Dua Puluh Enam
Jadi ... lo bukan Lauren? Lo siapa?
-Bizar
Bizar menatap kosong jendela cafe, tempat dia menunggu kedatangan Luki yang sudah dia hubungi beberapa waktu lalu. Setelah yang ditunggu tiba, tatapan tanpa ekspresi muncul dari wajah Bizar. Luki yang melihatnya jadi hampir terkejut.
Dari awal aura Bizar memang diciptakan mencekam, pikir Luki yang mengelus dadanya.
Setelah keduanya duduk berhadapan, Bizar masih bingung harus bertanya mulai dari mana. Semua pembicaraan yang pria itu lakukan dengan Lauren sungguh tak masuk akal. Beberapa hari ini Bizar terus memikirkannya baik-baik, tapi tak ada yang bisa dia simpulkan sebagai jawaban.
"Lauren adalah orang yang penting di hidup gue," ucap Bizar.
Luki menahan tawa mendengarnya. Bizar hanya figuran yang tak sengaja lewat di hidup Lusi, itu yang Luki pikirkan. Memang sepenting apa? Laki-laki itu tak tau apa-apa. Lukilah yang selama ini menjaga Lusi dengan segala usaha yang dia kerahkan.
"Terus?" tanya Luki, seolah ucapan Bizar barusan hanyalah angin lalu. Sepertinya ini adalah hal yang umum bagi seorang kakak laki-laki yang berusaha menjaga adik perempuannya.
"Gue berhak tau apa yang kalian bicarakan malam itu!" kata Bizar dengan nada penuh penekanan.
"Lagipula lo nggak akan paham. Lebih baik untuk lo tidak mengetahuinya." Luki menyeruput kopi susu yang dia pesan kala sampai di cafe itu.
"Leoner, berhenti main-main. Gue serius dengan ucapan gue," ucap Bizar.
"Lo dan Lauren masih baru-baru ini, kan? Hubungan kalian nggak lama. Bahkan kalau berakhir sekarang juga nggak mengubah apa-apa."
"NGGAK!" Bizar mengepalkan kedua tangannya. Dia tau, dia punya kesalahan besar pada Lauren di awal gadis itu mendekatinya. Tapi sekarang, hanya Lauren yang Bizar pikirkan. Gadis itu menjadi aspek terpenting yang ingin Bizar jaga dalam hidupnya. "Gue menyayangi dia lebih besar dari yang lo pikirkan."
"Bizar, gue udah denger semuanya. Semua perlakuan lo ke adik gue. Bahkan saat adik gue dateng ke rumah lo untuk menemui Zero. Dia terlalu banyak membawa rasa sakit saat bersama dengan lo. Lebih baik lepaskan dia," kata Luki sambil bersedekap dada.
"Apa yang harus gue lakukan biar lo percaya tentang perasaan gue ke Lauren?"
Luki terkekeh, dia melempar sebuah pisau lipat ke meja yang ada di antara mereka. "Apa lo rela ... melakukan apa yang Zero lakukan demi adik gue?"
Mencongkel mata?
Luki tau Bizar tak akan melakukan hal senekat kakaknya. Dia iseng melihat seberapa jauh Bizar bertanggung jawab atas ucapannya. Kalau Lusi memang sepenting itu bagi Bizar, bukankah dia akan rela melakukan segalanya?
Awalnya Bizar terkejut dengan ucapan Luki. Tapi kalau hal ini bisa meyakinkan pria itu, Bizar tak akan ragu untuk melakukannya. Dia mengambil pisau itu dan hendak menancapkannya ke mata kanannya sendiri, sebelum Luki langsung menendang tangan Bizar hingga pisau itu jatuh ke lantai.
"Lo gila!"
"Apa sekarang lo percaya?" tanya Bizar dengan tatapan tak terbantahkan.
Luki tak percaya jika seorang tokoh komik bisa bertindak sejauh ini.
"Lo bener-bener mirip Lusi, nekat melakukan apa saja dengan egois," gumam Luki yang sudah pusing mengurus dua orang egois di hidupnya.
"Ketika lo tau soal hal ini, itu nggak akan berakhir baik buat lo. Kalau lo sayang Lauren, dampingi dia. Lo nggak perlu tau apa-apa. Cukup jangan sakiti dia," kata Luki, membuat Bizar semakin kesal. Dia pun beranjak dari kursinya dan mendekati posisi Luki.
Luki mendongak melihat Bizar yang berdiri di depannya. Apa yang akan pria ini lakukan? Setelah itu Bizar malah berlutut di bawah Luki. Membuat kepala Luki semakin ingin pecah.
"Gue mohon, gue ingin menjaga Lauren. Ijinin gue untuk ambil bagian dalam melindungi dia."
"Masalahnya semua ini terjadi gara-gara lo!" bentak Luki, membuat Bizar semakin terkejut dibuatnya. "Gue minta lo untuk duduk lagi."
Bizar menggeleng. "Nggak, sampai lo cerita soal apa yang--"
"Oke, fine! Gue cerita! Tapi setelah itu lo jangan nyesel karena tau semuanya." Luki sudah tak peduli jika nanti efek dari Bizar mengetahui segalanya bisa membuat karakter pria itu hancur.
Bizar akhirnya menurut dan kembali duduk di kursinya.
"Gue nggak tau harus mulai dari mana. Yang jelas, ini nggak jauh berbeda seperti yang dikatakan Lauren sebelum dia bunuh diri," ucap Luki.
Bizar menautkan kedua alisnya. "Omong kosong dia soal dunia komik?"
Luki mengangguk. "Lauren itu ... yang lo kenal sebagai orang yang berubah setelah koma, bukanlah Lauren lama yang jahat. Mereka orang yang berbeda."
Bizar diam, masih mendengarkan baik-baik perkataan Luki yang terdengar ngawur di telinganya.
"Namanya Lusi, perempuan yang udah memasuki tubuh Lauren dan membuat lo jatuh cinta."
Bizar menatap lekat wajah Luki yang serius menceritakannya. "Gue tau kalau lo nggak mau cerita, tapi nggak kayak gini. Nggak dengan ngomong hal ngawur. Apa menurut lo, gue percaya?"
Luki tak kalah sengit menatap Bizar. "Dan menurut lo, gue ngawur di saat-saat begini?"
"Oke, anggap aja cerita lo nyata. Terus, siapa Lusi sebenarnya? Kenapa dia merasuki Lauren dan mendatangi gue seolah udah kenal lama?"
"Dia dari dunia nyata," ucap Luki.
Bizar tak kuasa tertawa mendengarnya, cerita Luki terus berputar hingga semakin tak masuk akal.
"Kalau dia dari dunia nyata, terus sekarang kita lagi di dunia apa?"
Wajah Luki masih serius, membuat tawa Bizar sirna dengan cepat. "Dunia komik dan lo adalah tokoh pendukung yang ditolak tokoh utama wanita karena sudah mencintai tokoh utama pria."
Tunggu, Bizar pernah mendengar cerita ini dari Lauren.
"Lauren pernah menceritakan ini juga ke gue. Apa kalian bersekongkol mengarang cerita?"
Luki melempar sebuah komik berjudul Natasya's Love ke atas meja. "Baca ini baik-baik dan pikirkan, apakah semua omongan gue hanya omong kosong atau benar-benar nyata? Lusi hanyalah pembaca yang tersesat sampai di sini dan dia harus segera kembali ke dunianya. Selama ini dia nggak mau kembali karena terlalu berat ninggalin lo. Kalau lo beneran sayang sama dia, bujuk dia untuk kembali ke dunianya. Gue minta tolong sama lo."
***
Lusi meletakkan sebuah bunga mawar putih di atas makam Natasya. Air matanya sudah kering. Kacamata yang dia kenakan berhasil menutup benjolan di kelopak matanya yang akan menunjukkan seberapa keras gadis itu menangis.
Kala berbalik, Lusi melihat Aydan yang masih tak percaya bahwa Natasya telah pergi. Harusnya dia melindungi gadis itu. Ke mana dia sampai tak tau perempuan yang selalu ingin dia jaga terluka? Sekarang Aydan harus apa? Dia bahkan belum sempat menyatakan pada Natasya kalau gadis itu penting di hidup Aydan.
"Aydan, maaf," ucap Lusi. Aydan sama sekali tak meresponnya. Pria itu melewati tubuh Lusi begitu saja untuk mendekati makam Natasya. Dia memeluk nisannya dan bersandar lemas di sana.
Melihat itu, Lusi berjalan pergi. Dia tau kalau kehadirannya takkan termaafkan dengan mudah. Sebab dialah penyebab Natasya mati.
Kala berjalan keluar pemakaman, Lusi melihat Bizar yang menunggunya. Dia terkejut, tapi tetap melanjutkan langkahnya seolah tak pernah terjadi apa-apa. Bizar pun membukakan pintu mobil untuk Lusi, lalu berputar menuju kursi kemudi.
"Gue ...." Lusi melihat raut Bizar yang serius. Dia seolah tak ingin diajak bicara sehingga Lusi kembali menutup mulutnya.
Sampai di sebuah bukit, Bizar menghentikan mobilnya dan keluar lebih dulu. Lusi menghela napas lalu ikut keluar. Dia memperhatikan Bizar yang berdiri sambil menatap perumahan yang berada di bawah, jaraknya begitu jauh dari mereka.
"Jadi ... lo bukan Lauren?" Bizar menoleh, matanya menatap lurus Lusi yang diam di sampingnya. "Lo siapa?"
Lusi tau, suatu saat hal ini pasti akan terjadi. Suatu saat Bizar akan tau tentang dirinya. Walau dia tidak tau jika akan secepat ini.
"Semua ini ...." Bizar menutup wajahnya, dia tak mengerti dengan semua yang terjadi. Bagaimana mungkin Lauren bukanlah Lauren? Bizar tak tau harus apa. "... nggak masuk akal. Gue nggak ngerti kenapa gue adalah tokoh pendukung dan lo figuran."
Lusi mengerti bahwa hal ini pasti sulit diterima oleh Bizar yang sudah lama menganggap dunia ini hidupnya. Lantas dia mengulurkan tangan, hendak mengelus kepala Bizar yang langsung ditepis oleh pria itu. "Siapa yang gue cintai? Lauren atau Lusi?"
Lusi melepas kacamatanya. Air mata yang dia tahan sudah berjatuhan entah sejak kapan. Kini dia tatap lekat Bizar yang berdiri di depannya.
"Gue ... nggak boleh mencintai lo. Gue ... nggak bisa berada di sisi lo selamanya. Kenyataan itu cukup menyakitkan hati gue." Lusi menatap ke arah perumahan di bawahnya. "Gue pikir gue cuma pengin ketemu lo dan tokoh-tokoh lainnya, sampai gue serakah dan jatuh cinta sama lo. Gue menginginkan lo untuk ada di hidup gue."
"Awalnya, gue marah. Gue nggak bisa terima kalau selama ini ternyata kehidupan gue cuma sebuah fiksi yang menghibur manusia, padahal gue menjalankan hidup yang berat di sini. Semua cerita hidup gue dibaca orang lain dan dinilai sesuka hati mereka tanpa merasakan apa yang gue alami sebenarnya." Bola mata Bizar berkaca-kaca kala mengatakannya. "Tapi gue teringat perlakuan lo ke gue selama ini. Lo memberikan gue banyak kasih sayang dan itu semua membuat gue sadar kalau lo adalah orang penting yang harus gue jaga."
Lusi hanya diam, dia ingin mendengarkan semua perkataan Bizar.
"Untuk itu, lo harus kembali."
Lusi terkejut, dia tak percaya bahwa Bizar akan mengatakan itu. Dia pikir Bizar akan sepemikiran dengannya untuk selalu bersama.
"Nggak! Gue nggak akan ke mana-mana! Gue nggak akan ninggalin lo!" Lusi mendekati tubuh Bizar dan menggenggam lengannya. Dia melihat air mata yang menetes di pipi pria itu. "Gue mohon, jangan begini. Jangan usir gue. Jangan lepasin tangan gue."
Tangis Lusi sudah tak bisa dibendung. Dia tak ingin Bizar melepasnya seperti ini.
"Gue harus mengakhiri cerita ini. Gue harus menyelamatkan hidup lo, gue akan lakukan apa pun jika memang itu bisa menyelamatkan lo!"
Lusi menggeleng. "Bagaimana gue bisa hidup tanpa lo?!"
"Terus lo pikir gue akan diam dan menonton seperti tuan putri? Ketika gue bisa menyelamatkan lo?! Ketika gue bisa melindungi jiwa lo agar tidak hancur?!"
"Lo nggak ngerti ... nggak akan ngerti! Gue aja nggak tau apakah masih ingin hidup di dunia nyata atau enggak. Hidup nyata gue nggak lebih sengsara daripada di sini. Terlebih lagi, di sana nggak ada lo," ucap Lusi dengan isak tangis yang makin keras. Dia mengambil tangan Bizar dan menggenggamnya. "Lo pernah janji sama gue, kan? Kalau dunia ini berakhir atau hancur, lo akan ikut gue dan nggak melepas tangan gue."
"Sayangnya, cuma ada dua cara untuk mengakhiri dunia ini. Hancur bersama atau gue yang hancur untuk lo," ucap Bizar yang wajahnya sudah tampak memucat. Lusi tak mengerti mengapa tangan Bizar terasa semakin dingin.
"Bi--Bizar?"
Tangan Bizar terulur untuk mengusap air mata Lusi. Hal itu membuat Lusi menemukan perut Bizar yang sudah berlinangan darah. Kenapa dia tak melihat itu sejak awal?
"Gue mana bisa melihat lo hancur, Lusi?" Setelah mengatakan itu, tubuh Bizar ambruk ke tubuhnya. Lusi pun ikut jatuh, dia tak percaya bahwa semuanya akan menjadi begini.
"Bi--Bizar?! Enggak!" Lusi membalik tubuh Bizar, kemudian menahan darah yang keluar dari perutnya yang tertancap pisau lipat. "Nggak, nggak boleh! Lo nggak boleh kayak gini!"
"Bizaaaar!"
Tubuh keduanya pun mulai menghilang. Mereka berdua jatuh ke dalam air dan berusaha untuk berenang naik ke permukaan. Namun karena lukanya, Bizar mulai tak sadarkan diri. Tubuhnya melayang di dalam air. Melihat itu, Lusi segera bergerak menuju ke arahnya.
Jangan, Bizar. Jangan tinggalkan gue.
Mereka tak ingat bahwa keduanya pernah mengalami situasi serupa. Saat Bizar terseret ombak dan tenggelam sebagai Axel.
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top