Dua Puluh

Sejak dateng ke sini, gue nggak mau kehilangan siapa-siapa.

-Lusi

Leoner Zawendra.

Laki-laki yang pernah bertransmigrasi ketika usianya 7 tahun. Hal pertama yang ia sadari adalah nama dan keluarganya yang berubah.

Kala itu yang dia ingat orang tuanya mengalami kecelakaan bersamanya. Mobil mereka terbalik dan dalam hitungan menit terbakar. Ibunya yang sudah terjebak bersama ayahnya menangis meneriaki namanya agar ia merangkak keluar.

"Luki, bawa adikmu keluar!"

Itulah teriakan paling dia ingat. Adik kembarnya yang sedang tidur sambil memeluk boneka beruangnya pun ia tarik keluar susah payah. Kala keduanya sudah berada di luar, mobil pun terbakar. Ambulans serta polisi datang saat semuanya sudah terlambat.

Dan ketika tubuhnya dibawa ke rumah sakit bersama sang adik, dia tiba-tiba sudah terbangun di kamar yang tak pernah dia kenal.

"Bagaimana keadaannya? Apa dia akan baik-baik saja?" tanya seorang laki-laki yang tak pernah dia jumpai.

"Ini keajaiban! Dia sembuh begitu cepat, seperti terlahir kembali," kata pria berjas dokter.

Saat itu anak kecil bernama Luki bertanya-tanya akan tatapan penuh sayang dari pria yang tak pernah dia jumpai dan tatapan tanpa ekspresi dari seorang perempuan yang katanya adalah adik kembarnya. Padahal adik kembarnya yang nyata tidak pernah menatapnya seperti itu.

"Leoner, kamu sudah merasa sehat, Nak?"

Leoner Zawendra, entah dari mana tiba-tiba dia mendapat nama itu. Semuanya seperti mimpi. Tapi dia juga punya adik kembar seperti sekarang. Memang apa bedanya? Dia tidak kehilangan ayah sekarang.

Aku Lauren, kamu mengingatku, kan? batin Lauren yang dapat didengar Leoner.

Tentu Leoner terkejut, bagaimana bisa telinganya mendengar sesuatu yang tak bisa didengar dengan normal?

Ini memang keistimewaan kita. Kamu bisa menjawabku lewat batinmu, batin Lauren yang diakhiri seulas senyuman.

Semuanya baik-baik saja. Leoner menjalani hidupnya dengan nama dan keluarga yang dia peroleh hari itu. Tapi ... tiba-tiba Lauren datang padanya dengan keadaan kacau. Dia berkata bahwa dunia akan berakhir, kita semua tidak nyata, dan ada penulis yang mengatur hidup kita. Hal itu membuat Leoner sadar, bahwa hidupnya tidaklah sesempurna yang dia kira.

Leoner ingat semuanya. Dia ingat siapa dirinya di dunia nyata, dia juga ingat siapa keluarganya. Tapi dia tau peraturan itu. Penulis memberikannya kesempatan kehidupan kedua di sini, sehingga ia tak perlu memusingkan hal itu.

Namun, bagaimana jika sekarang yang datang ke dunia ini adalah adik kandungnya yang nyata?

Hati Leoner diselimuti rasa takut kala memerhatikan Lusi dari jauh. Bagaimana dia bisa sampai di sini? Apakah selama ini gadis itu hidup dengan baik? Leoner ingin memeluknya sebagai Luki, tapi dia tak bisa. Demi menjaga keutuhan dunia ini.

"Dia masih hidup," ucap makhluk berjubah hitam di sebelahnya.

Leoner menoleh, dia sudah mendengar itu saat mengintip Lusi di danau tadi.

"Dan kamu berniat membunuh Bizar?" kata Leoner.

Makhluk itu mengangguk. "Dunia ini tak boleh hancur karena hal itu. Lagipula saat gadis itu kembali ke dunianya, Bizarki akan hancur tak tersisa."

Leoner menatap ke arah Lusi lagi. "Tolong, kembalikan dia ke dunianya. Kalau dia masih hidup, bukan ini tempatnya."

Setidaknya dia harus hidup normal. Tidak sepertiku yang selalu menjadi figuran di komik mana pun tanpa memiliki tujuan hidup yang sebenarnya, pikir Leoner. Dia tak ingin Lusi terjebak di dunia ini selamanya.

"Aku juga ingin, tapi dia menolak. Dia bilang akan memberikan akhir cerita yang baik. Aku menantikannya."

Kedua alis Leoner bertaut. "Kenapa kamu menyetujuinya? Sejak kapan kamu mendengarkan tokohmu? Kumohon, kembalikan dia! Dia manusia yang masih bernapas. Jangan jebak dia di sini."

"Ya-ya, aku tau. Kamu tidak perlu berteriak." Makhluk itu mulai melayang di sebelah Leoner. "Tapi selagi kalian bertemu di sini, kamu tak ingin bertemu dengannya sebagai saudara kandung nyata yang terpisah? Kamu tak merindukannya, Luki?"

Setelah mengatakan itu, sang makhluk menghilang. Leoner menunduk, dia juga ingin mengaku di depan Lusi bahwa dirinya adalah Luki yang menyelamatkan sang adik dari kecelakaan itu. Tapi, apa Lusi akan mengingatnya?

***

Kicauan burung dan terik matahari membuat tidur Lusi terganggu. Dia pun terpaksa membuka mata dan menyadari bahwa dirinya masih berada di gubuk. Selimut yang menutupi tubuhnya membuatnya sadar bahwa tak ada Bizar di sini. Ke mana pria itu?

Lusi panik. Hatinya tak tenang jika melihat Bizar tak ada. Dia pun bersiap untuk bangkit mencari. Tapi beberapa menit kemudian, dia mendengar siulan seorang laki-laki. Kala mendongak, dia melihat Bizar tanpa baju sedang berjalan sambil mengeringkan rambutnya.

Lusi menelan salivanya kala melihat tetesan air yang mengalir di leher Bizar. Rambutnya yang basah menjadikan kesan keren padanya.

"Bi--Bizar?"

Ah, kenapa Lusi jadi terbata-bata begini? Seperti tak pernah melihat laki-laki habis keramas dan telanjang dada saja.

Tapi, memang tidak pernah! Selama 25 tahun hidup, hanya Bizar laki-laki yang ada di hidupnya.

"Oh, lo udah bangun?" Dengan santai Bizar berjalan mendekati Lusi. Dia seolah tak peduli dengan wajah Lusi yang sudah memerah.

"Ba--baju lo ke mana?" tanyanya tanpa beralih dari perut Bizar yang kotak-kotak.

Bizar terkekeh melihat Lusi kewalahan. "Tadi waktu mandi gue kepeleset, akhirnya basah semua bajunya. Ya udah gue lepas."

Lusi segera mengulurkan selimut yang tadi menutup tubuhnya ke pria itu. "Kalau gitu, pakai in--"

Cup!

Lagi-lagi Lusi terkejut karena Bizar menyerangnya dengan ciuman begitu saja. Padahal jantungnya sedang tak aman sejak tadi. Apakah pria ini ingin memberinya penyakit jantung kronis?

Tangan Bizar menahan tangan Lusi yang memberikan selimut untuknya. "Mau bantu gue ngeringin rambut?"

Aaaaaaaaaaaaaaaaah, suara lo jangan gitu dong, Zar! Lo juga jangan senyum! Gue kalah, oke! Gue kalah! pikir Lusi yang jadi lebih pendiam kalau berhasil ditaklukkan. Dia hanya menjawab dengan anggukan untuk pertanyaan Bizar.

Bizar pun duduk di sebelah Lusi sembari membalik tubuhnya. Dia biarkan Lusi mengeringkan rambutnya dari belakang. Diam-diam Lusi menyentuh bibirnya. Padahal baru pagi, dia sudah dapat vitamin.

Saat Lusi mulai mengeringkan rambut Bizar, dia kembali dikejutkan oleh pertanyaan Bizar.

"Lo masih suka gue?"

Pertanyaan macam itu?! Cuma Bizar yang gue suka dan seterusnya begitu!

"Iya," jawab Lusi. Kenapa dia mendadak kalem begini di depan Bizar? Membuat Bizar gemas saja.

"Kenapa lo suka gue?" tanya Bizar lagi. Kali ini dia ingin mendengarkan jawaban yang serius selagi membelakangi Lusi.

Gimana bilangnya, ya? pikir Lusi.

"Saat gue koma selama sebulan itu, gue bermimpi kalau dunia ini adalah komik. Tokoh utamanya adalah Aydan dan Natasya, sedangkan gue cuma figuran antagonis yang diciptakan penulis agar bisa menyatukan tokoh utama," ucap Lusi, diam-diam Bizar jadi membenarkan karena dulu Lauren adalah orang yang jahat.

"Gue inget lo pernah datengin gue dan anak-anak yang lain dalam keadaan kacau sambil teriak kalau dunia ini akan berakhir karena kita cuma tokoh komik, bukan manusia nyata. Gue penasaran kenapa lo bilang begitu dan dari mana lo berpikir begitu," kata Bizar. Dia jadi menghadap Lusi lagi dan menatapnya serius.

"Gue juga nggak inget, tapi hal itu masuk di mimpi gue ketika gue koma," alibi Lusi, untung saja berhasil.

"Jadi, di komik itu ... gue jadi apa?" tanya Bizar.

"Lo adalah tokoh pendukung yang bertepuk sebelah tangan sama Natasya. Entah kenapa gue jadi tau semua cerita hidup lo dan bagaimana masa kecil lo. Kesukaan lo dengan coklat, hati lo yang hangat, berhasil menggerakkan gue untuk tertarik sama lo melebihi ke tokoh utama. Saat Bizar kecil dikurung di gudang sendirian sambil menangis, gue pengin jadi orang pertama yang meluk dan menghibur lo."

Bizar terkejut, dia tak menyangka bahwa hal itu membuat Lauren mengetahui semua hal tentangnya.

Tangan Lusi terulur hingga menyentuh pipi Bizar. "Gue ingin jadi orang pertama yang melindungi dan membahagiakan lo. Gue ingin ada di sisi lo."

Setelah itu pandangan Lusi menunduk ke bawah. "Apa itu permintaan yang terlalu berat?"

Kala mendongak, dia melihat Bizar mengusap matanya. Hal itu membuat Lusi tak kuasa menahan tawa.

"Lo nangis?"

"Nggak! Mata gue kelilipan," kata Bizar sambil membuang muka.

"Bizar," panggil Lusi.

Bizar pun menoleh dengan mata berkaca-kaca.

"Jangan pernah lepasin tangan gue." Lusi menggenggam erat tangan Bizar, tapi dia malah menatap heran genggaman itu.

"Terus, kalau ke toilet?" tanyanya.

Lusi menahan dirinya untuk tidak tertawa kala mendengar pertanyaan polos itu. "Terserah lo deh, Zar!"



-----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top