Chapter 1

Hai guys!!!

Hehe...
Sebelumnya, aku mo minta maaf sebab, baru sekarang bisa update :'v. You know lah... di real life... Aku tuh sibuk ama tugas tugas yang numpuk :'v
Tapi, aku bakal usahain update kok.

By the way...
Karena udah lumayan lama, jadinya... aku dapat ide buat dikit ngubah alur cerita ama nambahin sebuah konflik.

Apa konflik nya?

Oke. Sebenarnya, konfliknya... udah ku tulis di deskripsi, dan deskripsi nya baru ku perbarui. Nah... dari sana, bisa diketahui kalo, salah satu konflik utama di book ini (yang alur ceritanya udah ku ubah dikit) adalah, Yaya terlahir dengan kebocoran pada jantungnya :'D

Tapi, karena dia tuh sakitnya jantung bocor, dia masih bisa ceria~ yah walau sesaat :'D

Ga tau sih, tiba tiba aja kepikiran gitu pas mandi :'D

Siapa disini, yang ide bikin story tuh ngalir, paling sering pas mandi?:'D

Tapi aku belum nentuin ending nya ntar kek gimana:'v
Bingung mo pilih sad ending or happy ending :'D

Kalo kalian, maunya happy ending, atau sad ending?

Chapter 1 ini... bakal ga nyambung ama prolog sih 😅 kan karena, alur cerita nya ku ubah(sekali lagi, dikit:'v) tapi lama kelamaan bakal nyambung kok ✨

Moga kalian bisa ngenikmatin... maaf kalo ga sesuai ekspektasi. Aku masih belum hebat buat nulis cerita 🚮 makanya, aku butuh koreksi, dan saran positif dari kalian...

Kayak, tanda baca ama peletakan huruf kapital. Itu aku sering banget salah:'v susunan kalimat :'D

Oya, ini jauh kejadiannya sebelum prolog okey?:'D bisa dibilang flashback sih...

Kota nya ubah aja ya :'D jadi Pulau Rintis:'V tapi di Indonesia... Yah... anggap aja, Pulau Rintis nya ada di Indo :'D

Tar takutnya ada yang dikit sensitif, kalo ada salah informasi tentang kota Jakarta, soalnya aku bukan anak Jakarta :'D

Oke, happy reading guys :v
.

.

.

.

.

.

.

.

.

- I'M HERE -

.

.

.

.

.

.

.

.


1 tahun yang lalu

Seorang gadis berlari kencang di sebuah koridor rumah sakit- terletak ditengah tengah kota Pulau Rintis. Keringat dingin membasahi dahi. Pikirannya sangatlah kacau. Sehingga sering ia hampir menabrak orang orang berlalu lalang disana. Tidak terkecuali dokter, suster, dan pasien yang ada. Menyiratkan betapa panik nya ia saat ini.

Sekarang, fikirannya sungguh sangatlah sulit untuk berpositif thingking. Apalagi, ketika berada disekolah untuk les matematika, ia mendapat pesan masuk dan itu menyatakan, penyakit yang diderita sahabatnya sedari dulu kembali kumat dan harus dilarikan ke rumah sakit.

Tentu saja secara refleks, gadis itu langsung minta izin pulang lebih awal hanya untuk datang kesini menjenguk dan mencari tau kondisi sahabatnya saat ini. Semakin tidak karuan perasaan nya saat mobil taksi yang ia naiki tadi sempat terjebak dalam kemacetan. Dalam hati, ia sangat berharap... tidak satu pun hal tidak diinginkan terjadi kepada gadis berusia 17 tahun itu.

Gadis itu berhenti. Kala manik birunya menangkap sepasang suami istri yang tak lain adalah ayah dan ibu sahabatnya, bersama anak laki laki berusia 11 tahun yang sudah tak asing lagi baginya sedang berbicara dengan seorang dokter didepan sebuah ruangan.

"Om, Tante, Nezha."

"Kak Ying?" anak laki laki bernama Nezha bergumam. Melihat gadis bernama Ying tak jauh dari hadapannya.

"Gimana keadaan Yaya?" tanya Ying dengan suara kecil. Berjalan perlahan mendekat seraya menatap mereka penuh pertanyaan tentang keadaan sahabatnya. Tubuh mungil gadis itu mulai bergetar kala pertanyaan nya hanya dijawab dengan ekspresi pilu juga tetesan air mata. Ditambah lagi, semuanya diam menunduk. Hal itu membuat jantung Ying berdegup kencang.

"K-kenapa diam?"

"Kondisinya semakin parah."

Semua perhatian, pun mengarah pada sang dokter yang mulai bersuara. Ying melebarkan mata. Menaikkan sebelah alisnya. Melirik pada Wawa yang sekarang menangis sembari menyebut nama Yaya dipelukan Yah. Suaminya.

Pandangannya, ia alihkan pada Nezha yang sekarang duduk dikursi disebelah orang tuanya. Ying bisa melihat, bekas air mata yang ada pada wajah anak itu.

Dan kini, gadis itu mendongakkan kepala menatap sang dokter guna menunggu pria itu menyambung ucapannya. Sementara yang ditatap demikian tengah melihat pada Yah, Wawa, Ying dan Nezha secara bergantian. Ia berdehem. Dokter itu menghela nafas gusar sebelum akhirnya berbicara.

"Seperti yang pernah saya bilang sebelum ini, Tuan Yah, Nyonya Wawa, karena Putri Anda memiliki kebocoran pada jantungnya sejak lahir, dia kemungkinan hanya akan bertahan kurang dari umur 20 tahun. Kini kondisinya semakin memburuk. Saya sarankan, selama tiga sampai lima hari ini, Yaya dirawat disini dulu."

Dokter itu menarik nafas dalam dan mengeluarkannya. Ia berkata "Sebenarnya, saya ragu... kalau dia bisa bertahan-"

Bruk!

Perkataan sang Dokter, kembali tergantung kala mendengar suara berasal dari Ying yang memukul dinding rumah sakit dengan kepalan tangannya kuat juga keras hingga membuat tangan gadis tersebut merah dengan sendi yang memutih. Ia menggertakkan gigi. Menatap tajam membunuh pada dokter yang kini sedang memandang padanya. Nafas gadis itu kian memburu sealur dengan dada yang turun dan naik.

"KAU INI DOKTER MACAM APA?! BISA BISANYA KAU BERKATA SEPERTI ITU!! ASAL KAU TAU SAJA, DOKTER YANG PERNAH MERAWAT YAYA DULU, GA PERNAH SEKALIPUN BERKATA SEPERTI APA YANG KAU KATAKAN!! DIA MALAH BILANG KALO, BERDOALAH! MINTA PADA TUHAN BIAR DIA BISA SEMBUH, DAN HIDUP DENGAN SEHAT SEPERTI ORANG PADA UMUMNYA!! KARENA DOKTER ITU PERCAYA, YAYA PASTI AKAN PULIH!! TIDAK SEPERTI MU!"

Teriak Ying membentak mendominasi suasana dan berbaur dengan kilat menyambar di luar. Matanya memerah karena marah. Juga berupaya menahan air mata agar tidak jatuh. Tetapi usahanya gagal. Air matanya lolos dari kelopak begitu saja membuat sang gadis harus menghapusnya kasar menggunakan punggung telapak tangan. Tidak! Dia tidak mau Yaya sampai meninggal! Pokoknya tidak mau!

Menyaksikan itu, Wawa sebagai ibu kandung dari Yaya merasa tersentuh. Ia menghampiri Ying. Mendekapnya sebagai bentuk ucapan terimakasih. "Makasih nak... udah mau peduli ama Yaya. Mau berteman ama Yaya," lirih wanita paruh baya tersebut. Mengusap kepala Ying berharap gadis ini bisa tenang.

Dan benar saja.
Secara perlahan, deruan nafasnya menjadi lebih rileks.

"Aku mau ketemu ama Yaya."

Wawa mengangguk. Melepas dekapannya perlahan, membiarkan Ying menghampiri ruangan diseberang mereka.

Pintu ia buka. Menampakkan sebuah ruangan yang sebagian besarnya, dipenuhi peralatan medis dan seorang gadis cantik berhijab pink sedang duduk diatas ranjang rumah sakit, tersenyum manis ke arah Ying.

"Hai Ying!" sapanya dengan nada ceria.

- I'M HERE -

"Aku mo ke kantin. Kalian berdua, mo pesen gak?"

"Mau! Traktir ya Kak!"

Ying mendengus mendengar itu. Seandainya anak ini tau, kalau uang jajannya hanya sedikit perhari dan itu wajib untuk disisakan. Kalau tidak, mungkin tabungannya baru akan penuh setelah Author & ALL IBF terutama RaKiTa ketemu dan saling berpelukan satu sama lain T^T. "Iya deh... iya. Jan banyak banyak tapi! just one is enough!"

Nezha merotasikan matanya. 'Yaelah. Jadi orang pelit amat.' Ia kan tidak sering minta ditraktir~ bahkan saat disekolah ia yang selalu mentraktir teman temannya. Giliran ia yang minta? Huft!

"Iyee. Pelit!" cibir Nezha.

"Apa kau bilang?!" sahut Ying tidak terima.

Terjadilah perang adu mulut antara Ying dan Nezha disana. Tapi beda halnya dengan Yaya. Gadis itu kini terlihat sedang khusyuk melukis. Jari jemarinya dengan lihai menggerakkan sebatang kuas diatas kanvas berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjangnya 40 cm dan lebar 25 cm. Sehingga menciptakan berbagai bentuk indah sesuai dengan apa yang ada dikepalanya.

Dari mana Yaya mendapat kanvas juga cat itu? Tentu saja dari rumah. Karena sekali lagi, ia harus menginap dirumah sakit ini. Jadi, barang barang keperluannya diambil oleh Yah dan Wawa tadi siang.

"Ya~"

Yaya mengangkat kepalanya. Wajah sahabatnya kini terpampang jelas sedang melihat padanya "Kenapa?"

Ying mendengus dalam diam. Apa Yaya tadi tidak dengar jika dia ingin ke kantin dan menawarkan diri jadi seperti abang abang Greb? Membawa sesuatu yang dipesan customer. Itu pun kalau Yaya ingin pesan sih~

"Tadi ku bilang, aku mo ke kantin. Kamu ada mo nitip kagak? Nezha, aku udah tau pesanannya apa. Tinggal kamu sekarang."

"Ooh..." Yaya menganggukkan kepalanya mengerti sedetik sebelum ia berpikir. Enaknya, sore sore gini makan apa ya? Makan nasgor...? Itu enaknya pagi. Makan nasi kuning... sama. Enakan pagi juga makannya. Sekarang, tinggal mie ayam, sop, atau bakso.

Pilih yang mana ya?

"Mau pesen ga?"

"Ah! Bakso aja deh!" Yaya mengambil dompetnya yang berada di atas meja disamping "nih." Ia menyodorkan uang dan diterima dengan baik oleh Ying.

"Oghey! Tunggu ya~"

Yaya tersenyum. Menyatukan ujung ibu jari dan ujung jari telunjuk, sementara jari lainnya terangkat keudara. Lalu mengubah posisi menjadi semua jari ia kepal kecuali ibu jari yang mengancung tinggi. Dan mendapat respon sama dari Ying.

Saat Ying menghilang dari balik pintu, Yaya kembali melanjutkan lukisannya. Kini, hanya tinggal dirinya dan Nezha disana. Orang tua mereka tadi, keluar sebentar. Katanya ingin memesan sesuatu. Sebenarnya, Yaya sedikit bingung. Orang tuanya tadi pergi, sekitar jam 13:00. Sedangkan sekarang, hampir jam 17:50.

"Kak, kau lukis apa?" tanya Nezha. Mendudukkan tubuhnya diatas kasur, disamping sang kakak. Ia sedikit memajukan kepala. Ingin melihat, apa yang dilukis kakaknya itu. Ketika melihatnya, mulut Nezha terbuka. Seakan terpukau melihat lukisan Yaya yang sudah sangat profesional.

Dalam lukisan itu, menampakkan dua orang anak laki laki dan perempuan berdiri beralaskan tikar kain berpola kotak kotak, dengan garis berwarna merah. Terlihat secara jelas disana, tangan mereka saling bertautan. Menyatu dalam genggaman kecil namun erat. Seraya memandangi langit malam penuh bintang bintang dan satu rembulan, disebuah bukit kecil yang dimana, bukit tersebut ditumbuhi rerumputan berukuran pendek namun segar.

"Wow!! Hebat bet Kakak ngelukisnya!" puji Nezha mengagumi gambaran sang kakak. Selain karena menggunakan cat dengan warna cerah dan dipertegas dengan spidol warna, ia juga dilukis dengan sangat telaten! Tidak berantakan sana sini, sangat rapi! Sehingga menciptakan sebuah karya yang luar biasa, seperti ini. Sekarang Nezha mengaku, walau kemampuan nya juga termasuk hebat dalam melukis, bahkan juara umum pas bertanding, ia masih kalah jauh dengan kemampuan Yaya.

"Waiya donks! Yaya gitu lho!" Yaya mengusap hidung menggunakan jempol lalu memukul mukul pelan dadanya berniat ingin mensongongkan diri membuat adiknya mendengus. Seharusnya, tadi, Nezha tidak memujinya. Sekarang, Yaya jadi besar kepala kan.

"Dih."

"Iri bilang karyawan!"

Nezha hanya diam. Malas menanggapi kakaknya itu. Ia hanya ingin fokus pada lukisan ini. Nezha memperhatikan dengan seksama kala Yaya kembali melukis, untuk mengetahui tehnik tehnik yang digunakan sang kakak supaya bisa membuat lukisan sebagus itu. Sekitar 5 sampai 7 menit kemudian, lukisan itu pun selesai.

Yaya mengangkatnya tinggi sejajar dengan kepalanya. Tersenyum melihat hasil karyanya yang menurutnya memuaskan. Lalu ia turunkan. Diletakkannya kanvas tersebut diatas kedua kaki. Senyuman puas, kini berubah menjadi sendu. Manik hazelnya, menatap sayu anak laki laki yang ada pada lukisan tersebut.

'Kira kira, apa dia masih ingat padaku?'

Ceklek

Bunyi pintu terbuka. Yah dan Wawa pun masuk ke dalam ruangan. Menghampiri Yaya yang masih setia duduk diranjangnya. Wawa menduduk kan diri diatas kursi yang telah disediakan. Tersenyum hangat, mengelus pelan puncak kepala Yaya sampai ke tengkuk berulang kali. "Semangat ya nak, kau pasti bisa!"

Yaya hanya bisa membalas nya dengan senyuman tipis. Mengambil kedua tangan milik sang ibu, lalu mencium punggung telapak tangan suci itu. "Pasti!"

"Yaya."

Yaya melihat kesamping kiri. Berniat menengok ke arah sang ayah yang juga tersenyum ke arahnya. Dan sudah pasti ia tersenyum balik. "Impian mu, sebentar lagi, akan kau dapatkan."

Gadis itu mengerutkan dahi. Impian?

"Impian?"

"Ya. Impian mu untuk pergi ke negara Eropa. Paris, Prancis."

Yaya melebarkan mata. Manik hazelnya terlihat berbinar binar tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. "Serius Pah?" Tanya nya untuk memastikan.

Semakin girang ia saat menyaksikan sendiri, ayahnya mengangguk meng iya kan. Raut wajahnya yang tadinya kusam walau tersenyum, berubah menjadi sangat cerah. Secerah cahaya matahari.

"YEY!!! Kita ke Paris~~ kita ke Paris~ berangkatnya kapan Pah??" Tanya Nezha dengan tidak sabarannya mengguncang sang ayah. "Eh aduh aduh... Papa jan diguncang~ papa kamu tuh dah tua~" ujar Wawa dan mendapat wajah cemberut dari sang suami.

"Seminggu lagi. Kita bakal berangkat." Jawab Yah.

Yaya dan Nezha semakin melebarkan senyuman. Yaya memandangi adiknya yang sedang melompat kegirangan dan melakukan tos dengannya. Ini adalah hari yang Yaya tunggu tunggu dari dulu. Dia ingin sekali ke negara belahan Eropa terutama Prancis. Owh ayolah~ siapa yang tidak menambahkan negara itu sebagai tujuan destinasi yang bagus? Apalagi, sebentar lagi, negara tersebut akan kedatangan musim salju. Akh! Pasti akan sangat menyenangkan!

Tok tok tok

"Yaya, Nezha, ini pesanan kalian. Dan... Om, Tante, Ying boleh ga... bawa Yaya ke halaman belakang rumah sakit ini? Ada yang mau Ying tunjukin soalnya." Ying meletakkan bungkus makanan diatas meja disamping tempat tidur Yaya.

"Nunjukin apa?" Tanya Yaya tidak mengerti. "Nanti juga kau tau. Boleh ga?"

"Ya... boleh boleh aja~ pergilah. Jangan lama lama tapi..."

Ying mengangguk. Sekarang, tugasnya adalah menunggu Yaya turun dari ranjangnya. Ia menarik pergelangan gadis itu pelan. Menuntunnya ke tempat yang ia katakan tadi.

- I'M HERE -

"Kau mau nunjukin apa?" Yaya bertanya seusai mereka sampai ditaman belakang. Sekarang, Yaya sedang duduk di bangku. Melihat Ying dengan bingung. Pasalnya, gadis China itu berdiri didepan dan melotot padanya.

"Kau mau ke Prancis?" Tanya Ying ketus.

Yaya mengangguk menjawabnya. Ia bisa mendengar suara dengusan dari sahabatnya itu. Kenapa? Apa dia ada salah? Atau... memiliki janji? Tapi kenapa rasanya tidak? Jadi... Kenapa gadis didepannya ini kelihatan marah?

"Kenapa?"

"Kenapa, kenapa. Ya. Kondisi mu ini makin memburuk lho! Sekarang aja kau pucat banget! Jadi, sebaiknya kau tunda aja liburan mu itu!!"

Yaya mengerjap. Tersenyum haru kemudian. Ia sekarang tau apa tujuan sahabatnya mengajaknya kesini dan apa yang dipikirkan Ying saat ini. Ia sangat beruntung memiliki sahabat yang sekarang sangat peduli kepadanya.

Ying mengernyit. Kenapa anak ini malah tersenyum padanya? "Ya! Aku serius! Kau- eh, eh eh?" Ia tersentak. Sempat panik saat Yaya tiba tiba berdiri dan memeluknya dengan erat. "Kau ini. Tidak perlu khawatir kali~ tenang saja."

Ying menghela nafas lelah. Ia melepaskan dekapannya. Ia berkata, "Ya! Dengerin aku please! Kau jangan pergi! Kalau terjadi apa apa saat kau kesana gimana ha? Kau pikir, Prancis itu deket apa? Sekali ngeeng langsung nyampe gitu? Prancis itu jauh Ya! Di belahan Eropa! Kau juga harus ke kota Jakarta dulu, buat penerbangannya."

Yaya masih tidak bisa untuk menahan senyumannya. Memegang kedua pundak Ying. Menatapnya dengan penuh keyakinan "Aku udah bilang, kau tenang aja. Obat kan senantiasa ada." Ia melepaskan pegangannya.

"Tapi Ya... Tetap aja!" Jawab Ying sengit. Kenapa Yaya ini sangat keras kepala? Coba sekali aja dengarkan dia.

Dddrrt... Dddrrt...

Ying menunduk. Merasakan sesuatu bergetar dalam saku celananya. Ia memasukkan sebelah tangan kedalam sakunya. Mendapati handphone miliknya yang baru saja menerima notif dari What*App.

Gadis itu pun membaca pesan chat tersebut.

"Dari siapa Ying?" Tanya Yaya kepo.

"Dari Mami. Dia nyuruh aku buat pulang. Dia juga pesen, sampein ke kamu... dia masih belum bisa dateng jenguk," ucap Ying cemberut. Padahal ia masih ingin menemani Yaya dirumah sakit.

Yaya mengangguk mengerti "Oo... oke! Gapapa. Yaudah. Pulang aja lu sono."

Ying yang mendengar itu sweatdrop. Mengecurutkan bibir. Lalu memasang wajah sedih, terluka. Persis seperti anak kecil yang habis dimarahi ibunya. "Hiks... kau tega Ya! Mengusir daqoh," ucapnya pura pura menangis ditambah lagi dengan nada alay.

Yaya terkekeh geli melihat kelakuan Ying. "Bercanda~ kalo gitu, pulang lah. Tar takut nya kau dimarahi. Besok kan kau masih bisa dateng ke sini. Rumah mu juga, cuma berjarak sekitar 100 m dari rumah sakit. Pake jalan aja bisa sampe. Lagian juga sekarang hampir Magrib."

Ying mendengus. Kalau sudah begini, sepertinya dia memang harus pulang. Dia juga sedang tidak ingin mendengar celotehan menyebalkan dari Mami nya. "Yaudah deh. Kalo gitu, ayo. Ku anter kau ke kamar mu," ajak Ying dan mendapat respon anggukan dari Yaya.

- I'M HERE -

"Om, Tante... Ying izin pulang dulu ya."

Wawa yang tadinya tengah membereskan peralatan melukis Yaya dan meletakkannya di sebuah kotak berbahan plastik lengkap dengan tempat cat, kuas dan kanvas didalamnya, menoleh pada Ying yang berdiri di ambang pintu bersama putrinya.

"Ah... udah mau pulang ya?" Tanya wanita tersebut seraya melanjutkan aktivitas nya. Sementara Yah yang sedang duduk dikursi, mendongak dan tersenyum tipis.

Ying mengangguk. Menggigit bibir. Juga memainkan jari jari tangannya sendiri sebagai upaya menghilangkan kegugupannya. Karena saat ini, ia hendak ingin mengatakan sesuatu. Ia menarik nafas dalam, lalu mengeluarkannya. Ia pokoknya harus bisa! Harus berani! Ini demi sahabatnya Yaya!

"Eung... Om, Tante?"

Sepasang suami istri itu pun kembali menoleh pada Ying. Sedikit menaikkan alis melihat ekspresi gadis itu yang entah kenapa terlihat gelisah? "Iya sayang?" Jawab mereka bersamaan.

"Apa kalian benar benar ingin ke luar negeri?" Tanya Ying. Yah dan Wawa sedikit tersentak mendengarnya. Saling melirik satu sama lain sebelum akhirnya kembali berfokus pada Ying. "Memangnya kenapa nak?"

Ying mendengus namun berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Entah kenapa, dia sedikit kesal dengan pertanyaan yang dilontarkan Wawa. Apa dia tidak ingat, anak pertama nya itu memiliki jantung yang bocor? "Kan Yaya sakit... Masa harus bepergian jauh sih? Iya kalo dia kumat pas udah nyampe. Kalo belum nyampe? Pas di tengah tengah jalan ama masih di pesawat? Gimana?"

Yah dan Wawa terdiam. Tak sanggup berkata kata untuk menjawab pertanyaan Ying. Sebenarnya, mereka berdua setuju dengan gadis itu. Dulu mereka juga berpikir, sebaiknya Yaya memang harus istirahat saja di rumah~ tapi setelah mendengar alasan yang terlontar dari putrinya, mereka tidak bisa berbuat apa apa dan setuju untuk berlibur ke Paris saat Eropa tengah musim salju.

Ying kembali mendesah melihat reaksi yang ditunjukkan kedua orang tua Yaya. "Ying cuma ingin bilang itu, ga bermaksud protes... Ying pamit pulang dulu ya."

Wawa berdehem. Mendekati anaknya yang terlihat sedang ingin menuju kasur saat Ying sudah tak terlihat lagi. Yaya tersentak saat sang ibu tiba tiba menggenggam lengan atasnya. Dihelanya nafas kala melihat tatapan Ibunya. Seakan tau apa yang akan dikatakan oleh Wawa.

"Nak-

"Mama ga usah khawatir~ okey? Ga bakal terjadi apa apa kok."

"Tapi Ya, dengan kondisimu yang kek gini?

Yaya berbalik menghadap sang ayah yang juga berdiri mendekat ke arahnya. Masih dengan senyuman yang tak kunjung pudar dari wajah, ia berkata, "Karena Yaya selalu berharap dan berdoa. Supaya dipermudahkan untuk mencapai tujuan hidup ... juga meraih angan angan. Kalo ga dilakukan sekarang..." Yaya mendongakkan kepala. Menatap langit senja yang kini matahari mulai perlahan menghilang bersama cahaya hangatnya yang mulai meredup.

"Mungkin ga akan pernah."

TBC

Hiya hiya... gaada bagian menarik buat di komen 🚮


Hehe...
Maaf, Chapter 1 ini, di awali dengan drama :'D

Dan keknya, rada ngebosenin ya kan?:'v

Iya, aku tau kok. Aku masih belum pandai bikin story 🚮 apalagi, banyak banget kata kata yang keulang ulang terus, hiks 🚮💦

Oya, chapter depan (ga tau sih, chapter berapa~ intinya chapter yang akan datang), aku bakal flashback kisah masa kecil Yaya, bersama seseorang (. ❛ ᴗ ❛.)

Salam manis, dari anak
Termwanis di dunia
Mwehehehehe

WAJIB TEKAN 🌟
Ayolah~ cuma tinggal sekali tekan doank~ ga susah kok :'D please :'D
Jangan lagi ada silent readers okey? :'D
Bikin story tuh capek lho. Ga kasian, apa... ma Author Author yang cape cape ngetik, ehh... ga di vote ama di komen:'D

Jadi sekali lagi, please ya... jan ada siders :'D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top