Lima Belas
Selamat, sekarang lo adalah tokoh utama.
-Leoner
"Dari mana lo tau itu semua?"
Leoner bangun. Dia berdiri sembari menatap bulan purnama yang ada di atas sana.
"Gue juga pernah bertransmigrasi saat usia gue tujuh tahun," ungkap Leoner yang lagi-lagi mengejutkan Lusi. Kebenaran itu sulit untuk Lusi terima karena dia baru sadar kalau sebutan dari perpindahan tubuh Lusi ke tubuh Lauren adalah transmigrasi.
"Jadi, lo juga bukan Leoner yang asli?"
Leoner berbalik, dia tersenyum ke arah Lauren. "Memang apa pentingnya asli atau bukan? Dunia ini akan tetap berjalan karena ada cerita yang harus dituntaskan. Baik ayah, pelayan, pengawal, atau teman-teman lo, apa lo yakin mereka semua adalah tokoh yang asli? Bisa saja mereka semua hasil dari transmigrasi seperti kita."
Gila, apa yang dikatakan Leoner bener juga. Jangan-jangan semua orang di sini adalah sekumpulan ruh yang bertemu? Kenapa gue baru kepikiran? batin Lusi dengan raut yang berubah serius. Dia cemas jika apa yang dikatakan Leoner memang kebenarannya.
"Jadi, apa lo juga inget siapa nama asli lo dan dari mana lo berasal?" tanya Lusi.
Leoner menggeleng. "Saat itu gue masih tujuh tahun. Usia yang begitu dini untuk memahami keadaan. Gue cuma sadar kalau nama dan keluarga gue berubah. Gue pikir cuma mimpi, tapi setelah gue mendengarkan semua yang Lauren katakan, gue jadi yakin kalau gue bukan berasal dari sini."
"Gue masih penasaran, dari mana Lauren menemukan ini semua," kata Lusi sambil berjalan mengambil kotak kayu yang dia ambil dari perpustakaan. Di dalam kotak itu terdapat sobekan-sobekan komik Natasya's Love yang dia temukan. "Komik ini nggak seharusnya ada di dunia ini. Bayangin aja kalau tokoh utama tau, apa yang akan terjadi? Reaksi Lauren aja sampai berusaha bunuh diri berkali-kali."
"Tokoh utama? Apa lo percaya kalau tokoh utama itu ada?" Ucapan Leoner malah membuat Lauren pusing.
"Tentu saja. Dunia ini nggak akan berjalan tanpa tokoh utama, kan? Buktinya, ada beberapa hal di dunia nyata yang nggak ada di dunia komik ini karena nggak ada hubungannya sama kemajuan alur cerita tokoh utama. Jadi gue percaya, kalau gue bisa bantu tokoh utama mempercepat tujuan mereka, gue juga bisa mencari kebahagiaan tokoh gue," ujar Lusi menjelaskan apa yang dia pikirkan selama ini.
"Dunia komik itu rapuh. Para tokoh asli yang berhasil menyadari kalau mereka nggak nyata akan mengalami kacau yang berarti karakternya rusak. Dalam artian, dia udah nggak punya tujuan di dalam cerita. Maka dia akan seperti Lauren yang berusaha mengakhiri hidup," ucap Leoner, berusaha menjelaskan. "Tokoh hasil transmigrasi seperti kita adalah tokoh yang kuat, punya tujuan, dan berkarakter. Itu yang akan membuat penulis tertarik mengangkat pangkat kita."
"Pangkat?"
"Yap. Bagaimana jika tanpa sadar, apa yang lo lakukan di dunia ini membuat lo naik pangkat menjadi tokoh utama?" Perkataan Leoner sungguh konyol, mana ada hal semacam itu?
"Itu kan tujuan Lauren, bukan gue. Nggak jadi tokoh utama juga nggak masalah, gue nggak tertarik mencari perhatian," ucap Lusi sambil berjalan ke kursinya lagi. Dia lelah berdiri lama.
"Sayangnya, penulis udah tertarik sama lo. Seorang Lauren yang ngejar-ngejar Aydan tiba-tiba bilang suka sama Bizarki Laxellon yang dari dulu dia benci? Alur cerita itu lebih menarik daripada tokoh utama, lo nggak sadar?" ucap Leoner dengan senyum lebar.
"A-apa ... itu juga mempengaruhi karakter Bizar?"
Leoner berjalan mendekat sembari mencari sesuatu di ranselnya. "Naik pangkat menjadi tokoh utama punya kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, dia bisa mendapatkan kesenangan lebih dari karakter lain dan kekurangannya, dia bisa lebih menderita dari karakter lain. Hidupnya lebih diperhatikan dan dikendalikan oleh penulis."
Lusi mengerutkan keningnya. Dia berpikir keras mengenai hal ini. Kenapa dari awal dia tidak berpikir sejauh ini sebelum berbuat sesuatu yang akan berdampak besar pada posisi Bizar?
"I'm In Love With a Second Lead, lo dan Bizar sebagai tokoh utama," ucap Leoner seraya melayangkan sebuah komik di depan Lusi. Sontak Lusi hendak mengambilnya untuk melihat situasi seperti apa yang ada di dalamnya. Dengan gesit Leoner langsung menjauhkannya dari Lusi. "Lo mungkin bisa menyentuh komik Natasya's Love karena itu adalah cerita orang lain. Tapi, lo akan langsung hancur kalau menyentuh komik ini."
Lusi terdiam untuk beberapa waktu. Sekarang dia sepenuhnya sadar bahwa dirinya sudah tak punya banyak pilihan. Mendengar bahwa dia telah menjadi seorang tokoh utama komik, rasanya bulu kuduk langsung merinding. Entah ini artinya dia senang atau takut, sebab rasanya berbeda tipis.
"Jadi ... sekarang apa yang harus gue lakukan, Ner?" Itulah yang bisa Lusi katakan, karena dia sudah tak tau harus apa.
"Jalani." Leoner memasukkan kembali komik itu ke dalam ranselnya. "Berhenti cari tau sesuatu yang akan menghancurkan lo dan Bizar. Sekarang, perjalanan hidup lo sudah dimulai. Jangan cari masalah sama penulis atau lo nggak akan merasakan kesenangan seperti sekarang. Hidup di sini jauh lebih baik daripada menderita dengan penyakit parah, kan?"
Leoner memasang kembali topi hitam yang sempat dia lepas. Dia mendekat pada Lusi lalu memeluknya. "Lo nggak perlu susah-susah cari gue, cukup panggil gue di dalam hati lo. Gue udah bisa denger itu semua."
Lusi menatap melas Leoner yang membuka pintu kaca kamarnya. Sepertinya pria itu hendak pergi lewat balkon.
"Ah, satu hal lagi!" Leoner yang sudah duduk di atas gagang pagar balkon membuat Lusi panik sendiri. Bisa-bisanya pria itu mengajak Lusi mengobrol lagi dalam keadaan seperti itu?
"Apaan lagi? Cepet bilang!"
Leoner menunjuk ke arah pintu kamar Lusi. "Jangan terlalu sering ke perpustakaan. Energinya nggak baik untuk tokoh komik seperti kita. Di sana ada portal pembatas dunia nyata dan dunia komik, itu sebabnya lo bisa menghirup udara dunia nyata."
Sepertinya aku tau bagaimana aku bisa datang ke tubuh ini saat Lauren jatuh ke kolam, pasti karena portalnya ada di rumah ini, pikir Lusi.
"Jadi, gue bisa balik ke dunia nyata, kan?" tanya Lusi dengan kedua mata yang memicing karena kedinginan berada di luar.
"Bisa, tapi lo lupa kalau lo udah mati? Jadi waktu lo balik, tubuh lo pasti udah jadi tulang di bawah tanah." Kini Leoner menghadap ke arah luar lagi, hendak benar-benar pergi. "Daripada lo memusingkan soal dunia nyata dan dunia komik, kenapa nggak lo coba jalani aja dulu? Siapa tau lo dan Bizar bisa menjadi kesayangan penulis dan mendapat kesempatan."
"Kesempatan?" Lusi segera berlari ke pagar balkon. Dia melihat Leoner yang melompat ke pohon lalu berlari pergi dari rumah ayahnya. "Tunggu! Kesempatan apa yang lo maksud, Ner?!"
Leoner malah melambaikan tangan begitu saja dan menghilang dari pandangan Lusi.
***
"Tuan Muda Zero, ada Nona Muda dari keluarga Zawendra yang datang dan ingin bertemu dengan kepala keluarga Laxellon, apa saya minta pulang?" ucap seorang pelayan di sela-sela kegiatan Zero dalam menghitung persentase keuntungan usaha minggu ini.
"Zawendra?" tanya Zero untuk memastikan pendengarannya.
"Benar, Tuan."
Untuk apa putri dari keluarga Zawendra datang ke mari? Bukankah aku dengan jelas sudah menolak tawaran mereka? pikir Zero dengan tatapan serius.
"Persilakan dia masuk. Siapkan minuman juga."
"Baik, Tuan," ucap pelayan lalu segera menghubungi pelayan lain agar mempersilakan Lusi masuk.
"Selamat datang, Nona Lauren Zawendra," kata Zero sembari membuka kedua tangannya, mencoba seramah mungkin pada putri dari rival bisnis keluarganya.
"Terima kasih," ucap Lusi lalu melangkah memasuki ruang kerja keluarga Laxellon. Setelah mendudukkan diri di sofa dan berhadapan dengan Zero, Lusi pun berkata, "Saya ingin menemui kepala keluarga Laxellon."
"Wah, sepertinya itu akan sulit, Nona, karena ayah dan ibu sedang melakukan perjalanan ke luar kota. Sehingga saya di sini sebagai putra tertua menggantikan peran ayah sebagai kepala keluarga untuk sementara," ungkap Zero, berusaha menjelaskan agar Lusi paham. "Tapi, saya akan mengirim pesan pada mereka jika Nona datang berkunjung."
"Jadi begitu, ya." Lusi jadi penasaran kenapa mata kiri Zero dibungkus perban. Sebenarnya siapa pelakunya? Di dalam komik tidak diceritakan apa-apa mengenai mata Zero. Namun, yang membuat Lusi merasa tenang-tenang saja adalah sifat Zero yang lebih hangat dari Bizar. Kakak beradik itu hanya sulit mengekspresikan rasa sayang mereka saja.
"Jadi, kalau Nona mau pulang--"
"Kak Zero tau? Aku sudah lama mengidolakan Kakak," ucap Lusi dengan senyuman manis yang dibuat-buat. Syarat utama dari mencari restu keluarga adalah mengambil hatinya!
"Kak?"
"Iya, Kak Zero adalah kakak satu-satunya Bizarki, kan? Jadi, aku akan menganggap Kakak seperti Kakakku sendiri. Boleh, kan?" tanya Lusi dengan hangat.
Melihat itu, hati Zero tersentuh. Dia bahkan tak pernah melihat Bizar menggemaskan begini. Padahal saat kecil, Bizar sangat lucu. "Begitukah?"
"Iya! Kakak mau tau rahasianya? Kakak jauh lebih hebat daripada Bizar!"
Zero mengusap wajahnya yang mulai panas dan memerah. Anehnya, dia tak pernah merasa sesenang ini sebelumnya. "Benarkah? Menurutmu aku lebih keren daripada anak itu?"
"Iya! Lebih ganteng juga!"
Zero menyadari satu hal. Dia memegang mata kirinya yang dibungkus perban. Sepertinya putri keluarga Zawendra hanya membual kalau soal ketampanan. Jelas-jelas dirinya itu cacat.
"Aku tampan walau dengan mata satu begini?" tanya Zero.
Lusi mengangguk mantap. "Malah menurutku, luka di mata kiri Kakak menambahkan kesan garang dan keren yang nggak Bizar punya. Makanya, Kakak akan sangat populer kalau soal penampilan!"
Walau aku tau itu semua hanya omong kosong, aku tetap senang mendengarnya, pikir Zero dengan senyuman tipis.
"Jadi, sebenarnya ada tujuan apa Nona Lauren datang ke mari? Tentu bukan hanya untuk memuji saya, kan?"
Akhirnya ngerti, batin Lusi yang tersenyum penuh kemenangan.
"Saya datang ke sini untuk melamar Bizarki Laxellon menjadi tunangan saya," ucap Lusi dengan lantang.
"Oh, begitu." Zero mengangguk paham lalu menyeruput kopinya. Beberapa menit kemudian, dia baru sadar. "Tunggu-- hah? A--apa?"
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top