Dua Puluh Empat

I'm alone now. Just like in the beginning ....

-Lusi

Runtuh.

Lusi tak lagi bisa membayangkan apa pun. Kepalanya berdenging dengan keras hingga seluruh tubuhnya ingin meledak saat ini juga. Darah dari kepala ayah Lauren yang terus bercucuran Lusi tahan dengan telapak tangannya. Pria yang memberikannya kasih sayang begitu besar tak lagi bernapas seperti biasanya, dia tak tau harus apa sekarang.

Semua orang yang menjadi saksi sekaligus pelaku dari kejadian ini sudah pergi, entah sejak kapan.

Sekarang apa? Gue harus apa?

Lusi tak tau. Dia hanya mampu mendekap erat kepala ayah Lauren, berharap hal itu dapat membangunkannya lagi.

"Ayah bohong. Ayah bilang mau selalu sayang aku, tapi kenapa ninggalin aku?" Lusi mengusap pipi ayah Lauren yang berlumuran darah. "Sekarang siapa lagi yang nanyain hari-hariku, Yah? Siapa lagi yang jadi tempatku cerita tentang hal-hal yang kusuka dan kubenci?"

Lusi lelah. Dia menenggelamkan wajahnya pada dada ayah Lauren. Sepertinya kini dia tau mengapa Juliet tak bisa melihat Romeo meninggal karenanya dan berakhir menusuk dirinya sendiri untuk mati bersama. Jadi seperti ini rasanya?

"Lauren!"

Lusi tak menghiraukan. Dia masih dalam posisi yang sama. Hingga teriakan itu makin lama makin terdengar jelas.

"LAUREN!"

Lusi mendongak, dia melihat Leoner dengan napas ngos-ngosan berdiri di depannya.

"Lo nggak pa-pa?" tanya Leoner setelah pernapasannya kembali lancar.

Ditanya begitu membuat hati Lusi sakit lagi. Dia menunduk, menatap ke arah jasad ayah mereka.

"Ayah tidur dan nggak bangun lagi!" pekik Lusi yang kembali menangis histeris. Leoner juga terkejut kala melihat tubuh ayah yang menjaganya selama bertahun-tahun ini sudah tak bernapas.

"Apa ... yang terjadi?" tanya Leoner.

Lusi menggeleng, dia tak ingin mengingat atau menjelaskannya.

Mengerti akan hal itu, Leoner memeluk Lusi yang terisak tanpa henti. Dia elus puncak kepala adiknya. Berharap kesedihannya akan sedikit berkurang.

***

"Leoner ... lo tau soal ini, kan?" tanya Lusi dengan wajah pucat. Keduanya sedang melangsungkan pemakaman Pamungkas di rumah mereka.

"Soal apa?"

"Soal ayah yang tau kalau selama ini gue bukan anaknya. Sejak gue masuk ke tubuh ini, ayah sadar kalau gue bukan Lauren, tapi Lusi." Tatapan Lusi yang serius menunjukkan bahwa dia tak sedang ingin menerima kebohongan atau pengalihan lagi. Leoner benar-benar harus menjawabnya saat ini juga.

"Komik ini nggak seharusnya ada di dunia ini. Bayangin aja kalau tokoh utama tau, apa yang akan terjadi? Reaksi Lauren aja sampai berusaha bunuh diri berkali-kali."

"Tokoh utama? Apa lo percaya kalau tokoh utama itu ada?" Ucapan Leoner malah membuat Lauren pusing.

Apakah ini semua berhubungan dengan apa yang Leoner katakan hari itu?

"Iya, ayah tau," ucap Leoner.

Lusi ingin bertanya lagi, tapi dia rasa ini bukan saat yang tepat. Yang penting sekarang Lusi tau kalau kasih sayang ayahnya selama ini memang karena dirinya adalah Lusi, bukan karena mengira bahwa ia Lauren asli.

"Gue mau ke kamar," ucap Lusi dengan pandangan kosong. Leoner pun hanya memperhatikannya tanpa berucap apa-apa. Dia tau perasaan kehilangan itu, sehingga dia bisa paham bagaimana perasaan adiknya.

Kala pintu kamar Lusi tertutup, dia ambruk di depan pintu. Lututnya dia peluk dan air mata kembali jatuh.

Di bawah kegelapan kamarnya, Lusi berpikir bahwa dia harus segera mengakhiri semuanya. Sebelum kehilangan yang tak dia inginkan terulang.

Enam jam setelah diam untuk menenangkan tangisnya yang tak kunjung berhenti, Lusi mendengar bunyi ketukan dari belakangnya.

"Permisi, Nona. Ada teman Nona yang datang. Dia bilang ingin bertemu Nona," ucap Devi.

Lusi mendongak sembari mengusap air matanya. "Siapa?"

"Nona Natasya."

Entah mengapa sebagian beban yang ada di bahu Lusi seperti melayang. Dia otomatis menegakkan tubuhnya lalu membuka pintu kamarnya. "Di mana dia sekarang?"

Lusi berlari keluar rumah kala mendengar bahwa Natasya menunggunya di halaman. Kenapa gadis itu tidak masuk saja, ya? Padahal bukan pertama kali Natasya mampir dan Lusi ajak ke kamarnya.

"Nata ... sya?" Ucapan Lusi terhenti ketika melihat Natasya yang menangis sambil menatap tajam dirinya.

Ada apa ini? Apakah Natasya menangis untuknya?

"Gue nggak pa-pa, lo nggak perlu nangis. Gue berterima kasih karena lo mau dateng nemenin gue." Lusi mendekat dan menggenggam tangan Natasya. "Malam ini mau nginep, nggak? Gue merasa nggak akan bisa tid--"

"Lo iblis."

Jantung Lusi hampir berhenti berdetak. Dia terkejut dengan ucapan Natasya padanya. Apa gadis itu tak salah bicara?

"Lo ... kenapa, Sya? Apa ada masalah?"

"Kalau bukan iblis, maka lo manusia terjahat yang pernah gue temui," ucap Natasya. Dari sorot matanya yang berapi-api, dia dapat melihat seberapa besar amarah Natasya padanya. Tapi karena apa?

Natasya menepis tangan Lusi darinya. "Kenapa lo tega sama gue? Padahal gue selalu suka sama lo."

Astaga, apa lagi yang sedang terjadi? Kenapa Lusi tak mengerti sama sekali? Padahal dia sedang membutuhkan sandaran ke Natasya, kenapa jadi seperti ini?

Natasya mengusap air matanya. "Kenapa sih, Ren? Apa salah gue? Kenapa lo harus nyebarin soal bokap gue? Lo boleh hina gue, tapi jangan tentang ayah!"

"Apa? Nyebarin apa?" tanya Lusi yang masih tak mengerti.

"Lo nyebarin ke semua orang tentang bokap gue yang suka mabuk-mabukan. Sekarang semua orang tau ... hiks!" Natasya melirik ke arah orang-orang yang datang untuk berbelasungkawa. "Lo kehilangan ayah lo. Seharusnya lo tau gimana perasaan gue! Kalau sampai ayah gue tau berita ini, dia pasti ninggalin gue lagi. Kalau terjadi, gue bakal tinggal sama siapa lagi, Ren?! Tolong lo mikir!"

Lusi diam, dia sudah tak punya tenaga untuk berkata apa-apa. Natasya sudah salah paham, tak akan ada lagi yang membuatnya mempercayai Lusi.

Sebelum pergi, Natasya sempat mendorong bahu Lusi sampai gadis itu jatuh terduduk di atas tanah. "Lo nggak pantas hidup!"

Lusi tau. Dia sangat paham soal itu. Kala melihat Natasya berlalu pergi dari rumahnya, Lusi hanya mampu menangis lagi lalu berjalan kembali ke rumah seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Satu hari berlalu dan Lusi masih tak ingin keluar dari kamarnya. Siapapun yang datang ke kamar pasti akan dia bentak dengan tatapan tajam. Itu sebabnya para pelayan tak berani membawakan gadis itu makanan.

Ketika mengetahui kabar kematian ayah Lauren, Bizar sedang dalam posisi menghadapi pertandingan final dengan SMA lain. Dia frustasi karena belum bisa hadir menemani Lusi. Namun, usai bis sekolah berhenti saat mereka pulang membawa kemenangan, Bizar tak ikut ajakan makan malam para guru. Dia langsung berlari pergi dari wilayah sekolah menuju kediaman Zawendra.

Sepanjang perjalanan, Bizar berusaha menelepon nomor Lusi, tapi tak ada jawaban. Pesannya juga tidak dibaca atau dibalas. Hal itu membuat Bizar semakin khawatir.

Leoner adalah orang pertama yang Bizar lihat saat sampai di rumah Lauren. Dia tampak ngos-ngosan karena berlari jauh. Melihat itu Leoner langsung mendekat dengan wajah pucat. "Dia ada di kamarnya. Gue minta tolong, bujuk dia untuk makan. Keadaannya semakin buruk setelah ayah dikubur."

Bizar mengangguk cepat dan segera menaiki anak tangga. Memang ini pertama kalinya dia mendatangi rumah ini. Kala melihat pengawal yang berdiri di depan kamar, Bizar jadi terkejut karena berpikir mereka adalah patung.

"Permisi, Pak," kata Bizar.

Tok ... tok!

"Ren? Ini gue, Bizar. Sorry karena baru dateng." Tak ada respon dari dalam. Bizar jadi panik kala mengingat Lusi belum makan. Akhirnya tanpa persetujuan Lusi, Bizar langsung masuk. Dia melihat kamar Lusi gelap gulita sedangkan gadis itu duduk bersila sambil menatap ke arah bulan paruh lewat pintu kaca balkon.

"Lauren?" Bizar mendudukkan diri di sebelah Lusi. Dia melihat penampilan gadis itu acak-acakan. Wajahnya pucat, pandangannya ke arah bulan juga kosong.

"Dia ... pertama," gumam Lusi.

Bizar tak mengerti. Dia pun hanya diam mendengarkan.

"Dia kehilangan pertama gue."

Lusi melirik Bizar sekilas. "Dia pasti lagi ada di sana, kan? Dia pasti di tempat yang indah, kan?"

Hati Bizar sakit melihat Lusi yang rapuh begini. Dia pun menangkup kedua pipi Lusi agar menatapnya, tapi gadis itu malah tetap menatap ke bawah.

"Lauren, sadar!"

Lusi tersenyum. Sadar dari apa? Inilah kenyataannya.

"Gue baik-baik aja." Lusi melepas tangan Bizar yang ada di pipinya. Hal itu membuat mata Bizar berkaca. Dia tak menyangka akan melihat Lauren dalam kondisi seperti ini.

"Baik-baik dari apa?" Bizar menggenggam kedua bahu Lusi sampai menghadapnya. "Lo nggak baik-baik aja!"

"Lo lupa perkataan lo sendiri, Ren? Lo bilang, nggak pa-pa bilang nggak baik-baik aja! Lo bilang, nggak pa-pa nangis! Lo bilang, nggak pa-pa buat mengandalkan orang lain dan sesekali nunjukin kerapuhan diri sendiri! Manfaatin gue, tunangan lo, nggak pa-pa. Jangan berada di dalam kegelapan ini sendirian!" Setelah mengatakan itu, Bizar membawa Lusi ke dalam dekapannya.

Entah mengapa, mendengar itu membuat sedikit rasa lelah dan beban di hatinya menguap. Dalam dekapan Bizar, Lusi merasa tak sendiri dan masih punya harapan. Lantas dirinya meremas pakaian Bizar dan kembali terisak. Kali ini Lusi mengeluarkan semua sisa tangisnya, berharap ini akan menjadi tangis yang terakhir.

***

"Gue nggak akan maafin lo!" Zodi berteriak dengan amarah yang berapi. Dia berlari ke arah Lusi dengan pisau di tangannya. Sebelum hal yang tak diinginkan terjadi, Natasya berhasil mencegahnya dengan memeluk tubuh Lusi.

Lusi sangat terkejut. Dia lihat Natasya yang menatap ke arah perutnya karena pisau yang Zodi tusukkan menembus sampai bagian perutnya.

"NATASYA!" teriak Lusi kala gadis itu tersenyum sambil memegang perutnya lalu tumbang perlahan sampai ke tanah.

Ternyata Lusi salah. Kematian ayahnya bukanlah tangis terakhir. Malahan merupakan permulaan dari tangis-tangis lain yang menanti di sepanjang takdirnya.



-----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top