Chapter 3

Note : *percakapan antar Gempa, Amato dan keluarganya... Menggunakan bahasa Indonesia. Dan tak termasuk orang luar. Seperti sahabat2 Gempa disana,  »Fang dan Gopal« pokoknya, yg bukan keluarga Gempa... percakapan mereka menggunakan bahasa Prancis. Apa sebabnya? Ikuti saja alur book ini. Nanti juga tau sendiri//tampang tak bersalah OvO

----------------

"Gempa."

Pemuda bernama Gempa itu membalik kan badan. Menghadap seorang pria- kini telah menginjak usia paruh baya, tak lain adalah ayahnya sendiri, kelihatan sedang memasang jam arloji perak dipergelangan. Dari style an jaz mahal hitam pekat bak pakaian bos kantoran, yang mengambil peran lapisan ke dua guna menutupi setengah badan -Amato-, ia bisa tau... kalau sebentar lagi sang ayah akan berangkat.

Gempa berjalan mendekati ayahnya. Ia berkata, "Iya?"

"Ayah akan berangkat kerja ke kantor. Oya..." Amato meletakkan tasnya dilantai. Sementara Gempa kekal berdiri memandanginya yang sedang berusaha mencari sesuatu disaku celana. Mengerut kan dahi saat Amato mengeluarkan dompet berbahan kulit buaya tersebut. "Nih... Tolong kasi ke asisten rumah kita... Bilang buat belanja bahan makanan persiapan musim salju."

Setelah mengeluarkan lembaran lembaran uang euro dan selembar kertas daftar belanja, pria tersebut mulai menghitungnya. Ketika merasa cukup, uang berupa kertas persegi panjang itu Amato pindahkan dari tangannya ke tangan anak semata wayangnya.

Gempa menerima uang itu dengan perasaan cukup terkejut. Pasalnya, uang yang Amato berikan padanya, berjumlah cukup besar. Bahkan lebih dari kebutuhan mereka berdua. "Banyak banget Yah, uangnya?"

"Sekalian buat Tok Aba. Dia kan bentar lagi bakal kesini dari Indonesia, apa kau lupa?"

Gempa mengerjap seakan memproses apa yang ayahnya katakan. "Aa.." tersenyum canggung. Menggaruk kepala nya yang tak gatal sehabis mengangguk. Ya, kebiasaan masa kecilnya masih tak bisa ia hapus.

"Oo... Oke. Tapi kalo Gempa yang belanja boleh ga? Kasian Bibik banyak kerjaannya," ujar Gempa menawarkan diri. Dan ya, sifat kebaikannya dan suka tolong menolong, juga tak berubah. Semuanya masih sama, hanya raga dan waktu yang berbeda.

Tersenyum. Itu lah kata yang tepat untuk mendeskripsikan ekspresi Amato saat ini. Ia bangga pada anaknya yang mempunyai hati bagai malaikat yang luar biasa. Ia juga bangga, walau Gempa terlahir dikeluarga berada, atau istilah lainnya termasuk dalam salah satu keluarga kaya raya kelas atas, tapi Gempa tidak pernah riya'. Tak pernah memamerkan harta, juga hanya berpenampilan sederhana.

"Baiklah kalo gitu. Maaf merepotkan mu."

Gempa menggeleng. "Gapapa Yah..."

"Oke, Ayah berangkat dulu. Assalamualaikum."

"Wa 'alaikumsalam.."

- I'M HERE -

BoBoiBoy Gempa Alvaro.
Pemuda asal Paris, berusia 20 tahun- dimana sekolahnya telah pun berada dilingkungan perkuliahan. Yang menandakan, statusnya sekarang ialah sebagai mahasiswa. Di kampusnya- ah, tidak! Di kotanya, ia amat terkenal akan kepintaran, kecerdasan, juga keramahan. Alasan lain mengapa ia amat terkenal disana, tentu saja karena ayahnya Amato, seorang tuan besar diperusahaan terbesar di Prancis yaitu Amara Corporation (bingung sih:'v yaudah nama couple Amato ama Mara aja:v).

Tetapi, hal yang paling membuatnya terkenal adalah... Ya, apalagi kalau bukan akibat fisik nya begitu menawan? Iris mata berwarna emas yang sangat langka dan jarang dimiliki oleh ramai orang. Bentuk muka tak terlalu tirus tapi juga tak terlalu bulat, disertai kulit putih untuk ukuran cowok. Jangan lupa, Gempa berbadan tinggi dengan tubuh yang atletis. Hal itulah yang membuat pemuda itu menjadi incaran ramai. Itu juga membuat ia menjadi sedikit malu.

Malu karena ia selalu dibilang tampan oleh semua orang. Bukannya tidak suka...

Oleh karena itu, setiap ia keluar rumah, dirinya pasti menjadi tumpuan mata semua orang. Mereka akan berbisik bisik, merona, klepek klepek, mimisan, teriak teriak 'KAKAK TAMPAN!!! KAKAK TAMPAN!!!' dalam bahasa Prancis. Dan itulah yang terjadi sekarang.

Semenjak pemuda itu keluar dari mobil memasuki pusat perbelanjaan, ia sudah menjadi pusat perhatian semua orang yang ada disana. Padahal, sekarang ia hanya memakai kaus cokelat, jaket & topi hitam emas, dan celana panjang abu abu pensil agak longgar dengan banyak kantong. Alhasil, ia menjadi kikuk kala mengambil barang barang yang sudah tertera diatas kertas daftar belanja.

Keranjang beroda itu ia dorong. Mencari bahan makanan selanjutnya. Menelusuri rak demi rak. Berusaha tak memperdulikan jeritan wanita wanita itu, walau sesekali tersenyum membalas. Sampai kedua maniknya menangkap dua orang pemuda. Satu pemuda bermanik merah, berkacamata dengan gaya rambut reven. Satu lagi, berbadan gempal memakai sweater hoodie hijau kuning.

"Fang! Gopal!" Panggilnya.

*Percapakan, menggunakan bahasa Prancis. Karena aku ga bisa bahasa Prancis- jangan kan Prancis, Inggris aja ngga TvT- jadi pake bahasa Indo. Itupun baku

Kedua pemuda yang tadinya asik minum kopi dingin dari lemari pendingin khusus minuman, menoleh ke arah Gempa. Fang tersenyum tipis. Melambaikan tangan ke arah pemuda bertopi tersebut. Ia berkata, "Halo Sobat, kamu belanja?"

"Yah... seperti yang kau lihat." Gempa menggedikkan bahu. Mendekati dua sahabatnya itu.

Ketika melihat isi keranjang milik Gempa, reaksi yang sama saat Gempa tunjukkan tadi pagi, Gopal juga terkejut dengan banyaknya barang disana. "Gem, banyak sekali bahan makanannya. Kau dan Paman mau mengadakan acara? Mengundang kami tidak?" tanya Gopal dalam bentuk candaan.

"Tidak," jawab Gempa cepat.

Gopal yang mendengarnya terhanyak. Jadi Amato dan Gempa sungguhan mau membuat acara?? Tapi... Mereka tidak diundang?? Woah... Parah. Bisa bisa jadi sad boy dia karena tak bisa menemui sang pujaan hati bernama kari ayam. Karena setiap ada acara di rumah Gempa, pasti kekasih hatinya juga tak akan ketinggalan. Saat pertama kali melihat saja, Gopal sudah jatuh cinta pada kari ayam. Yah... Bisa dibilang, cinta pada pandangan pertama. :v

Bagaimana ia bisa bertemu dengan si cantik kari ayam? Woah... Sejarahnya seperti yang ada pada novel novel. Ia sewaktu berumur 12 tahun, pergi kerumah Gempa untuk bermain bersama Gempa dan Fang karena pada awalnya memang sudah janjian. Dan beberapa menit setelah ia sampai, Kakek dan Ayah sahabatnya itu memanggil untuk makan siang. Ternyata salah satu lauk nya ialah sang kari ayam. Dan dari situlah, kisah cinta Gopal dan neng kari ayam bermula 🗿

"Kenapa??"

Fang memasang wajah jahil. "Ya... Sebenarnya hanya kau yang tidak diundang. Kalau aku sudah mendapat undangannya."

"Ha?! Jadi hanya aku yang tidak diundang?! Serius?!" Kaget Gopal, lalu pandangannya beralih kembali pada Gempa "Gempa, kenapa kau sangat jahat kepada ku?... apa salah ku pada mu?... hiks, .... Hiks, yang kamu lakukan pada saya ini, jahat!... Hiks... Kamu jahat Gem! Jahat!" Ucap Gopal dengan perasaan tersakiti.

Gempa dan Fang bergidik ngeri. Kemudian sadar orang orang sedang menatap ke arah mereka dengan aneh. "Saya tidak kenal dia!" Jerit Gempa dan Fang serempak menjauh satu langkah besar dari Gopal membuat sang empu mendengus kesal menatap keduanya bergantian dengan tampang masam.

"Dasar tidak setia kawan!" Gopal mengumpat. "Memangnya acara apa?" Tanya nya ketus seakan ngambek karena masih mempercayai berita hoax yang dibebelkan oleh Gempa dan Fang.

Saat Gempa ingin memberitau yang sebenarnya, dan saat mulutnya mulai terbuka, ehh-

"Acara sunatan Gempa," jawab Fang dengan seenak jidatnya. Gempa cengo seketika. Lalu protes "Aku sudah disunat!"

"Waktu?"

"Ya waktu kecil lah!"

"Oo... Lalu potong anu nya pakai apa?"

"Pakai gunting rumput!" Jawab Gempa ngasal karena emosinya mulai naik. Ia mendengus.

"Langsung di sreng? Lalu, sakit tidak?" Gopal yang tadinya hanya menyimak sekarang ikutan nimbrung. Entah kenapa dia tertarik dengan yang namanya sunat ini. Sementara yang ditanya, memasang ekspresi datar. "Kenapa tidak kau coba saja sendiri?" 

"Ya aku kan non-muslim," jawab Gopal enteng.

Gempa merotasikan bola matanya malas.

"Jadi, sakit tidak? Kata orang hanya seperti digigit semut?" Tanya Gopal lagi.

"Iya, seperti semut.. semut raksasa!" Gempa mengambil nafas dalam kemudian menghembuskannya keluar sebagai upaya untuk menenangkan diri. "Ini hanya persediaan untuk musim salju...~" ucap Gempa kembali kalem lanjut mendorong keranjangnya meninggalkan dua orang pemuda tadi.

Gopal ber oh ria sebelum pundaknya dipukul tidak keras tapi juga tidak pelan oleh Fang. Ia meringis. "Daripada kita hanya berdiri disini, lebih baik bantu Gempa saja. Ayo.." ajak nya berjalan mengekori Gempa.

"Yah... padahal aku sedang malas.." gumam Gopal. Tapi apa boleh buat? Jadi ia menurut saja. Ia mengangkat kedua belah tangan ke belakang kepala lalu menggunakannya seperti penyangga. "Gem, apa kakek mu jadi kesini?" Tanya Gopal basa basi supaya keadaan tidak menjadi krik krik.

"Jadi. Karena itu juga aku belanja banyak," jawab Gempa tanpa menoleh kebelakang. Matanya sibuk mencari bahan yang diperlukan.

"Eh?"

Fang dan Gopal mengerjap. Gempa tiba tiba saja berhenti. Menoleh kekanan dan kekiri bawah. Lalu memindah mindahkan bahan makanan, atau lebih tepatnya seperti menggali seakan sedang mencari sesuatu.

"Ada apa Gem?"

"Gelangku..."

Kedua sahabatnya itu saling beradu pandang. Menaikkan sebelah alis mereka tanda tak mengerti dengan apa yang Gempa katakan. "Gelang mu? Yang mana? Dan, memangnya kenapa?"

"Gelang benang warna hitam ku, tidak ada." Gempa memutar badan membelakangi keranjangnya. Melihat ke arah lantai karena kemungkinan besar, benda itu terjatuh tanpa ia sadari. Menyipitkan mata guna menajamkan indera penglihatan. Langsung berlari kecil, kala melihat benda yang ia cari. Menghela nafas, tersenyum lega. Bersyukur karena gelang kesayangannya ini masih menjadi takdirnya.

Pemuda berambut reven itu menggelengkan kepala. "Gem, itu kan hanya gelang~ apalagi bahan nya cuma dari benang wol hitam. Kau kan bisa membeli yang jauh lebih mahal lagi. Gelang terbuat dari emas misalnya," ucapnya merasa janggal. Bagaimana ia tidak merasa seperti itu? Ia sebagai sahabat Gempa, pastinya tau... Bahwa keluarga Gempa ini amatlah kaya. Ia bahkan berani taruhan, kalau uang yang dimiliki oleh keluarga Gempa, jauh lebih tinggi nilainya daripada organ tubuhnya jika dijual.

Gempa tersenyum tipis. "Tapi gelang ini sangat spesial bagiku. Ia sangat berharga. Bahkan jika ditandingi dengan gelang emas, atau bahkan intan permata sekalipun, tidak akan sanggup menggantikannya."

Gempa mulai melingkari semula gelang tersebut ke tangan kirinya. Menautkan kedua sisi benang. Menyatukan kembali antar ujung yang terpisah dengan erat supaya tak pernah terlepas dan menjadi perhiasan sekaligus kenangan ditangannya selamanya.

"Tapi kan, benang wol itu sangat murah." Gopal menggaruk kepalanya tak mengerti. Apa yang spesial dari gelang itu.

"Jangan melihat dari tampilan luarnya... tapi lihatlah yang ada didalamnya."

Semakin merasa bingung Gopal. Entah kenapa, otaknya menjadi lamban memproses perkataan Gempa. Sementara Fang yang sudah mengerti menaikkan sebelah alis seraya tersenyum miring. 'Sepertinya, Gempa sudah menemui seseorang'

- I'M HERE -

Waktu menunjukkan pukul 21:00 malam. Pemuda bermanik emas itu, tengah duduk diatas kasur empuk bersaiz King dikamar bernuansa cokelat tua dan muda. Ditangannya, terdapat sebuah buku sejarah tebal, terbuka lebar didepan mukanya. Dibantu sinar lampu tidur meja, ia membaca serius setiap kata dan kalimat. Di waktu senggangnya, ia memang suka membaca buku buku seperti sejarah, sains dan novel. Yah... Anak pinter mah beda.

Perhatiannya teralihkan kala sambaran petir disertai hujan deras terjadi diluar rumahnya. Padahal, tadi siang, cuacanya cerah dan sangat baik kalau menurutnya.

Ia kembali berfokus pada buku sejarahnya. Tak lama, menyadari sesuatu.

Ayahnya itu sudah pulang, atau belum?

Ia bangkit. Berjalan keluar kamar dengan niat mencari keberadaan sang ayah. Untuk ukuran anak muda zaman sekarang, apalagi cowok, Gempa ini tipe yang mudah khawatir pada seseorang.

Disebabkan rumahnya yang besar, luas bertingkat bak istana, ia memerlukan waktu lumayan untuk mengunjungi setiap ruang yang kemungkinan besar, jika baru pulang dari kantor, ayahnya sedang berada disana.

"Kok gaada? Apa ayah belum pulang? Apa dia lembur? Perasaan ga bilang apa apa pas mau berangkat tadi pagi." Gempa bergumam sehabis puas mencari kesemua ruang.

"Tuan Muda, belum tidur?"

Gempa tersentak. Berbalik kebelakang. Mendapati sang asisten rumah yang masih memakai seragam pembantu. Sebelum Gempa menjawab, ia terlebih dahulu bertanya, "Kenapa Bibik masih memakai seragam pembantu? Kan ini sudah lewat dari jam kerja Bibik?"

"Masih ada beberapa alat makan yang harus saya bersihkan."

"Oo... tidak apa apa, suruh yang lain saja... Bibikkan hari ini sudah bekerja keras," sergah Gempa sopan. Walau ia seorang calon Tuan Besar nantinya, tapi tetap harus hormat pada yang lebih tua, bukan? Apalagi, Asisten Rumah-nya yang biasa ia panggil Bik Zila ini juga mengurus-nya sewaktu kecil. Tepat disaat, Ibu-nya meninggalkan rumah—

Sang Asisten rumah menggeleng pelan. "Itu hanya sedikit, tidak masalah."

Gempa mengangguk kan kepala mengerti. "Baiklah, Bik... Saya mau bertanya. Ayah sudah pulang dari kantor, belum?" 

Bik Zila(kenapa kek janggal ya?:'v auk deh) lagi lagi menggeleng untuk menjawab pertanyaan Gempa. Sang empu mengernyit. Lho?

Tiba tiba, Gempa merasa kan sesuatu bergetar disaku celana. Dan sudah bisa ditebak, bahwa itu adalah HP nya yang baru saja mendapat panggilan telepon. Garis senyuman mulai terukir diwajah tampan pemuda itu. Ia terkesima. Dengan cepat, ia mengangkat telepon itu kala mengetahui sang 'ibu' bernama Mara lah yang menelfon.

"B - Bunda?"

Senyuman Gempa, seketika luntur saat Ibunya mulai bersuara. Berganti dengan ekspresi cemas tak karuan.

Asisten rumahnya yang melihat perubahan pada sang Tuan Muda memiringkan kepala. "Ada a—

"Gempa kesana sekarang!" Dengan langkah tergesa gesa, ia berlari menuju luar rumah. Tak memperdulikan para pelayan termasuk Bik Zila yang loading melihatnya.

TBC

Okay... Menurut pendapat kalian, ada apa dengan BapaMato? ;-;

Makasi dah mau baca book abstrak ini <( ̄︶ ̄)>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top