Tiga Puluh Dua

Do you get deja vu?

-Axel

"Sampai sekarang rasanya masih sulit dipercaya kalau Om itu ayah saya," ucap Axel yang sedang menyantap ayam gorengnya.

"Sama. Dari dulu saya cukup cemas sama kamu Bizar. Mata kakakmu selalu nakutin saya," kata Pamungkas.

Mendengar itu, Luki tersenyum kikuk. Dalang di balik mata Zero tentu hanya mampu menggaruk tengkuk lehernya.

"Kok Ayah kaget gitu? Kan itu ulah anak ayah sendiri," ucap Axel yang tanpa dosa menunjuk Luki. Ditunjuk begitu membuat Luki tersenyum canggung sambil mengangguk.

"Loh-loh, kamu kok ngeri gitu, Ner," ucap Pamungkas, dia memang tak bisa menyalahkan hal itu sepenuhnya pada Leoner sebab dirinya juga bisa sekeji itu untuk menghukum siapapun yang mengganggu miliknya.

"Tapi, Yah, aku sebenarnya kaget saat Ayah baca komik yang Lauren temukan itu ... dan Ayah tetap memperlakukan dia seperti anak sendiri," ucap Luki. Dia tau kalau Pamungkas sudah mengetahui segalanya, khususnya dunia komik dan Lusi sejak Lauren menjadi kacau sampai berniat bunuh diri. Hal itu membuat Pamungkas gencar mencari tau penyebabnya dan berakhir menemukan komik-komik aneh berisi kehidupan fiktif mereka. Kala meminta klarifikasi pada Leoner, pria itu pun menceritakan segalanya pada Pamungkas.

"Waktu tau kalau dia adalah adik kamu ... ayah jadi teringat saat kamu berusia tujuh tahun. Kamu bilang, kamu datang ke dunia komik saat berumur segitu, kan? Tatapan kesepian, hampa, dan butuh kasih sayang. Ayah jadi ingin memberikannya ke kalian," ucap Pamungkas dengan seulas senyuman.

"Lalu Ayah jadi ingat semuanya?" tanya Axel kala melihat pandangan Pamungkas yang berkaca.

Kini Pamungkas menutup wajahnya. "Ayah ingat ... saat kamu masih kecil dan meninggalkanmu sendiri dengan ibumu. Ayah itu brengsek, pengecut, dan orang yang akan kabur karena egois. Sebenarnya bukan hal baik untuk kamu bertemu ayah, Nak."

Axel tak percaya akan itu. Dia ingin tau lebih jelas penjelasan ayahnya. Karena dia tak ingat apa-apa tentang masa kecilnya. "Aku yakin Ayah bukan orang yang akan seperti itu tanpa alasan."

"Ayah adalah pecandu narkoba. Saat itu pikiran ayah kacau dan meninggalkan kalian karena menginginkan kebebasan. Ayah merasa jika tetap tinggal bersama kalian, ayah akan menyiksa ibumu tanpa henti. Setiap harinya ... ayah selalu takut kehilangan ibumu tanpa alasan. Sehingga ayah terus-menerus marah-marah. Jadi, ayah memilih pergi. Dan berniat bunuh diri ketika tau kamu terseret ombak di mana tubuh kamu bahkan tidak ditemukan," ungkap Pamungkas.

Axel mengernyit, jadi mungkin itulah asal-usulnya bisa terjebak dalam dunia komik. Mungkin penulis adalah orang yang telah menyelamatkannya.

"Jadi sekarang ... apa Ayah sudah menemukan ibunya Axel?" tanya Luki yang dari tadi diam mendengarkan cerita.

Pamungkas menggeleng. "Ayah mencoba menghubungi orang-orang yang dulu kenal dekat dengannya, tapi sulit mendapatkan informasi karena kami sudah lama tidak bertemu."

"Tapi ... dari mana Ayah masih memiliki uang banyak padahal dulu adalah pecandu?" Kini Axel kembali penasaran dengan sumber uang yang dia peroleh dari ayahnya.

"Ah ... soal itu, sebelum mengakhiri hidup, ayah sempat menjual aset-aset ayah dan membeli saham. Harapan ayah, hasilnya bisa ibumu gunakan. Ternyata setelah ayah periksa, hasilnya sekarang sangat luar biasa. Bahkan kita bisa hidup dari uang itu sampai ratusan tahun," kata Pamungkas, berusaha menjelaskan dengan bahasa yang sederhana agar dapat dimengerti anaknya.

Mendengar itu, Axel dan Luki saling pandang. Pamungkas memang seseorang yang sangat sama dengan di komik, punya pemikiran cerdas dan strategis.

***

"Kakak," panggil Lusi kala melihat Luki yang sedang menggoreng telur untuk sarapan Feronika.

"Udah mau berangkat? Mau gue masakin juga?" tanya Luki ketika melihat pakaian Lusi yang formal.

"Nggak perlu. Kondisi Feronika gimana? She's fine?" Lusi jadi khawatir karena gadis itu tak keluar kamar sama sekali, apalagi saat Lusi ada di rumah. "Kakak nggak jadi bawa dia ke rumah sakit?"

"Dia baik-baik aja, cuma efek bumil," kata Luki dengan santai.

"Oh ...." Beberapa menit setelah menyadarinya, Lusi langsung melotot. "Hah?! Feronika hamil? Kakak apain dia sampai bisa hamil?"

Lusi mengamuk, bahkan sampai menghentikan Luki yang sibuk masak. Melihat itu, Luki pun bersedekap dada dengan sebelah alis terangkat sebab Lusi menghalangi pandangannya ke wajan. Gadis itu mematikan kompornya dan menatap Luki serius.

"Bener mau gue ceritain? Emang lo nggak tau? Nggak enak loh dapet spoiler."

Lusi menahan jantungnya yang berdegup kala membayangkan moment Luki dan Feronika saat bersama. Masalahnya, mereka berdua adalah orang terdekat Lusi. Itu sangat aneh!

"Coba ceritain!"

Luki menyunggingkan senyum nakalnya. "Jadi, pertama-tama gue robek."

"Ha--hah?! Apanya?" Lusi panik mendengar itu.

"Bungkus obat serangga karena banyak nyamuknya," kata Luki dengan santai, dia bisa menebak raut syok yang keluar dari wajah adiknya. "Wajah lo merah. Emang lo mikir apa?"

Lusi menangkup kedua pipinya. Astaga, apa ini Lusi? Lo mikir apa? Lo bayangin apa? Balikin otak polos lo!

"Nggak mikir apa-apa! Apaan sih lo!" Lusi berjalan mendekati meja makan lalu mengambil selembar roti. Dia oleskan selai rasa kacang di atasnya. "Ngomong-ngomong, apa lo udah ada informasi soal Bizar?"

Luki terdiam sebentar. Dia meletakkan telur dan sosis goreng itu ke atas piring lalu berjalan ke dekat Lusi. "Belum, tapi gue lagi nyari tau di daftar informasi tokoh punyanya kakek Feronika."

"Gue harap dia bisa lebih cepat ketemu. Gue khawatir sama keadaannya kalau sendirian. Terus, tokoh-tokoh lain yang tubuhnya udah ketemu gimana?" tanya Lusi yang penasaran karena waktu itu dia juga menemukan Zero.

"Mereka udah aman, tapi masih ditahap pemulihan ingatan. Kalau gue bantu mereka kembali sekarang, takutnya mereka buka suara soal dunia komik ini. Jadi yang udah benar-benar pulih aja yang baru pulang. Gue juga memberikan kompensasi yang sepadan sehingga mereka bisa melanjutkan hidup dengan normal," ujar Luki menjelaskan.

"Syukurlah." Lusi menggigit rotinya. "Menurut lo, gimana rupa Bizar sekarang?"

"Tergantung usianya. Kalau dia tua, maka dia akan kelihatan tua. Dan sebaliknya," jawab Luki sederhana.

"Tapi ... dia bakal baik-baik aja, kan?" Lusi menunduk, tapi Luki dapat mendengar kesedihannya lewat suaranya yang bergetar.

"Gue yakin, dia baik-baik aja."

"Apa yang akan dia lakukan kalau dia sadar? Apa dia bisa menerima kenyataan kalau dia adalah manusia nyata yang bertransmigrasi juga?"

Luki meletakkan sendok dan garpu di atas piring Feronika. "Mungkin." Setelah mengatakan itu, Luki pergi ke kamarnya untuk membawakan sarapan Feronika.

Sementara Lusi menghela napas, lalu menggendong kembali tasnya untuk berangkat mencari pekerjaan. Setelah selesai memasang heels tertutupnya, Lusi membuka pintu rumah. Dia berjalan menuju pagar sambil memeluk diri sendiri karena kedinginan.

"Morning," sapa Axel, tepat setelah pagar dibuka. Bunga yang diulurkan di hadapannya membuat Lusi sangat terkejut.

"Ngapain lo pagi-pagi di sini?" tanya Lusi yang heran. Inilah sebabnya dia tak suka mendapat tumpangan, sebab orang itu jadi bisa ke rumahnya sesuka hati.

"Karena kangen sama lo."

Lusi memutar malas bola matanya. Dia menerima bunga itu, kemudian membuangnya ke Axel lagi. "Gue benci bunga."

"Loh, kenapa? Rata-rata perempuan itu suka bunga. Apalagi kalau dikasih dengan cara yang romantis," ucap Axel, penjelasannya persis dengan apa yang dia baca di internet. Apakah artikel itu bohong?

"Gue bukan termasuk rata-rata cewek itu. Udah, ya? Gue orang sibuk, nggak usah ganggu." Lusi mendorong Axel agar minggir, lalu berjalan melewatinya.

Ketika Axel sudah berada satu meter di belakangnya, Lusi mendengarkan sebuah pertanyaan yang membuat seluruh tubuhnya membatu.

"Kalau dunia berakhir, lo mau ikut gue?"

Lusi berbalik, kedua alisnya menyatu. "A--apa?"

"Walau gue, lo, dan kita tau kalau lo nggak mungkin punya perasaan ke gue, kalau dunia ini hancur apa lo mau ada di sisi gue?"

Lusi tak bisa berkata apa-apa. Ucapan laki-laki itu sangat mirip dengan apa yang pernah dia katakan pada Bizar. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa sungguh ada kebetulan yang seperti ini?

Axel tau kalau ucapannya berhasil membuat Lusi terkejut. Lantas dia memanfaatkan situasi itu untuk mengambil hati Lusi, sebab dia tau kalau Lusi sedang goyah. Dengan angkuh, Axel berjalan mendekati Lusi. Tangan kanannya yang dimasukkan ke dalam saku menambah karisma dalam setiap langkahnya.

"Lo mau?" tanya Axel saat sudah di depan Lusi.

"A--apa?"

Axel menarik tubuh Lusi hingga berada begitu dekat dengan tubuhnya. "Jadi istri gue."

Dari kejauhan, seorang laki-laki dengan pakaian lusuh dan tangan yang membawa botol alkohol berisi setengah menatap mereka tajam. Dia melepas rokoknya kemudian menginjaknya setelah dibuang. "Lo pikir bisa hidup enak saat gue menderita karena ulah lo?"

-----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top