Enam

Ternyata menjadi orang baik nggak sesulit itu.

-Lusi

"Please, satu suap aja, Zar! Ya? Ya?" ucap Lusi yang tengah duduk di depan bangku Bizar.

"Apaan, sih? Gue nggak mau!" Bizar masih saja memberikan tatapan risi pada Lusi. Dia bersedekap dada dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Sejak jam istirahat tadi, gadis ini tak bosan mengganggunya. Untuk apa dia harus memakan bolu coklat yang tak tau berbahan apa saja? Bisa saja dia keracunan setelah memakannya, kan?

"Ini tuh enak banget! Gue jamin lo bakal suka," kata Lusi, masih berusaha meyakinkan Bizar.

Sampai kapan lo mau tampil garang? Padahal di komik udah diceritain kalau coklat adalah makanan kesukaan Bizar. Dia bahkan sanggup menghabiskan berbagai kuliner coklat, tapi sekarang sengaja untuk menyembunyikannya karena keluarganya bankrut, batin Lusi.

"Emm ... Lauren, permisi," ucap Madun yang berdiri di belakang Lusi. Merasa dipanggil, Lusi pun menoleh.

"Gue mau minta maaf banget sebelumnya, tapi kenapa tiap hari lo ke kelas ini, ya?" tanyanya.

Duh, mampus gue. Kalau setelah ini gue dipanggil kepala sekolah, gue pasrah, deh, batin Madun. Selama ini, Lauren terkenal mudah tersinggung dan selalu mengalahkan siapapun yang berani mencari masalah dengannya. Gadis yang tak memiliki kekurangan itu selalu mengatakan bahwa kelas reguler rendahan seperti mereka tak cocok ada di sekolah ini. Jadi wajar jika semua teman sekelas Bizar penasaran akan kedatangan Lusi yang rutin.

Setelah pemungutan suara dan perdebatan panjang, diputuskanlah Madun yang mewakili teman sekelasnya untuk bicara dengan Lauren.

"Karena ... ada yang mau gue temui. Minimal sehari sekali, gue pengin lihat dia sebagai vitamin," ucap Lusi yang diakhiri senyuman.

"Kalau gue boleh tau, siapa itu?" tanya Revi yang akhirnya berani bersuara.

Lantas kedua tangan Lusi terarah pada Bizar seolah menunjukkan sebuah produk. "Ini orangnya, Bizarki Laxellon."

"A--apa?!" Seisi kelas heboh olehnya. Mereka tak percaya jika sosok yang selalu ingin dilihat Lauren sebagai vitamin adalah Bizar yang terkenal temperamen. Selama ini, Lauren bahkan tak berani menatap Bizar atau melewati kelasnya. Satu-satunya perempuan yang berani berinteraksi dengan Bizar hanyalah Natasya. Karena laki-laki itu terkenal kasar dan dingin pada perempuan, dia selalu berteman hanya dengan laki-laki. Itu sebabnya dia akrab dengan teman kelasnya jika bermain bola, tapi dengan syarat Bizar tak boleh marah-marah pada mereka.

"Tutup mulut lo!" bentak Bizar agar Lusi berhenti berbicara omong kosong.

"Tapi, kenapa? Apa kalian pacaran?" tanya Dana yang ikut penasaran. Kini seluruh perhatian terpusat pada Lusi dan Bizar.

"Omong kosong macam apa itu? Mau gue tendang?" gertak Bizar, namun langsung mendapat pukulan kecil oleh Lusi.

"Heh, jangan galak-galak! Dia kan cuma nanya," kata Lusi dengan enteng.

Semua teman sekelas Bizar semakin syok dibuatnya. Lusi berani menasihati Bizar? Bizarki Laxellon?! Wow, tebal sekali mentalnya!

Diam-diam Lusi menahan tawa melihat reaksi teman sekelas Bizar. Padahal Lusi sendiri tau bagaimana isi hati Bizar yang sebenarnya. Dia adalah orang yang baik, yang tak mungkin berani menyakiti perempuan. Itu sebabnya Lusi merasa nyaman ada di dekat Bizar.

"Gue dan Bizar belum pacaran. Gue nggak mungkin maksa orang yang belum ada rasa ke gue untuk menjadi pacar gue. Tapi secepatnya kok," ucap Lusi sambil menatap Bizar.

"Gue udah peringatin lo!"

Lusi mengangkat kedua alisnya. "Emang bener, kan? Kita berdua bahkan udah pernah ci--"

"LAUREN ZAWENDRA!"

"Iya, Bizarki Laxellon?" jawab Lusi tanpa beban, padahal dapat dilihat jika Bizar sudah diselimuti oleh amarah yang meletup-letup.

"Apa mau lo?" Hanya ini yang dapat Bizar katakan untuk menutup mulut Lusi. Bisa-bisa gadis gila itu menceritakan kejadian ciuman memalukan itu di depan teman-temannya. Tentu Bizar tidak akan tinggal diam.

Karena merasa pancingannya berhasil, Lusi tersenyum penuh kemenangan. "Gue mau lo makan bolu coklat ini. Minimal satu suap, kalau lo nggak suka boleh lo buang."

"Makan ini aja, kan? Setelah itu lo mau pergi?"

Lusi terkekeh, dia mengangguk sebagai jawaban.

Setelah memperhatikan bolu coklat itu selama beberapa menit, akhirnya tangan Bizar terangkat untuk mengambilnya. Dia mulai memakannya satu suap, membuat beberapa teman sekelasnya ngiler karena ingin juga.

"Kayaknya enak, gue boleh nyoba, nggak?" tanya Madun.

Lusi tersenyum. "Boleh kok ... eh!" Lusi terkejut kala melihat isi kotak bekalnya sudah habis di perut Bizar.

"Katanya nggak suka?"

Bizar membuang pandangannya ke jendela. "Gue emang nggak suka manis-manis!"

"Hahah, padahal kelihatan banget kalau Bizar makan lahap bolu coklatnya!" bisik Windi yang suka bergosip.

"Gue juga nggak nyangka kalau cowok galak kayak Bizar suka manis-manis!"

"DIEM! NGGAK TERIMA MAJU SINI LO PADA!" hardik Bizar.

Lusi mengulum senyum dibuatnya. Sekarang dia paham, Bizar tidak ingin terlihat lemah di depan teman-temannya. Lantas gadis itu mengeluarkan secarik tisu untuk mengusap ujung bibir Bizar yang tertinggal selai coklat.

"Cukup, Lauren!" tegas Bizar sambil menahan tangan Lusi yang sedang ingin membersihkan ujung bibir Bizar. "Lo bilang, lo mau pergi."

"100 hari aja, Zar," ucap Lusi. Entahlah, beberapa menit lalu ketika menunggu Bizar menghabiskan bolu coklat buatannya, dia jadi menemukan ide yang gila. "Kasih gue kesempatan 100 hari."

"Kenapa gue harus melakukan itu?" Alis tebal Bizar bertaut kala mendengar ucapan Lusi.

Lusi menegakkan tubuhnya. "Kasih gue kesempatan 100 hari untuk bikin lo bahagia dan punya perasaan yang sama untuk gue. Kalau setelah 100 hari ternyata perasaan lo masih sama, gue nggak akan ganggu lo lagi. Gimana?"

Apa gue setujui aja? Sebelum 100 hari, cewek ini pasti bakal bosen dan pergi. Alasan dia suka sama gue kan cuma karena tampang. Kalau gue perlakukan dia seperti ini terus, dia pasti bakal capek dan menyerah, pikir Bizar dengan matang.

"Apa yang harus gue lakukan selama 100 hari itu?" tanya Bizar. Tak disangka dia menerima tawaran Lusi, membuat seisi kelas semakin heboh.

"Lo nggak perlu melakukan apa-apa. Gue cuma pengin melihat wajah lo minimal sehari sekali. Jadi, setiap jam istirahat kedua, jangan ke mana-mana. Oke?"

***

"Pergi! Lo itu beban buat hidup gue! Pergilah, anak anjing!" bentak seorang pria yang tak bisa berjalan dengan benar. Kondisinya yang setengah sadar berusaha untuk Natasya papah dengan benar.

"Dikit lagi, Yah. Bentar lagi kita sampai rumah. Ayah bertahan, ya?" ucap Natasya yang sudah kuwalahan. Udara dingin malam hari membuatnya semakin kesulitan untuk berjalan.

Brak!

"Gue nggak mau! Minum gue belum habis. Masih ada satu putaran lagi, gue pasti bisa dapetin tiga puluh juta itu!" pekik ayah Natasya setelah berhasil mendorong anaknya hingga tersungkur di atas tanah.

"Aw," rintih Natasya. Rasanya ingin menangis kala seluruh tubuhnya terasa seperti dikoyak. Saat dirinya hendak bangkit kembali, Natasya melihat sepasang kaki yang berdiri di depannya. Aneh, siapakah itu?

"L--lo ... ngapain di sini?" Bola mata Natasya terbelalak kala menyadari kehadiran Lauren malam-malam di depan rumahnya. Gadis itu mengulurkan tangannya, ingin membantu Natasya untuk bangun tapi malah ditepis.

"Gue khawatir sama lo karena nggak masuk sekolah berhari-hari," kata Lusi. Dia menyadari itu ketika mendatangi kelas Bizar dan tidak menjumpai Natasya sama sekali. Gadis itu juga tidak menemani Aydan di masa-masa sulitnya, tidak seperti alur cerita komik yang sebenarnya. Lusi takut mengubah alur lebih banyak.

"Mending lo pulang!"

Apa yang terjadi sama Natasya? Di wajah, leher, dan tangannya ada banyak luka lebam. Apa dia baik-baik saja? batin Lusi.

"Tapi--"

"Pulang, La! Gue nggak butuh belas kasihan lo!" bentak Natasya, lalu memapah ayahnya lagi. Setelah masuk rumah, dia mengunci pintu kembali. Walau sulit, akhirnya Natasya berhasil membaringkan ayahnya di atas kasur tipis miliknya.

Natasya ambruk, dia terduduk di balik pintu kamar ayahnya. Seluruh ruangannya gelap karena dia tak bisa mengganti lampu ruangan sendiri, sedangkan ayahnya tak pernah ada di rumah. Karena sibuk mabuk dan berjudi.

"Aku lelah," gumamnya. Air mata Natasya sudah berlinangan sejak tadi. Mengapa Lauren harus ada di sana? Mengapa perempuan itu melihatnya di kondisi seperti sekarang? Natasya tak suka jika kelemahannya diketahui orang lain.

Rintik hujan mulai terdengar lewat atap rumah Natasya yang terbuat dari seng. Walau berisiknya terdengar sampai ke dalam rumah, setidaknya suara berisik itu dapat meredam suara-suara yang ada di kepalanya.

Karena ingin mencari udara segar, Natasya memakai jaketnya dan beranjak keluar. Di luar dugaannya, Lauren berjongkok dan masih ada di depan rumahnya.

"Kenapa lo masih di sini?" tanya Natasya.

"Karena lo nggak baik-baik aja."


-----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top