Dua Puluh Delapan
Sekalipun itu ke ujung dunia, lo akan gue cari, Zar.
-Lusi
"Lo ... nggak bohong, kan?" tanya Lusi yang sebenarnya masih belum bisa percaya pada ucapan Feronika. Semua hal tentang dunia paralel atau dunia komik saja masih belum bisa dia mengerti sampai sekarang.
Feronika yang tengah mengemasi pakaian Lusi ke tas pun menghentikan pergerakannya. "Gue nggak jahat, Lus. Gue tau apa yang lo inginkan."
Feronika menghembuskan napas berat. "Ketika gue baca komik itu, gue melihat bagaimana lo jatuh cinta sama Bizar. Untuk pertama kalinya gue melihat tatapan itu lagi, keinginan hidup yang kuat. Gue selalu ingin lihat itu dari lo."
Lusi menyunggingkan senyumnya. "Gue emang seneng banget sih bisa ketemu Bizar. Soalnya dia lucu. Apa karena usianya, ya? Dia gemesin gitu, haha."
"Tapi ...," ucap Feronika, membuat Lusi cemas mendengarnya. "Lo harus siap untuk kemungkinan terburuk. Contohnya seperti penampilan atau rupa asli Bizar yang nggak sesuai ekspektasi lo, kemungkinan kalau dia udah berkeluarga, atau usianya yang bisa lebih muda dan tua. Semua hal mungkin terjadi. Kalau lo mencintai dia apa adanya, bukan karena fisiknya yang ganteng banget, mungkin lo bisa tetap mencintainya."
Lusi terdiam. Dia memang tak lagi mempedulikan bagaimana fisik asli Bizar. Yang dia pikirkan adalah bagaimana jika Bizar asli sudah mempunyai istri dan anak? Bagaimana jika Bizar asli seumuran dengan ayahnya? Apakah ... yang akan Lusi lakukan?
"Apa lo sama sekali nggak tau soal dia, Fer?" tanya Lusi.
Feronika menggeleng. "Cuma kakek yang menyimpan identitas jiwa."
"Tapi lo cucunya, kan? Mungkin lo punya akses," kata Lusi yang masih bersikeras.
"Sama sekali enggak, sampai kakek meninggal."
"Terus, bagaimana cara lo bantu gue menemukan dia kalau sama sekali nggak ada petunjuk?" tanya Lusi yang tampak tak bertenaga karena pencariannya mungkin akan mengalami banyak hambatan.
"Gue sedikit tau kalau tubuh-tubuh yang jiwanya kakek masukkan ke dalam dunia komik kakek simpan dengan aman di setiap laboratorium kakek. Di setiap satu laboratorium, ada satu tubuh. Bizar ada di salah satu dari 30 laboratorium kakek. Kita cukup mencarinya satu per satu," kata Feronika dengan enteng. Mendengar itu, Lusi menghela napas berat. Sepertinya pertemuannya dengan Bizar akan lebih lama dari dugaannya.
"Nanti kalau sampai di rumah, gue kasih tau peta laboratorium kakek gue yang ada di kota ini. Tapi sebelum itu, sepertinya lo harus ketemu sama seseorang."
Lusi mengangkat kedua alisnya. "Siapa?"
Tok ... tok!
Lusi melirik ke arah pintu ruangan. Ada seorang laki-laki dengan wajah asing yang mengenakan topi berwarna hitam dan hoodie panjang.
"Masuk sini, Luki," ucap Feronika.
Seluruh tubuh Lusi kaku. Bola matanya membulat kala mendengar ucapan Feronika. Jadi, pria itu kakak kandungnya? Dia adalah Lukiano?
Ketika masuk, Luki melepas topinya hingga menunjukkan wajah tampannya yang sedikit tirus. Mungkin kalau Lusi bukan adiknya, dia akan jatuh cinta.
"Berhenti!" bentak Lusi, membuat langkah Luki terhenti. "Jangan mendekat! Mundur lima langkah!"
Luki menuruti permintaan Lusi yang aneh. Feronika jadi ikut bertanya-tanya tentang apa yang gadis ini lakukan.
"Gue sebenarnya males ketemu sama lo atas apa yang udah lo lakukan ke ayah Lauren, Natasya dan Bizar. Gue benci sama lo. Lo udah ikut campur terlalu banyak sama hidup gue," ucap Lusi sambil bersedekap dada. Dia membuang mukanya, tak ingin melihat keberadaan Luki.
Bukannya pergi, Luki malah mendekat dan mengusap kepala Lusi.
"Apaan, sih!"
"Gue seneng karena adik gue udah sehat," ucapnya tanpa rasa bersalah.
"Lo nggak dengerin gue, ya? Gue benci sama lo! Lo orang jahat!"
Luki mendudukkan diri di sebelah Feronika tanpa mencemaskan raut marah Lusi. "Jahat demi adik sendiri nggak ilegal."
"Gue benci lo!"
"Gue sayang lo."
Bibir Lusi terkatup. Dia tak biasa mendengar ungkapan sayang dari keluarga sendiri seperti ini. Rasanya sangat nyaman dan hangat.
"Jangan diulangi lagi! Sekarang gue terpaksa maafin lo karena ini pertemuan pertama kita di dunia nyata," ucap Lusi yang akhirnya luluh pada Luki.
Feronika terkekeh melihatnya. Dia bahkan sempat melirik Luki beberapa kali. Membuat Lusi penasaran tentang hubungan Feronika dan Luki.
"Kalian sejak kapan saling kenal dan kok bisa?" tanya Lusi.
"Dia cucunya penulis, jadi gue otomatis kenal," jawab Luki dengan mudah.
"Ooh, udah lama banget berarti, ya?" tanya Lusi.
"Lumayan."
Kemudian Lusi kehabisan topik. Dia tak tau mau mengobrol apa hingga mengingat suatu hal tentang Feronika sebelum koma dulu. "Ngomong-ngomong Fer, soal kencan lo sama virtual dulu gimana? Jadi?"
"Ha--hah?!" Feronika melirik ke arah Luki beberapa kali, sedangkan Luki hanya berdeham lalu menatap ke arah lain. "Ke--kencan apa? Waktu itu kan gue cuma bercanda, hehe."
"Masa bercanda, sih? Waktu itu lo bilang dia ganteng banget."
"Duh, Lusi mana ada? Gue nggak ada bilang kayak gitu. Lo salah denger kali," ucap Feronika yang semakin panik mendengar kata yang keluar dari mulut Lusi.
"Gitu, ya? Berarti lo masih ngejomblo terus sampai gue sadar dari koma. Lo cari pacar sana, jangan nempelin gue mulu," ucap Lusi dengan enteng.
"Kata siapa gue jomblo?"
Lusi mengangkat kedua alisnya. "Oh, udah punya pacar?"
Feronika memutar malas bola matanya. Dia mengangkat tangan kanannya lalu menunjukkan punggung tangannya. Di sana ada sebuah cincin yang tersemat di jari manis. "Gue udah married empat tahun yang lalu."
"Lo bercanda, kan?! Lo married sama siapa, anjir? Kenapa lo nggak bilang gue?! Kenapa gue nggak tau?!"
"Sama gue," ucap Luki seketika.
Lagi-lagi Lusi semakin syok mendengarnya. "Hah?! Kalian berdua married?!"
Lusi menarik kerah baju Luki dengan kasar. "Lo berkhianat! Gue pikir lo jomblo ngenes!"
Kemudian berganti mencubit kedua pipi Feronika. "Terus lo kenapa nikah sama kakak gue nggak bilang-bilang, hah?! Gue nggak mau jadi adik ipar lo!"
Lusi melipat kedua tangannya di depan dada. "Sekarang, jelasin ke gue ada apa? Kenapa kalian nikah? Alasannya pasti bukan karena Feronika yang jatuh cinta sama Luki terus minta tolong kakeknya yang penulis buat bujuk Luki dan Luki mau menikahi Feronika asal gajinya ditambah dan toh Luki juga pulang pergi dunia nyata-dunia komik sehingga nggak akan sempet ketemu cewek. Akhirnya berakhir Luki jatuh cinta juga. Nggak kayak gitu, kan? Karena gue ngarang."
Feronika tampak syok. "Ko--kok lo tau?!"
"Sayangnya itu bener," kata Luki.
Lusi membulatkan matanya tak percaya. Padahal tadi dia hanya bercanda, tapi kenapa malah benar?
"Kalian serius?! Terus kalo udah nikah kenapa nggak keliatan romantis? Malah kek orang nggak kenal," ucap Lusi yang bingung.
"Ya karena udah nikah jadi kayak gitu. Kita berdua tidak romantis in public, kita stay private biar para jomblowati kayak lo kagak menangis," ucap Feronika kemudian mendekap hangat lengan Luki.
"Apanya stay private?! Itu lo genit banget sama abang gue," ucap Lusi.
"Di depan lo doang, haha," ejek Feronika tanpa beban.
Setelah mereka selesai bicara, Lusi fokus menatap ponselnya yang sudah cukup lama dia tinggalkan. Dia sedang mengikuti perkembangan-perkembangan terkini mulai dari berita dan lain sebagainya agar tidak dianggap kurang update. Hal itu membuat Lusi mendengar percakapan dari ujung sana.
"Udah makan?" tanya Luki.
Feronika menggeleng sambil memegang perutnya. "Belum, laper banget."
"Mau aku beliin apa gitu buat ngisi?" tanya Luki.
"Enggak, deh. Bentar lagi kan kita juga makan sama Lusi. Aku mau yang pedes-pedes. Kemarin tuh lihat ada di Instagram menu baru! Inget nggak waktu kita ke sana yang niat nyobain doang? Habisnya ... bla bla bla."
Lusi melihat bagaimana keromantisan dua orang itu. Luki yang dengan telaten mendengar cerita Feronika sambil memainkan rambut wanita itu, bahkan sesekali mencubit pipinya. Padahal Lusi tak bisa melihat tatapan manis atau kata-kata romantis, tapi mereka menunjukkan rasa cintanya dengan bentuk yang berbeda.
Lusi jadi ingin menangis. Kalau dia bertemu Bizar asli di dunia nyata, apakah mereka akan seperti itu? Yang terpenting, apakah Bizar bisa menerima rupa aslinya yang tak secantik Lauren?
***
Feronika keluar dari kamarnya dan menunjukkan peta tua di depan Lusi. Saking lamanya tak terpakai, peta itu jadi berdebu dan dimasuki banyak telur serangga. Dengan cekatan Feronika menggebrak-gebraknya ke meja agar bersih.
"Kita punya kesempatan besar karena Luki nggak ada dan kakek gue sakit. Gue yakin kakek gue nggak akan setuju kalau mengetahui ini," ucap Feronika sembari membuka peta itu lebar-lebar.
"Kakek lo orang yang pemarah?" Lusi jadi sedikit takut kala mendengarnya.
"Lo udah pernah ketemu sama dia di danau. Lo lupa?" kata Feronika dengan pandangan lurus ke peta.
"Waktu itu dia juga? Kok nggak kelihatan kayak kakek-kakek yang udah tua, ya? Jadi gue kaget banget waktu tau penulisnya kakek lo," ucap Lusi, kemudian ikut menatap petanya.
"Soalnya dia memang masih segar bugar. Sakit-sakitan tuh ya sejak dia sibuk ngurusin lo yang kacauin alur cerita, data yang nggak sesuai sistem bikin dunia komik amburadul."
Lusi terkejut, tak tau jika efeknya bisa sekacau ini. "Terus, sekarang gimana nasib dunia komik? Apa benar-benar udah hancur?!"
Feronika menggeleng. "Lagi rusak, sih. Tapi akan pulih dengan cepat. Makanya waktu kita nggak banyak. Semua jiwa yang belum kembali sadar bakal otomatis masuk ke sana lagi kalau kita nggak bergerak cepat. Gue udah dari lama pengin hancurin dunia komik itu, tapi kuncinya masih di kakek gue. Gue nunggu dia meninggal."
Lusi otomatis memukul lengan Feronika. "Heh! Cucu nggak beradab lo."
"Sebenarnya gue udah lama nggak suka sama dia. Dia itu egois. Gara-gara dia juga bokap gue meninggal. Nggak ada alasan bagi gue untuk menganggap dia kakek selain karena keturunan asli yang akan menjadi penerus pengendali dunia komik."
Lusi mengangguk paham. Kemudian dia kembali bertanya. "Ah, gue pengin nanyain ini dari kemarin tapi lupa. Lo kenapa masukin gue ke tubuh tokoh figuran, njir?! Jahat banget sumpah. Apalagi, dia antagonis. Kenapa nggak bagusan dikit kayak tokoh pendukung atau tokoh utama?"
"Masalahnya, tokoh utama selalu tersiksa dan nggak segampang itu buat jadi tokoh utama dunia komik. Semuanya diseleksi sama kakek. Ya mungkin kata kakek lo lebih cocok jadi figuran karena punya firasat bakal mengacaukan. Tapi gue setuju sih lo masuk ke tubuh Lauren. Dia kan kaya raya melimpah tuh dan mampu ngelakuin segalanya. Seru banget pasti," ucap Feronika.
"Tapi ya anehnya ... gue bisa ngobrol sama Lauren. Gue jadi penasaran sebenarnya dia apa?" tanya Lusi lagi.
"Itu ikatan aja sih antara tubuh yang lo masuki dan jiwa lo. Lauren cuma gambar kertas aja yang kebagian sedikit aura dari jiwa hidup kayak lo." Selesai Feronika menjelaskan, Lusi hendak bertanya lagi tapi langsung dia potong. "Lo niat nyari Bizar apa enggak sih kalau nanya terus gini? Waktu kita tuh dikit dan laboratorium kakek kan banyak."
Astaga, Lusi hampir lupa karena keasikan mempelajari dunia komik.
"Sorry-sorry, ya udah ayo cari!"
Feronika mulai menjelaskan pada Lusi tentang laboratorium. Setelah sama-sama paham, keduanya bergegas mempersiapkan diri sebelum berangkat.
"Jangan lupa pake jaket karena kita nggak bisa mendeteksi cuaca. Lo kan baru ke luar rumah sakit," kata Feronika.
"Oke."
Feronika dan Lusi pun mulai berangkat. Mereka berdua mendatangi laboratorium dari yang terdekat agar lebih mudah.
Ini adalah pertama kalinya bagi Lusi mendatangi ruang bawah tanah. Uniknya laboratorium ini ada di bawah pohon dan cara memasukinya adalah dengan sidik jari. Pintu masuk yang berada di dekat akar besar pohon membuatnya jadi tidak kelihatan. Pintar sekali buyut Feronika.
"Harusnya ada satu di sini," ucap Feronika lalu mulai membuka data yang ada. Dari luar ruang kaca, Lusi bisa melihat tubuh seorang pria asing yang tidak sadarkan diri dengan berbagai alat di tubuhnya.
"Dia siapa? Kayaknya keturunan luar negri karena ganteng gini. Kakek lo pintar cari jiwa. Bisa dapet bule," ucap Lusi.
"Dia ... Zero. Dia Zero! Kakaknya Bizar!"
Mendengar itu Lusi terbelalak, jadi ada wajah tampan dibalik Zero yang memiliki mata satu sebab mata satunya cacat.
"Wah ...," gumam Lusi.
Setelah mengamankan bahwa laboratorium satu berisi Zero, mereka lanjut memeriksa laboratorium-laboratorium lain tapi tidak menemukan Bizar di mana-mana.
"Fer ... ini gimana?!" Lusi berjongkok sambil menutup wajahnya. Selain lelah, dia juga semakin takut karena tak bisa menemukan tubuh asli Bizar sama sekali. "Kenapa dia nggak ada? Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi?"
Feronika tampak fokus memperhatikan data-data yang tadi dia kumpulkan. "Ini memang aneh. Cuma tubuh asli Bizar, Aydan, Natasya, dan ayah Lauren yang hilang. Ke mana mereka semua?"
"Apa terjadi sesuatu? Gue khawatir mereka ada di tempat yang nggak aman," ucap Lusi.
Feronika menggeleng. "Cuma ada dua kemungkinan. Kakek menempatkan mereka di tempat khusus atau ada yang menculik mereka sebelum kita dateng."
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top