Tiga Belas
Kayaknya sebelum kecelakaan itu, udah terjadi sesuatu sama Lauren yang asli.
-Lusi
Bangun dari tidurnya, Lusi tak lagi melihat keberadaan Bizar. Kamarnya malah ramai dikelilingi para pelayan yang sedang bersih-bersih. Apa kemarin dia hanya mimpi? Tidak mungkinkan Bizar ada di kamarnya.
"Nona sudah bangun? Saya sudah menyiapkan air hangat untuk mandi. Apa Nona masih pusing?" tanya Julie yang sedang mengelap nakas Lauren.
Lusi sendiri menggeleng, dia menyentuh keningnya yang sudah berkeringat. "Aku nggak pa-pa."
Apa Lusi tanya saja, ya? Barangkali genggaman semalam bukan mimpi. Dia benar-benar merasa seperti menggenggam Bizar.
"Apa tadi malem ada yang ke sini?"
Julie melirik ke arah Priyanka yang menatapnya. Beberapa menit kemudian, dia menggeleng. "Tidak ada, Non. Nona tidur dari pulang sekolah sampai pagi ini."
Ah, jadi Bizar cuma mimpi? Mimpi yang indah, ya, batin Lusi yang tampak kecewa.
"Tapi, ayah ke mana? Biasanya dia akan panik kalau tau aku sakit," kata Lusi yang tak melihat keberadaan ayah Lauren sama sekali.
"Tuan Besar sedang ada di pulau. Katanya Tuan Muda Leoner sakit. Itulah yang membuat Nona Lauren tiba-tiba demam," ucap Julie menjelaskan.
Oh, jadi aku sakit karena ikatan batin saudara kembar? Hm, aku baru tau soal ini, pikir Lusi. Dia jadi cemas kalau suatu hari Leoner mati dan dia harus ikut mati. Apa itu akan berisiko pada tubuh Lauren yang dia rasuki? Kalau begitu, Lusi sama saja bergantung pada nyawa Leoner.
"Kak Vivi ke mana?" tanya Lusi. Mungkin karena dia yang termuda, Lusi lebih dekat dengannya daripada pelayan yang lain.
"Saya ada di sini, Nona!" Vivi datang membawakan Lusi sandwich dan susu hangat kesukaannya.
"Aku mau ngobrol sama Vivi, kalian boleh pergi," titah Lusi, membuat Vivi jadi ikut panik.
"Baik, Nona."
Setelah semua pelayan pergi dan menutup kamar Lusi, Vivi langsung bertekuk lutut di bawah. Dia takut jika situasi menjadi seperti ini. Apakah Lauren akan menghukumnya karena suatu hal? Tapi dia tidak merasa sudah melakukan kesalahan.
"Mohon ampun, Nona Lauren."
Lusi segera bangun dan duduk di dekat Vivi, tentu saja di atas lantai. "Apa yang Kak Vivi lakukan? Aku bukan mau menghukum Kak Vivi."
"Lalu, kenapa Nona hanya ingin bicara dengan saya? Saya kan bukan siapa-siapa," ucap Vivi dengan pandangan menunduk ke bawah.
Itu karena Kak Vivi adalah yang termuda dan paling jujur, batin Lusi, kemudian dirinya menggenggam tangan Vivi.
"Ada yang mau aku tanyakan, Kak. Aku harap Kak Vivi mau jujur."
"Tentu saja! Mana berani saya membohongi Nona Lauren?" Vivi panik mendengarnya. Apakah Nona Laurennya tengah mencurigai dirinya?
"Kalau begitu, jawab aku. Apa yang ada di dalam perpustakaan rumah ini? Kenapa ayah melarangku ke sana?"
Ya, entah mengapa di mimpi semalam, Lusi tiba-tiba kembali teringat akan pesan dari Lauren asli. Gadis itu memintanya untuk mencari sebuah buku yang akan menjadi petunjuk Lusi dalam mengetahui apa yang membuatnya penasaran. Tapi saat dia akan pergi ke sana, dia malah bertemu ayah Lauren lalu melarangnya.
"A--apa? Perpustakaan? I--itu karena ...," ucap Vivi tanpa berani melanjutkan. Dia kembali menunduk, bingung harus mengatakannya pada Lusi atau tidak. Dia takut kena masalah oleh Pelayan Devi.
"Kak Vivi udah janji buat jujur, kan? Kakak tenang aja, apa pun yang terjadi aku akan melindungi Kakak kalau Kakak mau jujur sama aku," kata Lusi, dia berharap Vivi mau bicara yang sebenarnya.
"Sebelum Nona kecelakaan hari itu ... Nona selalu ada di perpustakaan. Kata orang-orang di rumah ini, Nona terkena sihir atau mengikuti ajaran sesat," ucap Vivi dengan pandangan ke bawah. Dia takut jika hal ini menimbulkan masalah, tapi dia lebih takut pada Lauren yang dulunya selalu menyiksa para pelayan.
Lauren selalu ada di perpustakaan? Itu tidak diceritakan di komik, pikir Lusi.
"Tapi sebelumnya, aku jadi penasaran dengan kecelakaan itu. Kecelakaan seperti apa yang menimpaku? Apa aku ditabrak atau apa?" tanya Lusi lagi.
Vivi mengangkat kepalanya lalu menoleh pada balkon kamar Lauren. "Nona ... melompat dari balkon ke kolam."
" A--apa?! Itu kan bukan kecelakaan! Itu bunuh diri namanya!" bentak Lusi yang baru mengetahui hal itu. Lantas dirinya membuka pergelangan tangan kiri yang selalu terasa panas kalau terkena sabun. Bekas goresan ini tak mungkin tiba-tiba ada tanpa penyebab. Sepertinya kasus Lauren lebih parah dari dugaannya. Sepertinya, gadis itu berniat mengakhiri hidupnya sebelum Lusi datang ke sini.
"Pelayan Devi meminta kami menyebutnya kecelakaan. Karena itu lebih sesuai dengan kedudukan Nona," ucap Vivi yang sudah tak kuasa berkata jujur lagi. Dia sudah sangat lemas.
"Aku ... aku harus ke perpustakaan." Lusi menatap Vivi seraya menggenggam kedua bahunya. "Aku harus ke perpustakaan, Kak Vi! Sekarang!"
***
Cklek!
Setelah gembok yang mengunci pintu perpustakaan dengan rantai berhasil dibuka, Vivi pun membuka pintunya dalam jarak pendek.
"Saya bisa dipenggal kalau sampai Tuan Besar tau, Non," ucap Vivi yang sudah waswas sejak harus mencuri kunci perpustakaan di kotak Devi.
"Kakak tenang aja. Aku akan pastikan semuanya aman," kata Lusi yang bergegas masuk. Berada di dalam membuat Lusi menyadari suatu hal, ruangan ini memiliki energi yang sama dengan saat dia masih ada di dunia nyata.
Apa telah terjadi sesuatu di sini? pikir Lusi. Dia menghidupkan lampu perpustakaan hingga akhirnya menyala terang. Ternyata ruangan ini begitu luas, bahkan memiliki dua tingkat yang bisa dinaiki lewat tangga yang ada di sampingnya.
"Apel Yang Jatuh. Di mana gue harus cari buku itu?" gumam Lusi, dia berlari menghampiri rak buku yang tingginya melebihi ukuran manusia normal.
Sebelum lanjut mencari, pandangan Lusi tertarik pada kertas-kertas yang berserakan di atas meja belajar Lauren. Dia tau itu adalah meja belajar karena di komik disebutkan bahwa Lauren selalu belajar dengan tenang di perpustakaan pribadi. Itu sebabnya Lauren berhasil mendapati posisi peringkat pertama di sekolahnya.
Ketika membacanya satu per satu, Lusi menemukan satu hal yang unik dari tulisan Lauren.
Apakah dunia akan berakhir?
Jika aku melakukan ini, apakah aku bisa menjadi tokoh utama yang mengubah dunia ini?
"Tokoh utama? Apa di sini ada pekerjaan bernama tokoh utama? Apa yang sebenarnya ingin Lauren cari?" gumam Lusi yang jadi semakin penasaran.
Hingga akhirnya, dia menemukan satu hal tak terduga. Yang menjadi pertanda bahwa dunia komik ini sudah kacau bukan karena Lusi datang ke mari, tapi sejak Lauren mengetahui semuanya. Karakter figuran yang sudah menyadari bahwa dirinya hanya sebuah gambar yang dibaca oleh manusia nyata.
Hal itu Lusi ketahui dari sobekan-sobekan komik Natasya's Love yang seharusnya tidak ada di dunia komik ini.
"Dari mana Lauren mendapatkan ini?" gumam Lusi. Dia sangat terkejut. Reaksi Lauren bahkan sampai membuatnya mencoba bunuh diri berkali-kali. Apakah semua tokoh di komik ini akan melakukan hal yang sama jika mereka mengetahui kebenarannya? Natasya, Aydan, Bizar, ayah Lauren, Leoner, dan semua orang. Apakah mereka akan berlomba-lomba menghancurkan dunia komik ini seperti Lauren?
"Nggak, ini nggak mungkin, kan?" Lusi melempar sobekan komik itu. Dirinya jatuh terduduk di kursi belajar Lauren. "Bagaimana mungkin? Ini hal paling nggak mungkin terjadi. Apa yang harus gue lakukan?"
Lusi mendongak kembali. Dia langsung membongkar semua kertas yang ada. Dia harus menyusun semua halaman komik Natasya's Love ini. Lusi ingin tau, akhir seperti apa yang akan dia lewati sebab di akhir hidupnya, Lusi belum sempat baca.
Sudah terbakar! Lusi tak bisa membaca dialog atau gambarnya. Hal terakhir yang bisa Lusi lihat adalah Lauren yang menangis. Apa yang akan terjadi? Bukankah akhir cerita adalah situasi yang krusial? Kenapa malah tokoh figuran yang ada di akhir cerita?
Atau ... ada suatu hal yang aku lewatkan ketika membaca komik ini? Apakah ... Lauren sebenarnya bukan figuran?
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top