3. Keceplosan

Cerah setelah hujan. Jaiz mematikan motornya di depan penjual es cekek. Rasa haus sudah mencekik lehernya sejak tadi. Ia pun menikmati minumannya sambil berjongkok di pinggir jalan. Matanya sibuk melihat hirup pikuk sore ini.

Bangunan kampus Buana Angkasa menjadi latar pemandangan yang sedang Jaiz saksikan. Ia mencari-cari sosok Mahardika di antara banyak orang yang lalu-lalang. Kakaknya memang kuliah di tempat ini.

Jaiz tahu kalau apa yang dilakukannya ini sia-sia. Untuk apa ia mencari keberadaan Mahardika? Kalaupun bertemu dengan kakaknya pasti malah akan dimarahi. Seharusnya ia segera pulang ke rumah setelah sekolah, bukannya malah nongkrong tidak jelas.

Namun, Jaiz berhenti di depan kampus ini bukan tanpa alasan. Ia kehausan dan kebetulan ada tukang jualan es cekek yang menyelamatkannya dari dahaga.
Sedang asyik berjongkok ria, Jaiz tiba-tiba berdiri.
Kemudian setengah berlari mendekati gerbang kampus. Ia melihat Nayanika yang sedang berdiri dekat rumpun bunga yang tak jauh dari pos satpam.

Jaiz ingin sekali menyapa Nayanika. Namun urung ketika gadis itu berlalu bersama beberapa teman perempuannya. Ia kecewa sekaligus gembira karena mengetahui jika gadis pujaan hatinya itu berkuliah di tempat sama dengan kakaknya.

Satu siulan pelan keluar dari mulut Jaiz ketika ia kembali melajukan motornya. Hatinya seperti sedang musim semi yang ditumbuhi bunga-bunga. Ia pun pulang dengan riang.

Sampai di rumah, Jaiz bukannya langsung berganti pakaian, melainkan segera menuju tempat bunga mawarnya yang ia tanam di pot. Bunga itu sudah mekar sempurna. Jaiz memindahkannya. Dari yang asalnya dekat teras menjadi ke depan kamarnya.

Kesenangan Jaiz sangat bertolak belakang dengan Mahardika. Kalau kakaknya itu dengan kesibukannya sebagai ketua karangtaruna, maka ia sibuk dengan menanam bunga. Memelihara ikan yang berada di kolam depan kosan.

Jaiz sangat suka dengan bunga. Ia juga yang ditugaskan untuk merawat taman kecil depan kosan milik ibunya itu. Ia sama sekali tidak merasa terbebani. Semua pekerjaan itu dilakukan dengan suka cita.

“Bunganya sudah mekar.”

Jaiz hampir terjengkang ketika mendengar suara ini. Ia pun menoleh ke arah pemiliknya. “Ibu mengagetkan saja,” keluhnya.

“Kamu yang melamun,” ujar ibunya tanpa merasa bersalah. “Ganti baju dulu. Terus makan.” Ibunya pun berlalu.

Ucapan ibunya memang benar. Jaiz pun tidak ada niat untuk berlama-lama di sini. Perutnya sudah ribut sejak dari tadi. Sepertinya sepiring nasi tidak akan cukup untuk meredamnya. Ia pun segera masuk ke dalam rumah.

Setelah berganti pakaian lalu makan. Jaiz diam di dalam kamarnya. Rebahan di atas kasur sambil bermain ponsel. Kebiasannya berubah drastic. Dari bermain gim menjadi senang berkirim pesan.

Meskipun status pesannya tidak pernah dibalas. Namun Jaiz tidak peduli. Bahkan ketika ia berubah menjadi pengganggu yang mengirimkan pesan spam.
“Bangun. Mau magrib. Lo sudah mandi belum?”

Tepukan pelan di pipi membangunkan Jaiz. Ternyata ia ketiduran dan sekarang sudah mau magrib. Di depannya berdiri Mahardika. Kakaknya ini yang sudah membuatnya kembali dari alam mimpi.

“Bang. Lo kenal kak Naya?” tanya Jaiz tiba-tiba.

Mahardika yang sudah berada di ambang pintu kamar pun berbalik. “Naya siapa?” Ia balik bertanya.

“Enggak jadi.” Jaiz melenggang melewati Mahardika yang masih terpaku di tempatnya.

“Dasar sialan.” Mahardika menggeplak pelan kepalanya. Mungkin ini bentuk kekesalannya pada Jaiz.

“Bang. Lo senang banget mukul kepala gue,” protes Jaiz yang tidak terima atas perlakukan kakaknya itu.
“Biar lo cepat pinter,” ucap Mahardika tak acuh.

Jaiz sudah ingin membalas perlakuan kakaknya ini. Namun ia melihat tatapan tajam bapaknya yang sejak tadi duduk di depan TV. Ia pun segera pergi ke kamar mandi sambil menggerutu tidak jelas.

Malam ini Jaiz main di kosan. Namun bukan di kamar Rangga. Ia berkumpul bersama penghuni kosan di teras depan. Mengobrol bersama sambil bermain gitar.

“Mahar. Alat pel patah. Bukan gue pelakunya, tapi si Chandra,” ujar Renandra. Ia salah satu penghuni kosan yang menempati kamar di lantai bawah dekat dengan Rangga. Ia mahasiswa jurusan seni dan desain.

Awal bertemu dengannya dulu, Jaiz ingat benar kalau sempat mengiranya sebagai seorang perempuan. Garis wajahnya memang seperti perempuan.
Ditambah dengan potongan rambut yang hampir menyentuh bahu. Siapa pun melihatnya pasti menduga jika Renandra cewek tomboy.

“Lo apain sampai patah, Chan?” Mahardika menatap Chandra penuh tanda tanya.

Sementara Jaiz hanya menyimak pembicaraan mereka. Apalagi ketika Chandra—penghuni kosan di lantai dua—mulai berkilah tentang alat pel yang sudah dirusaknya. Jaiz hanya geleng-geleng kepala. Makhluk satu ini memang paling tengil di antara semua orang.

Diantara semua orang yang berkumpul di teras ini, Jaiz-lah paling muda. Ada Zefano teman dekatnya Chandra. Wajahnya seperti blasteran, tapi ia mengaku kalau produk lokal. Lalu, ada Jazlan. Ia terlihat paling kalem dari semua. Hobinya memasak. Selain dekat dengan Rangga, Jaiz juga dekat dengan Jazlan.
Obrolan berlanjut sampai hampir jam sepuluh malam.

“Iz. Lo tanya siapa tadi?” tanya Mahardika.

Sontak saja Jaiz jadi pusat perhatian. Ia berdeham kecil. Pura-pura tidak mendengar pertanyaan yang diajukan kakaknya ini. Namun, ia merasakan satu senggolan di tangannya.

“Siapa, Iz?” tanya Rangga yang sejak tadi duduk di sampingnya.

“Bukan siapa-siapa. Salah dengar kali,” ucap Jaiz mencoba menghindar.

“Gue curiga kalau itu cewek,” celetuk Chandra. Ia melemparkan kulit kacang padanya. “Bener, kan?”

“Kayaknya bener,” timpal Zefano yang sedari tadi hanya bermain gitar tampa ikut dalam percakapan.
Jaiz diam. Ia pura-pura sibuk dengan ponselnya. Ia menyesal sudah bertanya tadi pada Mahardika. Ia juga lupa kalau kakaknya tidak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban yang diinginkannya.
“Lo jangan bikin penasaran,Iz.” Tiba-tiba saja Chandra sudah berada di dekatnya. Kemudian ponsel Jaiz pun berpindah tangan.

“Balikin hape gue.” Jaiz berusaha merebut kembali ponselnya yang berada di tangan Chandra. Namun gagal kerena sudah berpindah tangan lagi.

“Password-nya apa?” Renandra mengotak-atik ponsel Jaiz. “Mahar?” tanyanya melirik pada Mahardika.

Jaiz melihat kesempatan untuk merebut kembali ponselnya dari tangan Renandra. Akan tetapi ia kalah cepat lagi. Zefano menarik lengannya. Hampir saja membuat Jaiz terjungkal jika tidak ditahan Rangga. Satu umpatan pun keluar dari mulutnya.

“Percuma. Kodenya cuma gue yang tau,” ucap Rangga santai.

Sementara itu Jaiz menyambar ponselnya dari tangan Renandra saat temannya itu meleng. Ia segera memasukkannya ke dalam jaket. Tidak boleh ada yang tahu isi ponselnya. Bisa gawat, habis jadi bahan olokan.

“Lo naksir siapa, Iz?” tanya Jazlan sembari mengunyah kacang kulit yang hampir habis.

“Cewek, kan?” ujar Chandra yang mendapat jitakan Mahardika.

“Lo kira adik gue enggak normal? Ya ceweklah,” ujar Mahardika melemparkan satu genggam kulit kacang kea rah Chandra.

“Lihat. Berantakan. Gue enggak ikut-ikutan. Siapa yang berbuat, dia yang nyapu,” ujar Renandra menunjuk kulit kacang yang berserakan di lantai.

Jaiz menyenggol pelan Rangga dengan sikunya. Ia bermaksud mengajak temannya ini untuk masuk ke dalam kosan—kamar Rangga. Itu agar ia terhindar dari pertanyaan tentang siapa yang sedang ditaksirnya. Jaiz keberatan jika harus mengungkapkannya saat ini. Saatnya belum tepat.

“Gue mules,” celetuk Rangga tiba-tiba. Tentu saja bagi Jaiz itu sebuah kode. Ia mengulas senyum. “Iz. Lo pulang saja. Gue juga mau langsung tidur. Besok ada kuliah pagi,” ujar Rangga.

Senyum di bibir Jaiz langsung hilang. Ia mengangguk. Meskipun ia sangat ingin melanjutkan bermain gim bersama Rangga di kamarnya. Siapa yang tidak betah berada di ruangan dengan fasilitas lengkap?
Seperangkat komputer khusus gim serta kulkas yang berisi makanan. Belun lagi pendingin udara yang selalu menyala. Rasanya Jaiz ingin pindah saja.
Semua orang juga mengatakan kalau Rangga itu ngekos hanya karena merasa bosan.

“Iz. Lo beresin semuanya. Gue ngantuk,” ujar Chandra yang langsung masuk ke dalam kosan.

“Sorry, Iz. Gue enggak bisa bantu.” Renandra menepuk pelan bahunya sebelum menyusul Chandra.

“Besok saja. Tapi harus subuh-subuh. Sebelum ibu kamu tau,” ucap Jazlan yang berjalan mengikuti Zefano masuk ke kosan.

Jaiz bengong. Kenapa harus dia yang membereskan semua kekacauan ini? Ia bahkan tidak makan satu kacang kulit pun sejak tadi. Kemudian ia menoleh pada Mahardika yang sudah berdiri sambil membawa gitar. Kakaknya itu sudah pasti akan pulang.

“Bang … ini?” Jaiz menunjuk ke lantai yang kotor karena sampah kulit kacang.

“Semangat.”

Hanya stu kalimat itu yang Mahardika ucapakan. Selanjutnya Jaiz melihat kakaknya melangkah pulang meninggalkannya sendirian dengan pekerjaan yang seharusnya bukan tanggung jawabnya.

“Kenapa jadi gue?” gerutu Jaiz kesal.

Sampah kulit kacang tidak akan pindah sendiri. Maka Jaiz pun bergegas mengambil sapu. Walupun hatinya dongkol bukan kepalang, tapi setidaknya ia terhindar dari pertanyaan tadi. Untuk sementara ia selamat.

TBC
I'm In Love, pureagiest ©2024
All right reserve || 19 February 2024 || 19.30 WIB

Jaiz kembali lagi.
Gimana? Komen dong.

Jangan lupa follow
Instagram @pureagiest_
Tik tok @pureagiest

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top