Dua Puluh Tujuh
Apakah ini benar-benar akhir dari kita, Zar?
-Lusi
"Hari ini nangisnya lebih lama, ya?" ucap Aydan yang duduk bersila di sebelah Natasya. Keduanya sedang berada di lapangan karena apa yang terjadi pada Natasya selama beberapa hari ini. Semua orang mengatakan bahwa dia anak yang tidak diinginkan ayahnya, ada juga yang bilang kalau ayahnya suka mabuk-mabukan. Padahal tak ada yang mengetahui hal itu selain Aydan dan Lusi.
"Gue nggak nyangka kalau Lauren yang ngelakuin ini semua. Padahal gue udah baik banget dan dia adalah idola gue," kata Natasya di sela-sela tangisnya. Aydan jadi kasihan. Dia mengusap air mata Natasya dan memperbaiki rambut gadis itu yang acak-acakan.
"Lo yakin Lauren yang nyebarin?" tanya Aydan dengan nada tenang.
Natasya terdiam sebentar. Sejujurnya dia juga sedikit tidak percaya. "Kata Cassie sama Bunga gitu."
"Sebenarnya gue nggak berniat memihak siapa-siapa karena gue nggak tau siapa pelaku yang sebenarnya. Tapi, daripada Lauren yang baik sama lo, lo lebih percaya Cassie dan Bunga yang bahkan nggak pernah tulus?" Perkataan Aydan benar. Kenapa Natasya terlalu gegabah untuk percaya? Kemarin dia bahkan sudah berteriak dan mendorong Lusi ketika kondisi gadis itu sedang tak baik. Natasya jadi merasa bersalah.
"Tapi, siapapun pelakunya, gue akan selalu percaya dan mendukung lo," ucap Aydan sembari menepuk puncak kepala Natasya beberapa kali.
Diperlakukan seperti itu membuat pipi Natasya memerah. Dia menunduk untuk menyembunyikannya. "Nggak boleh gitu, loh. Harusnya lo objektif."
"Gue mana bisa objektif kalau udah berkaitan sama lo?"
Astaga, kata-kata Aydan benar-benar membuat hatinya berbunga. Dia senang karena di dunia yang seluas ini, dia bertemu laki-laki sebaik Aydan.
"Ngomong-ngomong Aydan, apa lo percaya dunia paralel?" tanya Natasya.
Aydan mengerutkan keningnya. "Hm, gue pernah denger, sih."
"Dunia paralel itu adalah kehidupan lain yang hampir sama dengan kehidupan kita. Contohnya, kita tinggal di bumi. Di tata surya yang seluas itu, pasti ada kehidupan lain selain kehidupan kita, kan? Gue sering memikirkan ini, sih," ucap Natasya yang asik menjelaskan. "Lo pernah denger teori konspiras-"
Ucapan Natasya terhenti karena ketika dia menoleh untuk menatap Aydan, pria itu malah tersenyum sambil memperhatikannya. Tentu Natasya jadi salah tingkah dan kesulitan melanjutkan perkataannya. Bagaimana mungkin dia lanjut bicara kalau ditatap seperti itu?
Tapi demi sikap profesional yang dia miliki, dengan sekuat tenaga Natasya melanjutkan ceritanya. "Gue sering denger ... soal teori konspirasi alam semesta. Akhirnya gue nggak lanjut baca sih karena bahasanya terlalu tinggi sampai gue mual."
Natasya membuka telapak tangannya ke depan. "Mungkin kalau gue melakukan ini, jauh di sana ... ada orang yang juga melakukan in-- Aydan lo ngapain?" Natasya terkejut kala Aydan meletakkan tangannya di atas tangan Natasya kemudian menggenggamnya erat.
"Oh, lo bukan minta digandeng? Gue kira lo ngode biar digandeng," kata Aydan tanpa beban lalu berniat melepas genggamannya.
Namun, di luar dugaannya, Natasya malah mempererat genggaman mereka dan meletakkannya di tengah. "Kayaknya nggak pa-pa sih siang-siang gini gandengan di lapangan. Kayak udah ngetrend nggak, sih?"
Ucapan Natasya spontan membuat Aydan tertawa. Natasya sendiri tak tau kenapa dia mengatakan hal konyol itu agar Aydan tetap menggandengnya. Dia memang sudah gila.
"Iya, sih. Kayaknya emang udah ngetrend. Kita nggak boleh ketinggalan jaman, dong," jawab Aydan agar Natasya tak terlalu malu dengan ucapannya.
Natasya terdiam, dia sudah cukup malu sekarang sehingga tak ingin berkata apa-apa lagi. Hingga beberapa menit kemudian, Natasya merasakan kepalanya berdenging dengan kuat. Ada sesuatu yang melintas di pikirannya sampai dia melepas gandengan tangan dengan Aydan untuk mengurut pelipisnya.
"Sya? Lo kenapa?" Aydan panik melihat Natasya yang mengerutkan keningnya dengan mata terpejam.
Natasya menggeleng, tanda dia juga tak tau apa yang terjadi.
"Sya! Ayo, kita ke UKS!" Aydan sudah panik. Dia berniat membawa Natasya ke UKS sekarang juga.
"Gue nggak pa-pa," kata Natasya yang tampaknya suara dengingan itu sudah menghilang. Dengan wajah tanpa ekspresi, dia menatap Aydan. "Dan ... kenapa gue ngerasa harusnya kita nggak di sini, ya?"
"Maksud lo?"
Natasya terlihat kebingungan. "Gue ngerasa, gue bukan Natasya dan harusnya nggak ada di sini."
"Sya, kayaknya lo sakit. Gue anter ke UKS, ya?"
Natasya masih tetap menolak. Dia menegakkan tubuhnya. "Gue mau sendiri dulu."
Sebenarnya Aydan masih cemas, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa jika Natasya tak ingin ditemani. Aydan tak suka memaksa.
"Kayaknya ... gue bukan Natasya." Seperti orang linglung, Natasya berjalan ke belakang sekolah dengan pandangan kosong. "Gue bukan Natasya ... gue Aurel."
Dan saat itulah Natasya berlari untuk menyelamatkan Lusi yang hampir ditusuk oleh Zodi. Kala itu yang ada di pikiran Natasya, dia hanya harus menyelamatkan Lauren untuk menebus kesalahannya.
***
Sesampainya di dekat Bizar, Lusi segera ingin menggapainya untuk naik ke atas. Tapi anehnya, saat Lusi hendak menyentuh tubuhnya, Bizar malah lenyap menjadi serpihan kertas yang terbakar. Hal itu membuat Lusi terkejut. Dia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari Bizar, tapi lautan ini sangat luas dan kosong.
"Lauren,"
"Makasih karena udah kasih gue kesempatan."
"Kesempatan dicintai sama lo."
Lusi panik kala tak melihat Bizar di mana-mana. Apa benar Bizar sudah hancur? Apa setelah ini Lusi takkan bisa melihatnya lagi? Dada Lusi sesak, sekarang ... dia kehilangan lagi. Dia kembali kehilangan orang terpenting di hidupnya.
"Lusi," panggil seseorang di depannya. Lusi membuka matanya dan melihat Lauren yang melayang di depannya.
"Apa itu sulit?" Lauren mengulurkan tangannya dan mengusap air mata Lusi. Padahal mereka sedang di dalam air, tapi Lauren bisa melihat letak air mata Lusi. "Bagaimana rasanya kehilangan?"
Lusi semakin terisak kala mendengarnya. "Kehilangan adalah perasaan ... di mana kamu lebih memilih mati daripada merasakannya."
"Jadi itu rasanya saat kamu kehilangan ayah, Natasya, dan Bizar. Tapi ... bukankah mereka hanya fiksi?" tanya Lauren lagi.
"Mereka nyata di hatiku, Lauren," jawab Lusi yang kemudian mengulurkan kedua tangannya. "Apa aku boleh memelukmu?"
Lauren tersenyum, dia berenang mendekat ke tubuh Lusi lalu memeluknya. "Ini pasti berat untukmu."
Lusi mengangguk dalam pelukan Lauren. Dia mengeluarkan semua tangisnya hingga kembali mendengar suara Lauren.
"Aku datang karena ini adalah akhir dari pertemuan kita," ucap Lauren, otomatis Lusi menguraikan pelukan mereka karena terkejut.
Kemudian Lauren mengusap puncak rambut Lusi. "Terima kasih sudah membantuku dengan memasuki dunia komik ini. Apa kamu mempelajari banyak hal di sana? Tentang betapa pentingnya seseorang dan rasa takut kehilangan. Aku harap setelah ini kamu akan hidup dengan normal dan punya tujuan. Ada banyak senyuman yang harus kamu wujudkan. Senyuman ayahku, Natasya, dan Bizar. Mereka semua tidak mati sia-sia. Mereka mati untukmu."
Untuk terakhir kalinya, Lauren memberikan Lusi pelukan perpisahan. Rasanya seperti berpisah dengan diri sendiri, Lusi merasa tak rela untuk berpisah dengan Lauren yang hanya ditemuinya tiga kali.
Ketika Lusi membuka mata, dia melihat dirinya yang sudah berada di rumah sakit. Sepertinya ini adalah tempatnya koma selama berada di dunia komik. Sontak Lusi mengeluarkan semua tangisnya karena perpisahan yang menyesakkan dengan semua orang.
Apa yang harus Lusi lakukan dengan hidupnya sekarang?
Saat pintu terbuka, Feronika menjatuhkan pentol bakarnya karena terkejut melihat Lusi yang sudah terduduk sambil melepasi alat bantu yang terpasang pada tubuhnya.
"Kaluzi Anjarta?! Lo ... lo ... hidup!" Feronika terkejut melihat Lusi yang segar bugar. Sedangkan Lusi malah tersenyum.
"Hai, Fer. Gimana kabar lo?"
Tanpa menjawab pertanyaan Lusi, Feronika langsung berlari keluar ruangan untuk mencari dokter spesialis apa pun agar segera memeriksa kondisi Lusi.
Setelah Feronika kembali bersama dokter, tubuh Lusi mulai diperiksa. Walau belum bisa bergerak leluasa karena terlalu lama tidak sadarkan diri, dokter telah menyimpulkan bahwa keadaan Lusi kian membaik. Mungkin saja penyakit yang menyerangnya selama bertahun-tahun berhasil sembuh berkat keajaiban.
"Lusi, kamu bisa mendengar suara saya?" tanya dokter.
Lusi menatap sang dokter lalu mengangguk.
Feronika senang bukan main melihat respon Lusi. "Lo inget gue kan, Lus?"
Lusi menoleh, dia juga mengangguk sebagai balasan Feronika.
"Kalau bisa pulih secepat ini, Lusi bisa segera keluar dari rumah sakit. Mungkin mulai minggu depan bisa rawat jalan," kata dokter. Tentu Feronika sangat berterima kasih, kemudian mengikuti langkah dokter untuk mendengarkan beberapa hal mengenai kondisi Lusi.
Lusi menatap kosong pintu ruangannya yang terbuka. Bagaimana ini? Baru sehari Lusi sudah merindukan Bizar.
"Lo aman, Lus?" tanya Feronika.
Lusi tersenyum tipis, setidaknya di dunia ini dia masih punya Feronika. "Lo sendiri aman? Gue pasti banyak ngerepotin lo."
"Itu nggak bener! Gue selalu seneng nemenin lo di sini setelah pulang kerja," ucap Feronika. Lusi jadi baru ingat tentang usianya yang sudah 25 tahun. Kini dia harus mencari pekerjaan, dia tak bisa bergantung pada Luki. Ngomong-ngomong sekarang Luki di mana, ya?
"Lusi, untuk sementara lo tinggal sama gue, ya? Setidaknya sampai keadaan lo membaik," ucap Feronika sambil menggenggam Lusi.
Mendengar itu, Lusi mengangguk dua kali.
Baiklah, Lusi, sekarang saatnya melanjutkan hidup seperti sebelumnya.
"Emm ... Lus, ada yang harus gue katakan sama lo. Walaupun ini dilarang sama Luki, tapi--"
"LUKI?" Lusi kaget mendengar Feronika yang menyebut nama Luki. "Lo kenal dia? Kenapa lo nggak pernah bilang?!"
Feronika juga ikut terkejut dengan teriakan Lusi sehingga dia terdiam untuk beberapa menit sampai jantungnya kembali normal. "I--iya, gue minta maaf karena nggak kasih tau lo. Soalnya--"
"Gue nggak ngerti kenapa lo menyembunyikan hal sebesar ini dari gue? Tolong jelasin semuanya tanpa ada kebohongan sedikit pun!"
Feronika menghela napas berat kala melihat tingkah Lusi yang cukup menyebalkan. "Bisa dengerin gue dulu biar nggak menimbulkan salah paham?"
"Oke-oke, sorry."
"Jadi gue kenal sama Luki lumayan lama, bahkan sejak kecil karena suatu hal. Sorry kalau gue nggak pernah cerita," ucap Feronika.
"Iya, gue juga minta maaf udah sempat marah tadi. Padahal gue aja nggak inget kalau punya kakak," jawab Lusi yang menyadari kesalahannya.
"Tapi ... lo memang berhak marah sih sama gue, karena gue udah melakukan suatu kesalahan yang besar ke lo." Feronika menarik napasnya dalam-dalam sebelum menceritakan semuanya dengan jujur kepada Lusi.
"Jadi ... emm, gue adalah orang yang ... udah merekomendasikan lo ke pencipta dunia komik agar bisa memasukkan jiwa lo ke sana. Gue tau! Itu adalah keputusan terbodoh yang gue lakukan karena gue terlalu sedih melihat lo yang selalu nggak punya tujuan hidup dan sibuk sama komik di rumah sakit. Gue pengin lihat lo hidup normal kayak yang lain. Dan karena pencipta dunia komik itu adalah kakek gue sendiri ... ya ... segalanya jadi lebih mudah," ungkap Feronika, berusaha menjelaskan satu per satu kesalahannya.
Lusi mengernyit, dia masih berusaha memahami cerita yang disampaikan Feronika.
"Gue tau ini adalah hal yang bodoh dan nggak masuk akal tapi dunia komik udah ada cukup lama. Kakeknya kakek gue udah bereksperimen cukup lama untuk menciptakan dunia paralel sebagai tempat pengalihan dari dunia nyata. Sehingga ... ilustrator-ilustrator keturunan keluarga gue punya kemampuan yang hebat dalam membuat sebuah cerita," ucap Feronika panjang lebar.
"Gue tau kalau lo bakal marah sama gue dan gue tau lo berhak untuk itu. Lo udah terlalu tersiksa di sana, bukannya bahagia. Jadi, walaupun Luki udah memperingati gue, gue tetap mau cerita semuanya ke lo karena gue nggak mungkin menyembunyikan hal sebesar ini dari lo seumur hidup gue. Lo adalah orang terdekat gue, udah kayak keluarga. Jadi--"
Feronika tak lagi melanjutkan ucapannya kala merasakan pelukan tiba-tiba dari Lusi. "Gue nggak tau harus marah atau seneng denger cerita lo."
"Harusnya marah, sih ... kalau gue jadi lo," kata Feronika dalam pelukan Lusi.
"Awalnya gue kaget, tapi setelah gue pikir-pikir lagi, karena lo ... gue jadi bisa ketemu orang-orang yang hebat. Khususnya, gue jadi bisa ketemu Bizar." Lusi menguraikan pelukan mereka lalu menunduk. "Walau mereka semua udah nggak ada."
"Emm, sepertinya lo juga harus tau kalau lo nggak perlu sesedih itu karena semuanya hanya sistem." Ucapan Feronika kembali membuatnya pusing.
"Jadi, emm ... Luki yang udah melakukan itu semua. Dia panik karena lo nggak pernah mau diajak kerja sama untuk balik ke dunia. Akhirnya, dia mengacaukan portal dimensi dan memanipulasi semua tokoh. Dia yang bikin ayah Lauren, Natasya, dan Bizar mati. Dia mendatangi orang-orang yang punya masalah dengan keluarga lo, lalu memanipulasi perasaan dari korban-korban Lauren, dan terakhir membuat Bizar menusuk dirinya sendiri."
Tatapan Lusi berubah tajam ketika mendengarnya. "Kayaknya gue memang harus marah."
Feronika segera menggenggam kedua tangan Lusi. "Ta--tapi, ada satu rahasia besar lagi yang Luki bahkan nggak tau!"
"Apa?"
"Gue bisa bantu lo cari Bizar," ucap Feronika dengan senyuman lebar.
"Hah? Jangan bercanda! Bizar kan fiksi!"
"Itu dia poinnya!" seru Feronika. "Gimana kalau gue bilang, di dunia komik itu nggak ada satu pun tokoh fiksi?"
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top