Delapan Belas
Lo tujuan gue ada di sini. Jangan menghilang atau mati. Karena gue akan hancur.
-Lusi
Ditinggalkan adalah hal paling menakutkan, bukan?
Selama ini, Lusi tak pernah takut ditinggalkan. Dia tak punya apa-apa. Semuanya sudah pergi ketika dia masih kecil. Malahan, dia yang lebih sering meninggalkan. Sebelum ditinggalkan, dia selalu punya firasat kuat. Satu-satunya orang yang ada di sisinya sampai akhir hanyalah Feronika. Dia bahkan tak menduga akan pergi secepat itu dan berakhir di sini.
Tangan Lusi yang memegang senter bergetar hebat. Jadi, begini rasanya? Jadi begini rasanya ditinggalkan? Firasat kuat yang takut kehilangan, apa seperti ini rasanya?
"BIZARKI!" teriak Lusi sekuat tenaga. Sepanjang dia menyusuri jalanan gelap ini, hanya kicauan burung gagap atau serangga-serangga kecil yang menyahuti.
Kalian tanya apakah Lusi takut? Tidak. Dia sudah pernah mati, jadi satu-satunya ketakutan yang dia miliki hanyalah ditinggalkan.
Hingga tak sengaja kaki Lusi tersandung sebuah akar pohon beringin yang menjalar. Dari jatuh terperosok itu, bukan kaki Lusi yang sakit, tapi hatinya. Dia sangat mencemaskan Bizarki.
Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia sudah berada di tempat aman? Dia tidak terjebak dalam kegelapan, kan?
Tidak. Ini bukan waktunya menangisi firasat buruknya. Ini waktunya Lusi menemukan Bizarki dan memastikan dia aman. Dengan tertatih-tatih, Lusi bangkit kembali. Dia menyorotkan cahaya senternya ke beberapa tempat yang mungkin dilalui Bizarki.
Jangan takut, Bizar, gue dateng ....
Kala membuka semak-semak yang ukurannya lebih tinggi dari tubuhnya, Lusi berakhir di sebuah danau yang begitu luas. Cahaya bulan purnama yang menerangi danau itu memantulkan cahaya indah ke dalam air.
Langkah Lusi kian memanjang. Dia menekuk lututnya di tepi danau. Sembari menatap bayangan dirinya di dalam air, tangisan Lusi berjatuhan. Sepertinya dia harus menenangkan diri sebelum melanjutkan pencarian Bizarki. Apa yang terjadi jika dia bertemu hewan buas dengan keadaan lemah begini? Lusi harus kuat, karena itulah dia.
"Kau mau seperti apa?"
Mendengar suara itu, mata Lusi terbuka. Dia menatap ke arah air yang menampilkan bayangan seseorang dengan jubah hitam dan tudung yang menutupi wajahnya.
"A--apa?" Lusi menoleh ke belakang, tapi tak ada siapa-siapa. Orang itu hanya terlihat di dalam bayangan.
"Tertusuk, terperosok ke jurang, atau habis menjadi santapan hewan buas?"
Lusi tak mengerti, apa yang sebenarnya dimaksud orang itu?
"Aku nggak ngerti," ucapnya.
"Kematian Bizarki."
Lusi membelalakkan matanya. Omong kosong apalagi ini?!
"Kematian seperti apa menurutmu?"
Lusi langsung menghunus air itu dengan ranting kayu. Dia benci melihat bayangan aneh yang menyebutkan kematian Bizar.
Hahaha, Bizar akan mati? Lewati dulu Lusi!
"Itu tidak akan mengubah apa-apa. Semuanya harus punya akhir cerita."
Lusi menggeleng, tangisnya semakin menjadi-jadi. Tanpa henti, dia hunuskan ranting itu ke dalam air. Bahkan sampai tubuhnya basah oleh percikan air, Lusi tak peduli.
"Cukup! Bizar nggak akan ke mana-mana! Bizar nggak akan mati! Karena aku akan melindunginya! Berhenti bicara omong kosong!"
"Hentikan."
Lusi akhirnya berhenti. Dia berusaha menenangkan diri lalu mendongak. Seseorang berjubah itu kini melayang di depannya.
"Kamu sudah terlalu banyak mengubah cerita."
"Apa kamu penulis?" Lusi bangkit dan mulai menyadari bahwa makhluk di depannya mungkin adalah sosok penting yang ada di dunia ini.
"Seharusnya kamu tidak di sini," kata makhluk itu.
"Bukannya aku punya kesempatan? Kamu memberiku pangkat untuk menjadi tokoh utama. Jadi, biarkan aku menyelesaikan komik I'm In Love With a Second Lead ini dengan baik!" bentak Lusi yang sudah tak peduli jika air matanya berlinangan.
"Kamu masih hidup."
Seluruh tubuh Lusi membeku. Dia tak percaya dengan kebenaran itu. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ... kenapa jadi begini?
"I--itu ... bagaimana mungkin? Jadi, aku bisa kembali ke duniaku?"
"Benar."
Lusi menutup wajahnya sebentar. Dia berusaha mencerna semuanya.
"Ketika kamu kembali, tokoh utama akan kehilangan tujuannya. Dia akan hancur. Maka lebih baik untuk memberinya kematian sekarang," ucap penulis dengan jemari yang bergerak dengan cahaya gelap.
"Tu--tunggu! Kumohon, jangan lakukan itu!"
"Kamu membuatku tidak bisa mengakhiri Natasya's Love dengan baik. Tak ada alasan untukku mendengarmu."
Lusi segera menegakkan tubuhnya. "Tunggu! Bagaimana jika aku berjanji akan menyelesaikan cerita ini dengan baik?" Tubuh makhluk yang hendak pergi itu berhenti. Nampaknya dia ingin tau dengan apa yang ingin Lusi katakan.
"Tolong, beri aku kesempatan menyelesaikan kisah ini dengan akhir yang baik. Jangan hancurkan Bizar. Aku mohon padamu!"
Setelah keheningan selama beberapa menit berlalu, akhirnya terdengar sebuah suara dari makhluk itu.
"70 hari. Waktumu tersisa 70 hari untuk menyelesaikan segalanya."
Lusi hendak berucap, tapi makhluk itu sudah menghilang begitu saja. Sebagai gantinya, Lusi melihat sebuah tubuh yang dijatuhkan di dekatnya. Saat menoleh, Lusi mendapati itu adalah Bizarki yang tidak sadarkan diri. Dengan sigap Lusi langsung mendekat untuk membangunkannya.
"BIZARKI! BIZARKI!"
Bizar tak kunjung sadar walau Lusi sudah menggoyang-goyangkan tubuhnya atau memberikannya cubitan kecil.
"Air!" gumam Lusi. Dia berlari mendekat ke tepi danau lagi untuk mengambilkan Bizar air. Sayangnya, dia tak punya wadah. Apa yang harus Lusi lakukan? Lantas setelah mengedarkan pandangan, Lusi menemukan sebuah daun pisang yang tak terpakai. Lusi pun segera mengambilnya untuk menjadi wadah.
"Rauuuuugh!"
Lusi menoleh, dia melihat seekor serigala yang menyadari keberadaan Bizar. Sepertinya serigala itu tengah kelaparan. Melihat dari caranya menatap Bizar, serigala itu siap melompat untuk menerjang Bizar. Lusi pun meninggalkan daun pisangnya dan berlari menyelamatkan Bizar.
Tapi saat berhasil memeluk pria itu, Bizar bangkit dan langsung menusukkan pisaunya ke perut serigala.
"Bi--Bizar?"
"Lo udah gila, Lauren!" Bizar menarik tangan Lusi agar berdiri di belakangnya. Yang kemudian Bizar merasakan rasa perih tak tertahan di lengan kirinya. Sepertinya serigala itu sudah sempat mencakarnya.
***
Setelah bergelut dengan serigala hitam sampai satu jam, akhirnya Bizar berhasil mengalahkannya. Namun sebagai gantinya, tangan kirinya patah dan harus menggunakan penyangga. Sayangnya, jarak antara villa dan tempat mereka berada sangatlah jauh. Untuk malam ini, mereka harus mencari tempat yang aman karena tubuh Bizar yang lemah.
Dengan sekuat tenaga, Lusi memapah tubuh Bizar agar bisa berjalan. Sedangkan Bizar menyinari jalanan dengan senter Lusi.
"Kenapa lo basah?" tanya Bizar yang merasa semua pakaian Lusi dingin. Bahkan juga rambutnya.
"Habis berenang," jawab Lusi seadanya.
Hal itu membuat langkah Bizar terhenti. Alisnya terangkat sebelah sebagai bukti bahwa dirinya tidak percaya.
"Nggak usah memperbesar masalah ini. Ayo, jalan! Kita harus cari tempat yang aman buat istirahat," ucap Lusi yang sedang tak ingin berdebat dengan Bizar.
Sepertinya suasana hati Lusi sedang tidak baik. Apa dia menyesal karena sudah berada di situasi sekarang karena mencari Bizar? Tapi kan Bizar tidak memintanya.
"Itu, ada gubuk tua. Kita ke sana," kata Lusi yang memapah Bizar menuju gubuk itu. Setelah berhasil mendudukkan Bizar, Lusi mengambil dedaunan yang sempat dia petik untuk mengobati luka Bizar.
"Lo nggak perlu ngelakuin in--"
"DIEM!"
Akhirnya bibir Bizar pun terkatup. Dia tak lagi berani bicara jika Lusi sudah semarah ini.
Setelah selesai, Lusi melepas sabuk yang dia gunakan kemudian memasangnya pada lengan Bizar yang patah agar bisa digunakan untuk menggendong tangannya.
"Sakit?" tanya Lusi.
Bizar menggeleng, kembali berpura-pura kuat karena tak ingin Lusi khawatir.
"Gue bilang, sakit?" tanya Lusi lagi dengan tatapan menusuk. Bizar pun akhirnya menunduk dan mengangguk.
"Tunggu sebentar," kata Lusi.
Spontan Bizar menahannya. Dia tak mungkin membiarkan Lusi berkeliaran di tengah hutan.
"Lepasin gue. Gue janji akan kembali."
Walau masih enggan, Bizar pun melepas Lusi. Dia melihat tekad yang kuat dari kedua mata Lusi, sehingga tak berani untuk melarangnya lagi.
Beberapa menit setelah menunggu, Lusi datang kembali dengan kedua tangan yang menangkup seperti mangkuk. "Ini minum kalau lo haus."
Bizar menatap Lusi lebih dulu dan Lusi menjawabnya dengan anggukan. Karena dari tadi memang sudah haus, Bizar pun meminum air yang ada di telapak tangan Lusi sampai habis. Usai meminumnya, beberapa bulir air yang tersisa Lusi gunakan untuk membasuh wajah Bizar yang kotor.
Bizar menahan tangan Lusi. "Kenapa lo melakukan ini?"
Lusi menatap Bizar sekilas. "Wajah lo kotor." Kemudian Lusi melepas selimut yang tadi dia gunakan sebagai penghangat sekaligus rok luar. Dia pasangkan itu ke tubuh Bizar.
Kemudian Lusi melipat kakinya dan bersandar pada dinding gubuk. Api unggun yang dia buat sebelum mengobati luka Bizar dia tatap cukup lama.
"Bagaimana lo bisa menemukan gue?" tanya Bizar yang tak enak melihat Lusi diam tanpa ekspresi.
"Gue mendengar suara waktu di danau," jawab Lusi tanpa beralih dari api unggun.
"Apa lo sendirian? Ke mana Zero, Leoner, dan Aydan?" tanya Bizar.
"Gue nggak tau. Mereka juga mencari lo."
Bizar menghela napas berat. "Ini semua gara-gara gue."
Tanpa sadar air mata Lusi jatuh. Membayangkan kehilangan Bizar, hatinya sangat sakit. Dia pun mengusap air mata itu sebelum menoleh ke arah Bizar. "Bizar."
Bizar diam memperhatikan Lusi.
"Mau janji satu hal?" tanya Lusi.
"Apa?"
"Wa--walau ..." Lusi hampir tak sanggup melanjutkan ucapannya, dia sudah terisak sejak bicara. "... gue, lo, dan kita tau kalau lo nggak mungkin punya perasaan ke gue, kalau dunia ini hancur ... apa lo mau ada di sisi gue?"
Bizar tertegun. Dia tidak tau alasannya, tapi dadanya terasa sesak mendengar itu.
"Kalau dunia ini berakhir, lo mau ikut gue, Zar?"
-----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top