Sepuluh

Aku benar-benar ingin berubah menjadi baik, setidaknya untuk kamu.

-Lusi

"Ayah kaget waktu dengar kamu teriak dari kamar, apa kamu benar baik-baik saja? Nggak mau ayah bawa ke rumah sakit?" tanya ayah Lauren yang sudah panik saat mengetahui anaknya tidak sadarkan diri beberapa waktu lalu.

Lusi bangun, wajahnya tampak pucat. Dirinya masih linglung dengan keadaan sekarang. Sakit kepala yang begitu kuat menjadi penyebabnya. Apa dia bisa melewati semua ini? Orang seperti Lauren tidak seharusnya ada di dunia ini, tapi sekarang kan hanya ada Lusi?

Apa yang harus Lusi lakukan untuk memperbaiki semua kejahatan Lauren?

"Lala? Apa kamu dengar suara ayah?"

Benar, ayah.

Semuanya terasa nyata kala suara ayah terdengar di telinganya. Lantas Lusi menghambur ke pelukan ayah Lauren. Hanya padanyalah dia bisa bersandar. Satu-satunya orang yang akan selalu melihat Lauren sebagai orang yang baik dan bersih, hanya ayahnya.

"Lala ... sayang ayah," ucap Lusi.

Ayah Lauren yang tak mengerti melirik Devi dan Priyanka, sementara keduanya malah menggeleng serempak sebagai isyarat juga tak tau apa yang sebenarnya terjadi pada Lauren.

"Ayah," panggil Lusi lagi.

"Ada apa, Nak?"

"Seperti yang aku bilang waktu itu, apa ayah sudah menjalin hubungan baik dengan keluarga Laxellon?" tanya Lusi dengan bibir yang jelas-jelas masih pucat, keadaannya juga acak-acakan.

"Itu sulit, Nak. Mereka menolak perusahaan kita, padahal keuntungan yang akan kita peroleh dalam menjalin kerja sama dengan mereka hampir tidak ada."

Itu pasti, karena keluarga Laxellon tengah merintis perusahaannya dari bawah lagi. Apalagi nama baik mereka sudah hancur karena ulah Lauren, pikir Lusi, niatnya untuk mendekati Bizar jadi semakin tinggi. Dia harus memperbaiki segalanya yang sudah rusak.

Lusi mengangguk dengan lemas. "Aku mau istirahat, Yah," ucapnya.

Ayah Lauren mengerti. Dia pun meminta semua pelayan untuk ikut pergi dan menyisakan Lusi sendiri. Untuk berjaga-jaga, ayah Lauren meminta mereka untuk tetap menunggu di luar kamar Lauren. Takutnya gadis itu membutuhkan sesuatu.

Lusi sendiri tengah menatap ke arah lampu yang menerangi kamarnya. Dia sendiri yang berkata kepada Aydan dan Natasya agar tidak lagi berada dalam kegelapan. Bagaimana mungkin Lusi mengatakan itu padahal dia sendiri tengah terjebak dalam tubuh Lauren yang penuh dengan kegelapan?

Ting!

Terdengar bunyi notifikasi dari ponsel Lauren. Lantas Lusi merogoh area sekitar kasurnya karena mengingat terakhir kali di situlah ponselnya berada. Hingga akhirnya tangannya menemukan benda pipih itu, Lusi pun mengambilnya.

Konsultan Coklat
Hai, Coklat Lovers! Bagaimana kabarmu? Apa kekasihmu suka dengan coklat buatanmu? Beri kami bintang lima ya jika dia berhasil memberikan pujian~

Lusi teringat bahwa dia harus mencari menu makanan baru untuk resep coklat kesukaan Bizar. Tapi ... sepertinya Bizar akan memarahinya lagi. Apa Lusi siapkan sesuatu yang berbeda, ya?

***

Sesampai di rumah, pikiran Bizar masih terbayang bagaimana ekspresi ketakutan Lauren. Apa gadis itu baik-baik saja? Kenapa dia jadi cemas begini. Sepertinya benar, gadis itu mengalami hilang ingatan. Terbukti dari reaksinya yang lebih terkejut saat mengetahui kejahatan-kejahatan yang dia lakukan selama ini.

Kalau Bizar ada di posisinya, mungkin akan sama terkejutnya. Pasti selama ini dia berpikir bahwa dirinya bersih dan suci tanpa dosa.

"Baru pulang?" Suara itu, sungguh mengganggu hari Bizar. Tanpa niatan menggubrisnya, Bizar melanjutkan langkah menaiki tangga, hingga kalimat yang disampaikan kakaknya kemudian berhasil menghentikannya. "Lauren Zawendra, ya?"

"Apa maksud lo?"

"Oh, bukan? Jadi siapa yang lo pilih? Natasya Aneesya atau Lauren Zawendra? Ternyata adik gue populer banget, ya," ucap seorang pria dengan mata kiri yang dibungkus perban. Bibirnya yang menyunggingkan seringai membuat Bizar ingin menghunuskan pedang ke jantungnya saat ini juga.

"Gue udah bilang, jangan ganggu kehidupan sekolah gue!" bentak Bizar.

"Terus lo mau apa? Kehidupan sekolah lo seseru itu. Lo harus ganti rugi dengan menyenangkan gue," ucapnya sambil menunjuk mata kiri yang terbungkus perban.

"Jangan bawa-bawa gue atas tindakan yang lo lakukan sendiri dengan sadar. Gue nggak pernah meminta lo untuk itu, jadi gue nggak peduli."

Zero bangkit dan berjalan mendekati Bizar yang masih berdiri di tengah tangga. "Sepertinya, ini bukan waktu yang tepat untuk menikmati kisah cinta di SMA, Bizarki Laxellon. Ada harta karun berjalan yang lagi ngejar lo, kenapa lo harus ribet dengan sok jual mahal?"

"Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Lauren. Jangan sampai lo berani sentuh dia!" hardik Bizar dengan tatapan tajam.

"Kenapa lo peduli kalau nggak punya hubungan apa-apa sama dia? Apa ini semacam ... menjauh untuk melindungi? Dramatis banget hidup lo," kata Zero sebelum kembali menyeruput vodkanya.

"Apa pun itu, gue nggak akan segan-segan habisin mata lo yang satunya kalau sampai lo berani sentuh mereka!" Setelah mengatakan itu, Bizar berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Sementara Zero kembali duduk di kursi besar milik kepala keluarga Laxellon.

"Gue juga nggak tertarik." Zero melempar gelas berisi vodka dan es batu itu ke lantai, yang dengan sigap dihampiri oleh seorang pelayan laki-laki untuk dibersihkan.

"Gue akan menang melawan dia, kan?" tanya Zero pada pelayan yang tengah berjongkok itu.

"Tentu, Tuan. Tidak ada yang bisa mengalahkan, Tuan!" balasnya dengan cepat.

"Bohong!" Zero melempar gelas ke kepala pelayan itu dengan gila. "Kalau nggak ada yang bisa ngalahin gue, bagaimana mungkin Bizar yang bodoh itu berhasil mendapatkan mata kiri gue, sialan?!"

"Mohon ampun, Tuan!"

Setelah puas berteriak, Zero kembali duduk dengan kaki yang diletakkan di atas meja. "Tapi, berkat lo, gue jadi sedikit terhibur."

***

Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa, Bizar akan mampir ke kantin karena tak pernah sarapan. Di belakangnya sudah ada Madun dan Dana yang ikut membuntutinya. Kalau ke kantin bareng Bizar, enaknya bisa mengantre dengan aman tanpa ada yang berani menerobos.

"Mas Bizar, ini ada bonus," ucap ibu kantin yang biasa menjadi langganan Bizar karena nasi gorengnya sedap.

"Berapa, Bu?" tanya Bizar, dia tidak biasa menerima sesuatu secara gratis. Kecuali dari Lauren.

"Gratis, Mas. Habisin, ya?" Bizar mengangguk mengerti lalu membawa gelas plastik yang airnya berwarna coklat itu. Sebenarnya ini minuman apa?

"Punya saya mana, Bu?" tanya Madun yang juga ingin minuman seperti Bizar.

"Nggak ada, Mas. Khusus cuma buat Mas Bizar saja," kata ibu kantin.

"Yah ... Ibu mah suka diskriminasi!" timpal Dana yang juga ikut kecewa. Lantas setelahnya, mereka mendatangi meja Bizar berada.

Setelah beberapa menit mengamati minuman yang diberikan ibu kantin sebagai bonus pelanggan langganan, Bizar memutuskan untuk mencobanya. Kala meminumnya dalam satu tegukan, Bizar tidak berekspektasi apa-apa jika rasanya akan seenak ini.

"Wah," gumam Bizar. Saking enaknya, Bizar jadi tak sadar untuk mengontrol ekspresinya. Dia tak menyangka bahwa rasa es coklat bisa seenak ini. Apalagi ada marshmallows juga di dalamnya. Rasanya, Bizar seolah duduk di awan kala merasakan kelembutan dan rasa manisnya.

"Enak banget, Zar? Gue juga mau tau!" rengek Madun, tapi Bizar tak menanggapinya dan hanya fokus menghabiskan sendiri.

Dari kejauhan, senyum di bibir Lusi mengembang. Ternyata seperti itulah ekspresi puas Bizar meminum coklat buatannya. Itu lebih dari cukup memulihkan tenaga Lusi yang hilang selama beberapa hari.

"Terima kasih, Bizar," gumam Lusi.

"Ternyata suka, toh? Ibu nggak nyangka kalau Mas Bizar yang nggak suka pedes itu malah seneng banget sama es coklat," kata ibu kantin di sebelah Lusi.

"Itu karena dia suka coklat, Bu. Ngomong-ngomong, terima kasih ya Bu, lain kali saya boleh titip lagi buat Bizar?" tanya Lusi dengan senyuman.

"Ibu sih nggak masalah, tapi kenapa nggak dikasihkan sendiri, Mbak? Kan sayang, Mas Bizar jadi nggak tau kalau itu buatan Mbak Lauren."

Lusi menggeleng. "Takut dibuang, Bu."

Setelah bel masuk pelajaran terdengar, semua siswa yang ada di kantin langsung berhamburan menuju kelas masing-masing. Pasalnya, guru-guru yang suka kedisiplinan itu selalu berjaga dengan ketat setiap hari senin. Takut kena poin, mereka pun memutuskan untuk bergegas duduk anteng di kelas.

Berbeda dengan mereka, Lusi malah berlari ke perpustakaan. Dia sedang ingin menghindar dari pelajaran matematika. Setidaknya untuk hari ini. Karena di dunia nyata, dia sarjana pendidikan matematika. Setidaknya untuk di dunia komik, dia boleh libur sehari dari angka-angka itu, kan?

Lusi pun berjalan tenang ke salah satu rak. Di sana, dia menemukan salah satu buku yang menarik perhatiannya.

Kala mengambilnya, ruang kosong tempat buku tadi memperlihatkan seorang pria yang tengah duduk bersandar di salah satu rak dengan mata terpejam. Jadi, dia berlari ke sini? Itu sebabnya Lusi tak lagi melihatnya saat semua orang berlarian.

Lusi pun mendekat. Dia ikut duduk menghadap pria itu tapi tidak tepat di depannya. Dengan memeluk lututnya, Lusi melihat Bizar yang sudah nyenyak. Cahaya matahari yang diam-diam menyusup melalui sela-sela kecil tampaknya sedikit mengganggu pria itu.

Tangan Lusi terulur. Dia menghalangi cahaya itu agar tidak langsung mengenai wajah Bizar.

Dilihat dari dekat pun, Bizar benar-benar ganteng, pikir Lusi.

"Kenapa lo masih baik sama gue?"

Ucapan Bizar yang tiba-tiba tentu membuat Lusi terkejut. Dia tak tau kalau pria itu ternyata masih bangun. Saking terkejutnya, Lusi kehilangan kata-kata. Dia tak sanggup menjawabnya.

"Lo pikir gue nggak tau kalau akhir-akhir ini lo yang selalu ngikutin gue diem-diem dan nitipin makanan atau minuman coklat ke orang lain?"

Tentang itu, Bizar juga tau?!

Tiba-tiba saja Bizar menarik lengan Lusi yang tengah berada di atas matanya sampai tubuh gadis itu ambruk ke atasnya. Dengan menatap dirinya dalam jarak begitu dekat, apa yang Bizar pikirkan? Lusi tidak tau. Yang jelas sekarang, dia bahkan bisa mendengar degup jantungnya sendiri.

"Lo makin didiemin, makin ngelunjak, ya?" gumam Bizar yang masih bisa didengar Lusi dengan jelas. Sontak seluruh wajah Lusi memerah sampai ke telinga.


-----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top