Enam Belas
Why can't you love me? Hold me so close, maybe we can be lucky.
-Lusi
"Maaf, Nona. Tapi, kenapa tiba-tiba?" tanya Zero yang tak tau apa rencana perempuan di depannya.
"Itu karena saya mau menjaga dan melindungi Bizar. Saya merasa, Bizar adalah belahan jiwa saya. Apakah alasan itu belum cukup, Kak?" jawab Lusi sembari menyentuh hatinya.
Menarik, pikir Zero yang tersenyum lebar mendengar jawaban Lusi. Lantas dirinya membenah posisi duduk agar lebih nyaman.
"Apakah sudah menjadi tradisi bagi keluarga Zawendra untuk perempuan melamar lebih dulu?" Zero jadi ingin tau, mengapa perempuan yang tidak pernah hidup susah ini rela mendatangi keluarga Laxellon dan melamar dengan berani?
Aku tau ini memalukan, bahkan di komik-komik yang aku baca, laki-lakilah yang lebih dulu melamar, batin Lusi, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya.
"Bisa dibilang begitu," kata Lusi seadanya. Dia sudah tak tau harus berdalih apa.
"Kalau begitu, keluarga kami akan mempertimbangkannya. Terutama setelah mendengar jawaban dari Bizar sendiri," ucap Zero yang tampak ingin mengakhiri pertemuan hari ini dengan Lusi.
"Tapi sepertinya ... itu tidak perlu, Kak. Bukankah Kakak sekarang sedang menggantikan posisi kepala keluarga? Aku yakin, seorang kepala keluarga memiliki hak untuk memutuskan sebuah keputusan. Apalagi, aku tau betul kalau Kak Zero adalah orang yang bijak."
Zero mengurungkan niatnya yang hendak bangkit dari kursi. "Jadi maksud Nona, saya bisa menyetujui hal ini tanpa menunggu jawaban Bizar?"
Lusi mengangguk dengan mantap. "Tuh, kan. Kakak sangat bijak!"
"Saya tidak mengerti kenapa Nona sangat ingin keluarga Laxellon menyetujuinya. Masalahnya, yang Nona lamar adalah adik saya dan sebaiknya saya mendengar pendapat dia, kan?"
Kalo nunggu jawaban Bizar pasti dia bakal nolak langsung. Gue nggak mungkin nunggu 100 hari untuk mengikat Bizar di sisi gue. Gue kan orangnya sat-set-sat-set, batin Lusi yang tersenyum mendengar jawaban Zero.
"Saya rasa akan lebih bijak untuk Kak Zero memutuskannya sekarang. Apalagi, terjalinnya hubungan antara keluarga besar Laxellon dan Zawendra juga hanya akan memberikan keuntungan untuk kedua belah pihak. Bukankah saya benar?" Lusi masih terus berusaha bernegosiasi dengan Zero. Harapannya, dia dapat membawa pulang hasil yang memuaskan. Apa dia harus menjabarkan lebih dulu keuntungan apa saja yang akan Laxellon peroleh dengan menerimanya sebagai menantu?
"Hmm, sepertinya Nona benar." Zero menatap Lusi lekat-lekat, perempuan yang berani ambil risiko datang ke mari sendirian ini memang cocok dengan Bizar. Dia juga tidak jelek. Apa Bizar masih akan menolaknya? "Kalau saya menerima, apa yang harus saya lakukan?"
"Keputusan yang bijak!" ucap Lusi spontan. Dia langsung berdeham untuk menetralkan suara, lalu mengeluarkan dokumen yang sudah dia siapkan. "Kak Zero bisa menandatangani dokumen ini. Harus ada perjanjian hitam di atas putih untuk awal yang baik sebuah hubungan, kan?"
Zero terkekeh melihatnya. Sepertinya tidak salah dia adalah penerus satu-satunya keluarga Zawendra yang merupakan pebisnis handal.
"Sudah, kan?" ucap Zero setelah menandatangani dokumen itu dan tak lupa memberikan stempel keluarga Laxellon pula di dalamnya.
"Benar!" Wajah Lusi berbinar melihat dokumen itu.
"Sekarang, saya ingin mendengar cerita Nona tentang Bizar. Boleh, kan?" tanya Zero. Yang tentu dijawab dengan semangat oleh Lusi.
***
"Kenapa rumah jadi ramai begini?" gumam Bizar yang baru bangun dan hendak turun untuk mengambil minum di dapur.
"Oh, adikku sudah bangun?" tanya Zero yang melihat emasnya Laxellon berdiri di tengah tangga. Sementara Zero berkacak pinggang di bawah tangga untuk menginteruksi para pelayan yang sedang membersihkan rumah dan mengatur kembali susunan rumah.
"Lo ngapain? Lo nggak lagi main rumah-rumahan, kan?"
"Gue lagi mengubah susunan rumah untuk pesta yang akan diselenggarakan besok," ucap Zero dengan wajah sumringah.
"Pesta? Pesta apa?"
"Pertunangan Bizarki Laxellon dengan Lauren Zawendra." Ucapan Zero membuat Bizar syok. Lantas pria itu segera berlari menuruni tangga dan mencengkram kerah kakaknya.
"APA MAKSUD LO, ZERO?!"
Zero tersenyum manis pada Bizar. "Udah terlambat. Gue udah menandatangani kesepakatan hitam di atas putih. Lo nggak punya pilihan selain setuju."
Zero menepis tangan Bizar dari kerahnya. Lega rasanya melihat reaksi Bizar yang tertekan. Itu seolah kesenangan tersendiri bagi Zero. Tak mengindahkan tatapan maut Bizar, Zero lanjut mengurus dekorasi lainnya.
"Halo, Zar?" Suara Aydan terdengar dari sebrang. Tak biasanya Bizar menelepon tanpa mengabari dulu di pesan. Apa telah terjadi sesuatu padanya?
"Bunuh orang di penjara berapa tahun?" tanya Bizar langsung.
"Hah?"
"Atau lo mau gantiin gue? Gue capek jadi adiknya enol," jawab Bizar sambil mengusap kasar wajahnya.
"Enol? Ah, maksud lo ... Kak Zero?"
***
"
Lauren Zawendra udah dateng!" pekik semua orang. Semua tamu undangan tampak bergembira, bahkan Zero juga tak berhenti menyunggingkan senyumnya. Sangat berbeda dengan Bizar yang sudah merengek ingin kembali ke kamar sejak tadi. Penampilannya sekarang bahkan dipaksa oleh para pelayan sesuai permintaan Zero. Padahal dia tak suka berdandan formal begini.
Bizar ganteng banget! batin Lusi yang merasa berdebar kala pintu rumah Laxellon dibukakan untuknya. Sembari menggandeng Pamungkas, ayah Lauren, Lusi berjalan masuk bersama.
"Se--selamat datang," gumam Bizar sambil menunduk. Dia tak biasa menjadi pusat perhatian begini. Menyadari Bizar kesulitan, Lusi segera mengulurkan tangannya ke depan Bizar. Tentu pria itu langsung menerimanya.
"Kalau begitu, pesta bisa langsung dimulai. Silakan para tamu undangan menikmati jamuan yang telah disiapkan," ucap Zero sebelum berjalan menemui ayah Lauren untuk berbincang akrab.
"Mau dansa?" tanya Lusi dengan tatapan berbinar. Walau Bizar tak ingin membenarkannya, tapi Lusi memang tampil sangat cantik hari ini.
Tanpa menunggu persetujuan Bizar, Lusi menariknya ke tengah aula. Musik dengan melodi romantis pun berbunyi. Namun sayangnya, Lusi hanya bisa diam. Dia tidak tau bagaimana cara berdansa. Bodohnya malah dia yang mengajak Bizar. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
"Kenapa?" tanya Bizar yang melihat Lusi hanya diam saja dengan wajah bingung.
"Emm ...." Lusi melirik ke arah lain. Kalau dia minta tolong pengawalnya, pasti mereka tau cara berdansa, kan? "Kayaknya gue mau minta tolong mereka dulu untuk ajarin gue dansa. Lo nunggu bentar nggak pa-pa, kan?"
Bizar mengangkat sebelah alisnya. Dia benar-benar tak habis pikir dengan gadis di depannya. Sudah melamar lebih dulu, berusaha mendekatinya, berkata akan melindungi dan membahagiakannya. Bizar jadi seperti tak punya harga diri di depan Lusi, karena semua perannya sebagai laki-laki telah diambil alih.
"Kali ini aja," kata Bizar. Lusi yang tak mengerti hanya diam saja. Tiba-tiba Bizar menarik tangan kanan Lusi ke atas dan menggenggamnya, kemudian Bizar melingkarkan tangannya pada pinggang kiri Lusi. Karena jarak keduanya terlalu jauh, Bizar pun menarik Lusi sampai begitu dekat.
Jantung ... jantung ... aman, kan?
Lusi mendongak, dia melihat Bizar yang menatapnya dalam.
"Kenapa lo nggak minta bantuan gue?"
Lusi memejamkan mata sebentar karena tak sanggup berbicara dengan Bizar dalam jarak sedekat ini.
"Karena ... gue nggak mau nyusahin lo."
Cewek ini benar-benar nggak sadar kalau udah nyusahin dari awal, pikir Bizar. Untuk mengikuti temponya, Bizar langsung memutar tubuh Lusi kemudian menangkapnya.
"Toh, dari awal udah nyusahin, kenapa nggak sekalian?""
Lusi tak percaya jika Bizar akhirnya menawarkan bantuan padanya. "Gue boleh gitu?"
Bizar pun memutar Lusi lagi lalu berpura-pura menangkap Lusi yang akan jatuh. Pose dansa seperti ini memang yang terbaik. Sampai beberapa orang tampak memekik melihat interaksi Lusi dan Bizar.
"Apa ada yang berani melarang lo?"
Lusi tersenyum. "Cuma lo."
Rasanya rona muka Lusi semakin berlipat kala tangan Bizar menyentuh pinggangnya. Rasanya seperti ada kupu-kupu di perutnya. Lusi bahkan tak bisa menggambarkan betapa menyenangkannya situasi sekarang.
"Gue peringatkan lo, jangan berulah kayak gini lagi. Bisa-bisa gue jantungan kalau terus-menerus menanggapi tingkah lo yang nggak pernah kehabisan ide," bisik Bizar di telinga Lusi.
AAAAAAAAAAAH!
Lusi ingin teriak saat ini juga. Bulu kuduknya berdiri kala mendengar deru napas Bizar di lehernya. Bagaimana mungkin Lusi sanggup bertahan? Demi apa pun, ini sangat sulit!
Lusi pun mengalungkan kedua lengannya di leher Bizar. "Tapi, gue juga kaget karena lo nggak menolak. Gue kira lo akan labrak gue ke rumah."
Bizar menggeram kesal. "Penginnya begitu, tapi bagaimana gue mau menolak kalau keluarga lo malah melunasi semua utang perusahaan keluarga gue?"
Lusi menyunggingkan senyumnya. Tangan kirinya terangkat, lalu mengusap pipi Bizar. "Itu sesuatu yang baik, kan?"
Ngomong-ngomong, kenapa pipi Bizar panas, ya? Apa dia sakit? batin Lusi.
"Lauren ...," gumam Bizar yang tak nyaman tangan Lusi berada di wajahnya.
"Hmm?" Tak hanya di pipi, sekarang Lusi meraba bibir Bizar. Hal itu mengingatkan keduanya pada ciuman yang terjadi di lapangan sekolah.
Apa yang sebenarnya perempuan ini inginkan? Kenapa dia terus-menerus memancing Bizar?
"Cukup, Ren."
"Apanya?"
Bizar sudah sangat kesal. Tak tahan lagi, Bizar menahan tangan Lusi lalu mendekatkan wajahnya. Lusi yang sudah siap telah memejamkan mata. Hampir kecolongan, Bizar langsung menjauhkan tubuh Lusi darinya. Gadis ini benar-benar berbahaya. Tidak biasanya Bizar sulit mengontrol keinginannya.
"Nggak jadi?" tanya Lusi yang akhirnya membuka mata.
"Apanya yang nggak jadi?" geram Bizar melihat Lusi yang tampak kesenangan menyiksa pria itu.
"Ini." Lusi mengetuk bibirnya dengan jari telunjuk dua kali. "Dan ini." Kemudian berganti menunjuk bibir Bizar.
"Gue nggak ngerti maksud lo!" Bizar masih tak paham mengapa Lusi bisa mengatakannya tanpa malu. Padahal telinga Bizar sudah memerah sejak tadi.
"Lo masih laki-laki yang normal, kan?"
Lusi bingung kenapa Bizar terlalu polos untuk mengerti. Apakah karena usianya baru 17 tahun?
Ya karena gue laki-laki normal, gue nggak bisa ada di dekat lo begini. Gue bahaya buat lo! batin Bizar.
"Menurut lo?"
Lusi jadi cemas, apakah ciumannya waktu itu sangat buruk? Sampai Bizar tak ingin mengulanginya lagi.
"Jadi, salah gue, ya?" Lusi memegang bibirnya sendiri dengan gelisah. "Apa teknik gue sangat buruk? Itu pertama kali buat gue, sih. Gue cuma liat dari novel dan komik."
Takut didengar orang-orang, Bizar harus segera menghentikan ocehan Lusi. Jujur ini sangat memalukan di telinga Bizar.
"Cu--cukup, Ren! Lo sempurna! Ciuman lo udah sempurna, gue yang-- yang kewalahan."
Habis sudah, wajah Bizar sudah memerah sekarang. Dia hanya bisa menunduk untuk meredam rasa malunya.
"Oh, ya? Kalau gitu, lo mau jadi pacar gue?"
"Lauren Zawendra!"
Bisa-bisanya ini cewek ....
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top