Dua Puluh Dua

So, whenever you ask me again how i feel, please remember my answer is you.

-Lusi

Lusi terbangun di suatu tempat yang gelap. Dia tak tau ini di mana, tapi tempatnya sama dengan saat Lusi pertama kali memejamkan mata karena serangan jantung waktu itu, sebelum Lusi tenggelam di dalam air dan didatangi Lauren. Mengapa dia ada di sini?

"Halo?" seru Lusi.

Dia merasakan sensasi angin semilir dari balik tubuhnya. Kala berbalik dan melihat sebuah terowongan panjang, Lusi pun hendak mengikuti cahayanya.

Hingga dia mulai sedikit membuka mata. Cahaya yang terang ini bukan lampu kamarnya. Bau obat-obatan dan alat-alat rumah sakit yang menempel di tubuhnya persis kala dia masih di dunia nyata.

Di mana dia sekarang?

Walau pandangannya masih belum jelas, kepala Lusi menoleh ke samping. Dia melihat Feronika yang sedang melakukan sesuatu pada tabloidnya. Kenapa ada Feronika di sini? Apa yang Feronika lakukan di dunia komik?

Ah, atau dia yang sudah kembali ke dunia nyata? Apa-apaan ini?

Nggak! Jangan! batin Lusi.

Tampaknya Feronika menyadari pergerakan Lusi. Gadis itu mendekatkan wajahnya untuk melihat jelas apakah benar kelopak mata Lusi mulai terbuka.

"Lu--Lusi? Lo udah sadar?" Feronika melambaikan tangannya beberapa kali.

Air mata Lusi sudah berkumpul di pelupuk. Dia melihat Feronika berlari keluar untuk memanggil dokter, sedangkan Lusi malah menangis.

Apa dia sudah kembali? Tapi, kenapa dia sedih sudah kembali? Harusnya dia senang, kan?

"Lauren!" Tubuh Lusi bergetar, dia baru sadar kalau sedang berada di dalam air. Dengan cepat dia langsung bergerak ke atas permukaan untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.

"Gila lo! Gue kira lo tenggelam," ucap Natasya yang masih duduk di pinggir kolam dengan air mata yang berjatuhan.

Oh iya, Natasya kan cengeng. Gue lupa, pikir Lusi yang sempat bingung mengapa Natasya menangis.

"Kalau tau gue tenggelam, kenapa lo nggak nyebur ke sini?" tanya Lusi dengan senyum lebar, walau sebenarnya hidungnya masih sakit karena terlalu banyak kemasukan air.

"Huwaaaaa! Gue kan nggak bisa renang. Nanti yang ada kita malah tenggelam bareng!" kata Natasya sambil mengusap air matanya.

Melihat itu, Lusi pun segera mendekat dan berdiri di dekat kaki Natasya. Dia menepuk-nepuk lengan Natasya yang masih terisak karena dirinya. "Cup-cup, maafin gue, ya? Maaf udah bikin lo khawatir begini."

Sebenarnya apa yang terjadi tadi? Apa gue sempet kembali ke dunia nyata dan melihat Feronika? Astaga, jangan sampai gue tiba-tiba balik dan ninggalin mereka semua, pikir Lusi. Dia bingung. Kalau dia kembali, tubuh Lauren akan mati, kan? Karena Lauren yang asli sudah mati sejak melompat dari balkon ke kolam renang.

***

"Lo sama Lauren pacaran?" tanya Aydan yang sedang duduk menunggu pancingannya bergerak. Mereka berdua kini ada di danau karena Aydan yang tiba-tiba mengajak Bizar memancing ikan.

"Nggak. Emang lo sama Natasya pacaran?" kata Bizar sambil memperbaiki kailnya.

"Bisa dibilang begitu. Tapi setidaknya gue dan dia sama-sama tau kalau saling suka." Aydan tersenyum penuh kemenangan pada Bizar. "Lo pasti diem aja, kan? Lo nggak bilang suka ke Lauren, kan?"

Bizar terkejut, bagaimana Aydan bisa tau?

"Wajah lo juga nunjukin bagaimana gue bisa tau. Hahaha, soalnya gue kenal sama lo. Sementara ini Lauren juga biasa aja. Kalau dia udah ditembak sama lo, pasti jingkrak-jingkrak nggak jelas."

Bizar bangkit dan mendudukkan diri di sebelah Aydan setelah melempar kailnya ke air.

"Kenapa? Lo masih ragu sama dia?" tanya Aydan.

Bizar memicingkan kedua matanya. "Gimana gue bisa ragu kalau dia seterang-terangan itu?"

Aydan tertawa lagi mendengarnya. "Hahaha, iya juga, sih. Terus, apa masalahnya?"

"Gue meragukan diri gue sendiri."

Aydan menopang dagunya sambil memperhatikan Bizar dari jarak dekat. "Apa karena pernah ditolak Natasya, kepercayaan diri lo jadi hilang?"

Bizar benci Aydan yang selalu tau isi hatinya.

"Lo tenang aja. Natasya emang sukanya cuma sama gue. Kalau Lauren? Dia mungkin sukanya cuma sama lo, kecuali kalau lo tetap kayak gini terus."

Bizar menautkan kedua alisnya. "Maksudnya?"

"Ya kalau lo terus-terusan nggak jelas dan nggak ada kepastian, mungkin dia bakal pergi karena muak sama lo."

Apa yang dikatakan Aydan benar juga, kenapa Bizar tidak kepikiran? Apalagi banyak hal buruk yang sudah Bizar lakukan, dia bahkan pernah mencaci maki gadis itu dengan kasar. Apa Bizar memang pantas untuknya?

"Coba lo pikirin baik-baik, nanti kalau Lauren udah capek dan nggak suka lagi sama lo gimana?" kata Aydan, membuat kepala Bizar sakit. Dia jadi ketambahan beban pikiran.

"Apa mungkin dia berhenti suka gue?"

"Mungkinlah. Lo kan bukan Dewa Yunani yang ganteng banget sampai Lauren nggak bakal ninggalin lo." Ucapan Aydan benar-benar berhasil membuat Bizar kalut. "Kali ini coba aja, kasih dia kesempatan."

Bizar berhenti mengusap keningnya lalu mendongak untuk menatap Aydan. "Kenapa harus dia yang dikasih kesempatan?"

"Ha?" Aydan tak paham.

"Selama ini dia udah deketin gue duluan, bilang kalau bakal lindungin dan bahagiain gue, bahkan melamar dan minta restu ke keluarga gue. Sekarang dia juga yang harus dikasih kesempatan? Hei, Dan, sebenarnya di sini yang laki-laki siapa? Kenapa semuanya direbut Lauren?" Bizar semakin frustasi, tapi Aydan malah tertawa mendengarnya.

"Hahaha ... lo jadi nggak ada harga dirinya, ya."

Bizar merengek sambil menutup wajahnya. "Gue nggak ada jantan-jantannya di depan dia. Jadi kali ini, gue mau dia yang kasih gue kesempatan."

"Ya udah, bilang aja ke dia," ucap Aydan dengan enteng.

"Ya ... tapi masalahnya ... nggak semudah itu," kata Bizar yang tampak tertekan.

"Emang susahnya di mana?" tanya Aydan baik-baik.

"Ya ... nanti kalau dia ilfeel sama gue gimana?"

"Tinggal bikin dia jatuh cinta lagi. Toh, katanya dia suka sama wajah lo yang selalu ganteng, kan?" ejek Aydan.

Mendengar itu, Bizar super kesal. Dia tendang kaki Aydan dengan kakinya. "Lo beruntung tangan gue patah!"

"Hahahaha!"

***

"Lo masih suka gue?"

"Anak ayam!" Lusi mengusap dadanya yang terkejut mendengar suara Bizar. Pria itu entah sejak kapan tiba-tiba sudah ada di sampingnya.

"Lo kalau kaget nyebut nama-nama hewan, ya."

Lusi menunduk, merasa malu karena kebiasaannya ketahuan.

"Ya lo harus hilangin kebiasaan muncul tiba-tiba. Kalau jantung gue copot gimana?!" sentak Lusi yang kesal melihat Bizar tak merasa bersalah sama sekali.

"Iya, maaf."

Lusi sempet terkejut mendengar Bizar minta maaf, apa dia tak salah dengar?

"O--oke, gue maafin."

"Jadi, lo masih suka gue?"

Lusi mengangguk dengan pandangan fokus ke arah ponsel. "Iya, masih."

Setelah mendengar jawaban itu, Bizar pun lanjut meninggalkan Lusi yang sedang berjalan sendiri di koridor sekolah.

"Dia datengin gue cuma buat nanya itu? Aneh," gumam Lusi.

Sepulang sekolah, Lusi melihat Bizar memakai jersey sepak bola kebanggaan sekolah. Lusi baru ingat kalau Bizar adalah anak sepak bola. Tak sengaja bertemu membuat Lusi salah tingkah, sebab ketampanan Bizar bertambah berkali-kali lipat kala memakainya. Apa Lusi boleh meminjam jersey itu?

"Hai Bi--"

"Lo masih suka gue?"

Pertanyaan itu lagi. Lusi bahkan sampai kehilangan kata-kata karena Bizar menanyakannya di depan teman-teman setimnya yang hendak pergi ke lapangan bersama.

"Waduh, Bizar diem-diem ngegas, yak!" seru teman-temannya, membuat pipi Lusi memerah.

"Kenapa wajah lo merah?" Bizar menyentuh kening Lusi dengan enteng, membuat teman-teman Bizar semakin bersiul kegirangan. "Lo sakit?"

Lusi panik, jantungnya tidak aman jika diperlakukan begini. "G--gue nggak pa-pa! Gue duluan!" Lusi segera berlari meninggalkan Bizar yang digoda habis-habisan oleh temannya.

Berbeda dengan Lusi yang merasa malu, Bizar malah merasa aneh. Dia kepikiran dengan tingkah Lusi yang lebih pendiam. Apakah gadis itu sudah tidak menyukainya lagi? Apa dia sudah tidak tertarik pada Bizar?

Jangan-jangan yang diomongin Aydan jadi kenyataan, pikir Bizar yang tampak sedih.

Di sisi lain, Lusi menahan jantungnya yang berdebar hebat. Apa-apaan Bizar tadi? Lusi kan jadi kewalahan!

***

Bizar Tercinta
Save

Bizar Tercinta
Bizar

Lusi merasakan getaran dari ponselnya. Lantas dia mengubah posisinya yang sedang telungkup sambil mengerjakan tugas menjadi duduk. Betapa terkejut melihat pesan yang dikirim Bizar.

Me
Hai Bizar! Nomer lo udah gw save kok

Bizar Tercinta
Ok

Lusi menyangga dagunya, napasnya menghela panjang kala melihat jawaban Bizar yang begitu singkat.

Me
Bizar lagi apa?

Bizar Tercinta
Lo masih suka gue?

Lusi mengangkat kedua alisnya. Lagi-lagi pertanyaan ini. Apa Bizar tiba-tiba kecanduan oleh pernyataan cinta Lusi? Kenapa dia selalu menanyakannya padahal sudah jelas jawabannya?

Tapi ... bukankah sekarang giliran Lusi yang bertanya soal perasaan Bizar?

Me
Kalau Bizar sendiri?

Bizar Tercinta
Apanya?

Me
Udah suka gw?

Bizar Tercinta
Apa perlu gue jawab?

Lusi mengernyit, kenapa jawaban Bizar tiba-tiba menyebalkan?

Me
Nggak juga. Tp gw kan slalu jawab pertanyaan lo

Tiba-tiba ...

Bizarki Tercinta is calling

"

Hah?"

Lusi segera berdeham beberapa kali untuk menetralkan suaranya lalu bangkit dari kasur. Dia berjalan ke balkon kemudian menggeser tombol hijau.

"Ha--halo?"

Sialan, gue gugup, batin Lusi yang baru kali ini teleponan dengan Bizar.

"Halo."

Lusi menahan dirinya untuk tidak berteriak. Benar apa katanya dulu, suara Bizar cocok untuk diajak sleepcall.

"Gue ganggu?"

"Eng--enggak kok!"

"Masih suka gue?"

Lusi terdiam. Sebenarnya dia ingin tau kenapa Bizar selalu menanyakannya.

"Bizar," panggil Lusi.

"Ya?"

"Sebenarnya ada apa? Kenapa lo selalu menanyakan itu? Apa ada masalah? Atau ... lo ragu sama gue?" tanya Lusi.

Di sebrang tak lagi terdengar suara Bizar, hingga Lusi pun harus memanggilnya lagi. Apa laki-laki ini ketiduran?

"Gue yang ragu sama diri gue sendiri. Gue cuma mau memastikan apakah perasaan lo ... berubah," kata Bizar.

Lusi menarik napasnya sebelum menjawab. "Bizar, dengerin gue, ya?"

"Iya."

"Kapanpun lo tanya soal perasaan gue, jawaban gue akan selalu sama. Gue suka lo dan akan seterusnya begitu," ucap Lusi, semoga saja ini menjawab keraguan Bizar.

"Lo sendiri nggak mau bilang apa-apa sama gue setelah kita ciuman tiga kali?" tanya Lusi, dia berusaha menggoda Bizar.

Tampaknya Bizar kebingungan. Dia tak tau bagaimana cara mengatakannya. "Gue ...."

"Hm?"

"Gue minta maaf karena pernah bilang kalau lo murahan, padahal gue nggak lebih baik dari lo. Mungkin waktu itu, gue kaget."

Lusi tersenyum. Walau bukan ini yang mau dia dengar, tapi tak masalah. Dia tetap senang mendengar permintaan maaf dari Bizar.

"Oke, gue maafin. Ada lagi?"

"Lo mau tidur?" Padahal Bizar masih ingin mendengar suara Lusi.

"Belum kok. Gue masih pengin denger suara lo."

Bizar tersenyum mendengarnya. Lusi memang lebih hebat dalam menyampaikan perasaan daripada dirinya. Tidak salah jika Lusi menjadi pangeran yang lebih dominan untuknya.

"Ada yang mau gue bilang," kata Bizar.

Lusi menahan senyumnya. Bizar pasti akan menyatakan cinta, kan?

"Apa?"

"Gue tau kenapa ayah lo polisi," kata Bizar.

"Hah?"

"Ka-karena lo berhasil nangkep hati gue!"

Lusi mengerutkan keningnya. Apa itu tadi? Bizar menggombal? Kenapa rasanya aneh dan terlalu dipaksakan, ya? Lusi bingung harus merespon apa, tapi sepertinya Bizar sudah berusaha keras.

"Wah, bagus, hehe."

Bizar menutup wajahnya yang sudah merah habis. Ini memalukan. Dia ingin menghilang sekarang juga.

"Barusan lo gombal, ya?"

"Kata Aydan, kalimat ini bisa bikin cewek jingkrak-jingkrak seneng. Sorry kalau malah nggak jelas."

Aydan sialan, batin Lusi dan Bizar.

"Nggak pa-pa kok. Gue cuman bingung karena ayah gue bukan polisi," ucap Lusi.

Kayaknya love language Bizar bukan word of affirmation, pikir Lusi. Karena daripada kata-kata, Bizar lebih romantis dalam tindakan.

"Gue tau, ini memalukan."

Lusi jadi merasa kasihan. "Daripada ngikutin Aydan, coba lo mengatakan sesuatu sesuai sama pemikiran lo sendiri. Coba pikirin sesuatu tentang gue dan katakan lebih tulus."

"Emm ...." Bizar tampak berpikir keras. "Dulu gue mikir kalau nggak ada yang namanya keindahan di dunia ini. Terus gue penasaran dan cari tau."

"Apa yang lo tau sekarang?" tanya Lusi yang penasaran.

"Sepertinya, tatkala Tuhan ingin menjelaskan makna dari sebuah keindahan, ia menciptakan lo. Sekarang gue tau itu."

Lusi mengigit bibir bawahnya. Hatinya ingin meledak saat ini juga.

"Lauren," panggil Bizar. Dia tak bisa mengendalikan debaran jantungnya, semoga Lusi tak bisa mendengar debaran itu. "Makasih karena udah kasih gue kesempatan."

"Kesempatan?"

"Kesempatan dicintai sama lo." Bizar mengusap wajahnya yang sudah memanas. "Udah, ya. Gue tutup!"

"Eh?"

Lusi terkekeh, Bizar sudah menutup teleponnya.

-----

Hai, teman-teman!
Maaf kalau updatenya bakal lebih lama karena udah mendekati ending. Jadi aku dilema banget sampai tulis-hapus biar feelnya dapet.

Terima kasih sudah membaca cerita ini <3
Have a nice day!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top