malah makin ugal-ugalan!" Lusi berusaha berpikir jernih sebab dia juga senang dibelanjakan begini. "Gini, deh. Gue akan pilih, tapi nggak semuanya karena nggak semua baju di sini gue suka. Gimana?"
"Oke."
Lusi merasa energinya diisi kembali. Jadi dia tak perlu membayarnya? Axel yang akan belikan? Sebenarnya sekaya apa pria ini?
"Gue suka baju-baju yang deret sana," tunjuk Lusi.
"Mbak, dari ujung sampai ke ujung, ya," kata Axel langsung. Lusi ingin loncat-loncat saking senangnya. "Itu aja?"
"Pengin lihat sepatu, sih," ucap Lusi yang berjalan mendekati bagian sepatu. Dia menyentuh satu per satu sepatu atau sandal yang dia suka. "Wah, kulitnya bagus-bagus."
"Mbak, semua yang dia sentuh, saya beli," ucap Axel tanpa pikir panjang. Mendengar itu, Lusi menoleh. Datang dari mana pria emas ini? Kan Lusi jadi tidak bisa menolaknya.
"Xel," panggil Lusi.
Axel yang sedang membicarakan tentang cara pembayaran dan pengantaran barang dengan pegawai toko pun menoleh.
"Coba lamar gue, pakai nyawa lo lagi sekarang," ucap Lusi.
"Kenapa?"
"Karena mungkin gue akan menerima lo sekarang juga!"
Membuat Axel terkekeh saat mendengarnya.
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top