Empat

Dia aneh. Apa kecelakaan itu bener-bener parah sampai otaknya kegeser?

-Bizar

"Mau jadi pacar gue?"

Bizar menggeram kesal. Mau keramas saja tidak bisa karena kala menutup mata, bayangan kejadian tadi terus-menerus mengganggu pikirannya.

Sulit untuk Bizar percaya bahwa perempuan yang dari dulu tidak berani menatapnya malah mengajaknya berpacaran. Mengingat perbuatannya pada Natasya saja sudah membuat Bizar jijik. Mana mungkin Bizar mau menjadi pacarnya? Sebenarnya apalagi yang gadis licik itu rencanakan? Aydan pasti tidak akan tinggal diam, kan?

Ting!

Keluar dari kamar mandi, Bizar melirik ke arah ponsel yang dia cas di atas nakas. Tampak dari layar kunci ponselnya, ada pesan masuk.

+628124510
Hai

+628124510
Simpen nomor gue ya

Me
?

+628124510
Calon istri lo

Kayaknya dia Lauren, batin Bizar dengan alis yang terangkat sebelah. Pesan dengan isi yang tidak penting itu pasti berasal dari orang yang hilang akal seperti Lauren.

Beberapa menit kemudian, ada pesan masuk lagi. Tapi bukan dari nomor tidak dikenal, melainkan dari grup sekolah yang menyiarkan bahwa ibu Aydan baru saja menghembuskan napas terakhirnya.

***

Semakin gue pikirin, semuanya semakin nggak masuk akal. Seharusnya bukan hari ini ibunya Aydan meninggal. Kenapa gue nggak bisa nebak alur cerita dan latar waktu? Apa karena sedikit perubahan dari gue, alur cerita dan latar waktu bergerak secara terpisah? pikir Lusi yang kini sedang duduk di depan meja riasnya.

"Hari ini mau makan malam apa, Non?" tanya Priyanka yang dari tadi menyisir rambut panjang Lauren.

"Kakak!"

"Iya?"

"Bagaimana kondisi di rumah Aydan sekarang? Dia pasti sangat sedih karena ibunya meninggal tiba-tiba," ucap Lusi. Dia ingat bagaimana Aydan menangis sendirian di kamarnya setelah kematian ibunya. Tak ada siapa pun yang tau, kecuali Natasya yang keesokan hari menemani dan menghibur Aydan. Sedangkan Lauren malah merusak semuanya dengan mengoceh omong kosong.

Bisa dibilang, rasa cinta Lauren pada Aydan memang hanya berdasarkan penampilannya. Itu sebabnya menurut Lusi, Lauren tidak begitu tulus memiliki perasaan pada Aydan. Karena ketika Aydan membutuhkan sebuah sandaran, Lauren tidak bisa memberikan itu.

"Nona ... baru pertama kali seperti ini. Bukankah Nona selalu menganggap bahwa Tuan Aydan pasti bisa menyelesaikan semuanya sendiri?"

Yah ... wajar jika Lauren berpikir seperti itu. Selama ini, baik Aydan, Bizar, maupun Natasya selalu menyembunyikan masalah mereka dengan berkata baik-baik saja. Padahal di antara mereka bertiga, tak ada yang baik-baik saja, batin Lusi sembari menyandarkan kepalanya di atas meja.

"Aku ... ingin berubah, Kak," kata Lusi.

"Berubah? Perubahan apa yang ingin Nona lakukan?" tanya Julie yang baru datang membawa semangkuk ice cream lalu memberikannya untuk Lusi.

"Aku ingin menjadi orang baik. Selama ini, semua orang selalu mengenalku sebagai orang yang jahat, kan?" ucap Lusi, hal ini memang merupakan rencananya beberapa waktu lalu. Dia sadar, posisinya sebagai antagonis sangatlah merugikan. Karena sekarang bukan lagi ada Lauren, tapi Lusi ... maka dia harus memperbaiki image jika ingin memiliki hari yang baik-baik saja bersama Bizar.

"Nona tidak pernah jahat. Nona bersikap keras dan tegas agar tidak dianggap lemah," kata Julie.

"Benar, Nona. Nona tidak jahat sama sekali," sahut Priyanka.

"Terima kasih sudah bilang begitu, tapi aku serius dengan ucapanku." Setelah mengatakan itu, Lusi mengambil ikat rambutnya dan menguncir rambut panjangnya menjadi satu ikatan tinggi. "Tolong sampaikan pada Pak Toni untuk menyiapkan mobil."

"Nona mau pergi? Nona mau memakai pakaian yang mana?" tanya Priyanka yang mulai menegakkan tubuh untuk menyiapkan keperluan Lauren.

"Pakaian biasa saja. Aku mau ke rumah Aydan."

Walau sempat terkejut dan saling pandang, Priyanka dan Julie pun bersama-sama menyiapkan pakaian Lauren. Setelah semua yang dibutuhkan telah siap, Lusi menenteng tas kecilnya untuk dia bawa.

Ditemani ayahnya Lauren, Lusi turun dari mobil. Suasana rumah keluarga Aydan begitu ramai. Pasti karena seluruh keluarga, teman, dan kenalan mereka datang untuk ikut berduka. Di dalam peti, terbaring seorang wanita cantik yang tampaknya sudah tenang dan tidak sakit lagi. Adik perempuan Aydan dipeluk erat oleh ayahnya karena menangis begitu keras.

Jadi begini rasanya ditinggal orangtua yang sudah merawat selama bertahun-tahun? Apakah aku akan seperti ini juga jika mengetahui bagaimana rupa mereka? pikir Lusi sembari berjalan mendekat. Dia menunduk hormat kepada ayah Aydan. Sebagai bentuk keakraban sesama calon besan, ayah Lauren memeluk singkat ayah Aydan.

"Novi adalah perempuan yang baik, aku yakin kini dia sudah tenang di tempat yang indah," ucap ayah Lauren.

"Terima kasih atas ucapannya," kata ayah Aydan, lalu beliau melirik Lusi. "Terima kasih sudah datang, Lala."

Lusi hanya tersenyum tipis sebagai jawaban. Dari tadi matanya mencari sosok laki-laki yang masih disebut tunangannya itu. Sebenarnya, dia memang sengaja belum membatalkan pertunangan karena tidak mau membuat ayahnya curiga. Sosok Lauren sudah menyukai Aydan begitu lama, tentu aneh jika tiba-tiba mengatakan sudah tidak suka lagi.

"Aydan ... ada di mana, Om?" tanya Lusi akhirnya.

"Dia yang paling terpukul. Sepertinya dia mencari tempat yang sepi untuk melampiaskan semuanya. Sejujurnya om juga khawatir, Lala," kata ayah Aydan, yang bermaksud meminta tolong Lauren agar mencarinya.

"Ayah, Lala ke Aydan dulu, ya?" pamit Lusi yang dibalas anggukan dan elusan di atas kepalanya.

Tak perlu pusing mencari-cari, Lusi sudah tau ke mana Aydan pergi. Di komik tertulis jelas bahwa ruang musik adalah tempat kesukaan Aydan. Karena keluarga Aydan dari turun temurun merupakan penyuka musik, tentu memiliki ruang pribadi untuk mengembangkan bakat. Ibunya Aydan juga seorang pianis yang terkenal, bahkan punya panggung sendiri di gedung keluarga miliknya.

Tanpa mengetuk pintu, Lusi masuk. Dia mendatangi Aydan yang memeluk lututnya di pojok ruangan. Hal yang selalu dilakukan pria itu sejak kecil untuk menyembunyikan tangisnya.

"Aydan," panggil Lusi. Dia mengelus hangat rambut Aydan.

Kenyamanan itu ... terasa seperti ibu bagi Aydan. Lantas dia mendongak. Tatapannya berubah menusuk kala tau Lauren yang datang. Dia langsung menepis tangan Lauren darinya.

"Jauhin tangan lo dari gue!"

"Gue cuma pengin memastikan lo baik-baik aja," kata Lusi dengan lembut.

"Gue baik-baik aja. Pergi!" hardik Aydan.

"Lo nggak baik-baik aja, Dan." Padahal sangat terlihat dari tatapan pria itu jika dia baru selesai menangis. Kenapa dia masih bisa berbohong kalau baik-baik saja?

"Nggak usah sok tau dan ikut campur. Gue bilang, pergi!"

"Kita manusia, Dan!" bentak Lusi akhirnya.

Aydan terdiam, tak mengerti maksud ucapan Lusi. Bizar yang baru datang dan hendak menemui Aydan langsung mengurungkan niatnya kala mendengar Lauren ada di sana. Untuk jaga-jaga, maka Bizar tetap berdiri di sana dan menguping semua pembicaraan mereka.

"Nggak pa-pa bilang nggak baik-baik aja, nggak pa-pa nangis, nggak pa-pa buat mengandalkan orang lain dan sesekali nunjukin kerapuhan diri sendiri. Mungkin bagi lo, gue adalah orang lain yang selalu mengganggu hidup lo, tapi ... gue masih tunangan lo, kan? Manfaatin gue, Dan, nggak pa-pa. Jangan berada di dalam kegelapan ini sendirian," ucap Lusi.

Tanpa sadar, hati Aydan tergerak kala mendengar ucapan Lusi padanya. Sama halnya dengan Bizar, dia tidak menyangka jika kata-kata seperti itu akan keluar dari sosok Lauren yang jahat.

"Lo bisa main piano?" ucap Aydan tanpa sadar. Beberapa detik kemudian, dia terkekeh. "Buat apa gue tanya, pastinya nggak bisa."

Tanpa sepengetahuan Aydan, Lusi bangkit dan mendekati piano besar milik ibunya Aydan. Dia membukanya dan mulai meletakkan kedua tangan di atasnya.

Melodi gue bener nggak, ya? Cuma lagu itu yang gue bisa buat penampilan persembahan terakhir sekolah dulu, pikir Lusi.

Ketika piano sudah dimainkan, Aydan dan Bizar sama-sama melotot tak percaya. Keduanya tak tau bahwa Lauren bisa memainkan melodi seindah itu. Kemudian terdengar sebuah suara dari permainan piano Lusi.

"Wahai cahaya, harap taklukan gelap yang kerap datang hampiri, selimuti hari, memekik menguasai."

"Tak bisa jamah langkah-langkahmu yang tertampak, kumulai malu. Tersipu, kumalu, terurai canda-canda."

"Menatapi senyuman yang terlihat saat itu, detik itu juga kuberhenti berkhayal seperti semua terjadi."

"Sinarnya mentari ... perlahan meredup ... memahami tatap makna hari ini kan berganti. Takkan ke mana-mana."

Aydan dan Bizar tertegun. Aura yang keluar dari diri Lauren begitu luar biasa. Apalagi saat bibirnya mengeluarkan sebuah nyanyian, dia tampak begitu cantik dan indah.

"Jelek, ya?" ucap Lusi kala melihat Aydan yang diam saja sembari menatapnya.

"Lo bisa main piano?"

Lusi menggeleng. "Enggak, cuma ini aja. Dan cuma lagu ini yang gue tau."

"Itu lagu apa? Gue nggak pernah denger. Buatan lo?" tanya Aydan lagi tanpa ekspresi.

Ah ... di dunia komik ini pasti nggak ada lagu Cahaya - Feby Putri. Padahal di dunia itu cukup terkenal, batin Lusi.

"Bukan, ada penyanyi namanya Feby Putri dan gue suka lagu-lagu dia," jawab Lusi, kalau dilihat-lihat sepertinya Aydan cukup menyukai nyanyiannya barusan. Walau sebenarnya suaranya biasa-biasa saja, tapi siapa sangka suara Lauren bisa selembut ini.

"Gimana? Gue cukup berguna kan sebagai tunangan?"

Ternyata dia memang masih suka Aydan. Lalu apa arti ciuman itu? Apa dia mempermainkanku? pikir Bizar yang kemudian memutuskan untuk beranjak dari sana.

-----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top