Sembilan Belas
I know, you know, we know, we weren't meant for each other and it's fine. But if the world was ending, you'd come over, right? You'd come over and you'd stay the night? Would you love me for the hell of it?
-Lusi
"Kalau dunia ini berakhir, lo mau ikut gue, Zar?"
Bizar tenggelam, ke dalam iris mata Lusi yang berhasil menjebaknya. Kini Bizar seolah lupa jalan keluar. Dia tak bisa berpikir jernih. Hanya degup jantung yang dapat dia dengar. Sebelum sesuatu yang keduanya inginkan terjadi, Lusi sudah memutuskan pandangan mereka lebih dulu. Gadis itu menunduk, hatinya masih belum lega. Kejadian tadi benar-benar membuatnya frustrasi.
"Gue adalah anak yang nggak diinginkan," celetuk Bizar tiba-tiba. Hal itu membuat Lusi kembali menoleh. Dia melihat bola mata Bizar yang berkaca-kaca. Lusi tentu tau cerita tentang hidup Bizar yang kelam. Mungkin pria itu mulai membuka hatinya untuk Lusi.
"Karena sudah cukup dengan Zero, kelahiran gue bagi mereka adalah kesalahan. Gue seharusnya tidak dilahirkan," ucap Bizar sambil menunduk. Dia melempar sebuah kerikil ke api unggun di depan. "Gue bukan orang yang pantas dicintai, Ren."
"Nggak ada kelahiran yang salah di dunia ini. Semua bayi adalah berkat yang diberikan Tuhan pada dua manusia yang saling mencintai sebagai bukti," ucap Lusi.
Bizar tersenyum miris mendengarnya. "Tapi gue bukan bayi dengan berkat mulia itu. Gue lahir dengan kesialan. Semua orang yang dekat dengan gue atau mencintai gue akan memiliki nasib buruk. Gue itu terkutuk, Lauren."
Lusi tak mengerti dengan cara seperti apa dia harus meyakinkan Bizar bahwa pria itu istimewa.
"Tapi bayi tidak istimewa itu mungkin adalah alasan hidup untuk seseorang," kata Lusi, membuat Bizar penasaran dengan apa yang dimaksud.
"Lo inget kecelakaan yang pernah gue alami yang membuat gue koma?" Lusi melihat Bizar yang mengangguk dua kali. "Itu bukan kecelakaan, tapi percobaan bunuh diri. Gue melompat dari balkon ke kolam renang."
"A--apa?!"
Lusi mendekatkan dirinya di sebelah Bizar. Dia membuka kerah di lengan kirinya lalu menunjukkan pergelangan tangannya pada Bizar. Goresan-goresan bekas percobaan bunuh diri itu terlihat sangat nyata, Bizar sampai kehilangan kata-kata. Yang dia bisa lakukan hanya menyentuh goresan itu lalu mengelusnya.
"Pasti sakit," kata Bizar.
Air mata Lusi sudah berkumpul di pelupuk. Keduanya sama-sama menatap lurus bekas goresan di tangan Lusi.
"Betapa tersiksanya gue karena nggak ingat apa yang terjadi di tubuh ini sebelumnya. Apa lo percaya kalau gue bilang, mungkin gue bukan Lauren yang sama?"
Bizar menghela napas berat. "Gue tau, lo udah berubah. Lo bukan Lauren yang lama. Lo memang tampak asing."
"Lo lebih suka gue yang lama atau yang sekarang?" tanya Lusi dengan pandangan tulus, tanpa ada candaan seperti biasa.
Kali ini, Bizar sudah tak bisa mengendalikan dirinya. Tatapan Lusi yang begitu tulus dan perkataannya yang berhasil menyentuh hati Bizar membuat Bizar bergerak di luar kendali. Secara otomatis wajah Bizar mendekat, tangannya yang tak patah menarik tengkuk leher Lusi dan kedua bibir mereka pun kembali bertemu.
Lusi terkejut. Bahkan matanya masih terbuka saking terkejutnya. Dan yang mampu dia lakukan adalah menatap lekat Bizar kala tautan mereka sudah lepas.
Meskipun ada beribu pertanyaan yang kini ingin segera Lusi layangkan, raut Bizar yang menunjukkan hanya Lusi satu-satunya perempuan yang ada di hati Bizar membuat Lusi mengurungkan pertanyaan itu. Dia kembali maju dan mengalungkan lengannya di leher Bizar, melanjutkan apa yang tadi sempat dimulai Bizar.
Setelah keduanya selesai, mereka sama-sama menjauhkan wajah mereka. Lusi tersenyum tulus pada Bizar. "Lo orang yang pantas dicintai. Kalau memang nggak pantas, maka gue akan buat itu menjadi pantas."
Bizar tak tau harus bicara apa di keadaan seperti sekarang. Yang mampu dia lakukan hanyalah membuang wajahnya karena tak ingin Lusi melihat rona mukanya. Sedangkan Lusi yang mulai merasakan kehangatan hati Bizar, merapatkan tubuhnya ke pria itu. Dia memeluk lengan Bizar dan menyandarkan kepalanya.
Diam-diam Bizar membagikan selimut yang dia pakai ke tubuh Lusi. Mereka berdua pun duduk di dalam selimut yang sama. Menyadari itu, Lusi menyunggingkan bibirnya. Sekarang dia sadar, Bizar lebih dari cukup.
"Apa yang gue katakan tadi itu serius," ucap Lusi.
Bizar yang sudah cukup lupa dengan perbincangan mereka pun mengernyit.
"Suatu hari, ketika dunia ini hancur atau berakhir, ayo ikut gue." Lusi mendongak, menatap Bizar yang berusaha mencerna perkataan Lusi. Tangan gadis itu mengangkat tangan kekar Bizar di atas telapak tangannya. "Pokoknya apa pun yang terjadi, jangan pernah lepasin tangan gue. Lo cukup nggak melepaskan gue, maka gue akan selalu ada di sisi lo. Gue akan menjaga lo, melindungi lo, dan membahagiakan lo."
Bizar berusaha keras mengendalikan hawa panas di tubuhnya kala mendengar kata-kata Lusi. Apa ini yang disebut perasaan penuh cinta?
"Kenapa lo mencuri semua dialog yang seharusnya diucapkan laki-laki?" Bizar sampai kesal karena dia tak punya image jantan sama sekali di hadapan Lusi.
Mendengar itu Lusi tertawa kecil. "Lo nggak perlu melakukan apa-apa. Lo cukup setuju dan ada di sisi gue. Biarkan gue yang menjadi pangeran untuk lo."
Bizar mengerutkan keningnya. "Apa gue harus jawab gue mau jadi tuan putri lo?"
Lusi tertawa lepas mendengarnya, yang kemudian diikuti Bizar juga.
"Lo ... mau tidur di pangkuan gue?" tanya Lusi.
Bizar menatap ke arah tangan Lusi yang menepuk-nepuk pahanya. Tak ada alasan untuk menolak, Bizar pun menumbangkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya dengan posisi nyaman di atas pangkuan Lusi. Secara otomatis Lusi menyentuh rambut Bizar, rasanya sangat nyaman bagi keduanya.
"Gue jadi pengin nyanyi," ucap Lusi.
"Gue mau denger," kata Bizar, dia jadi teringat suara Lusi yang bernyanyi untuk Aydan yang sedih.
Lusi pun mulai berdeham, menyesuaikan melodi lagunya. Dia menepuk-nepuk lengan Bizar seiring bernyanyi.
"I was distracted, and in traffic. I didn't feel it when the earthquake happened. But it really got me thinkin', were you out drinkin'? Were you in the living room? Chillin' watchin' television?"
"It's been a year now, think I've figured out how. How to let you go and let communication die out.
"I know, you know, we know, you weren't down for forever and it's fine. I know, you know, we know, we weren't meant for each other and it's fine."
"But if the world was ending, you'd come over, right? You'd come over and you'd stay the night. Would you love me for the hell of it? All our fears would be irrelevant."
"If the world was ending, you'd come over, right? The sky'd be falling and I'd hold you tight. And there wouldn't be a reason why. We would even have to say goodbye. If the world was ending, you'd come over, right?"
"Right?"
Lusi menunduk, dia melihat Bizar yang sudah terlelap dalam tidurnya. Seperti biasa, pria itu akan sedikit tidak nyaman dalam mimpinya. Lusi pun mengusap alis Bizar yang bertaut, kemudian mencium keningnya.
Aku mencintaimu, tokoh pendukung kesayanganku, batin Lusi lalu mulai ikut memejamkan mata dan terlelap.
Dari kejauhan, Leoner memperhatikan Lusi dan Bizar yang tertidur di sebuah gubuk. Napasnya menghela panjang, tapi pikirannya masih terbentur ke mana-mana kala mengingat kejadian yang ada di danau tadi. Bisa-bisanya penulis menunjukkan wujudnya di hadapan Lusi. Bagaimana jika itu membuat Lusi hancur?
Kala merasakan pergerakan dari belakangnya, Leoner langsung menancapkan pisau itu. Di hutan ini terlalu banyak serigala kelaparan. Mana mungkin Bizar dan Lusi dapat bertahan sampai sekarang jika tidak karena Leoner yang diam-diam mengikuti mereka?
Di dalam hati terdalamnya, pria itu juga berharap Lusi dan Bizar memiliki akhir cerita yang baik.
Tidak seperti dirinya.
-----
Hai, teman-teman! Terima kasih yang sudah mampir ke cerita ini! Boleh tau apa yang kalian suka dari cerita ini?
Tetap tungguin terus kelanjutannya, yaa.
Luv uuu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top