2 | Peraturan di Negara Zulfikar
Di dunia ini, ada beberapa tempat yang menerapkan aturan aneh. Seperti di Ottumwa, Amerika Serikat. Di sana, seseorang tidak boleh mengedipkan mata ke sembarang wanita. Jika ketahuan akan dikenakan denda. Aturan aneh dan mungkin paling protektif.
Sama seperti di rumah. Zulfikar-Papa dari dua putri bernama Adinda dan Saraha-punya aturan tertentu yang mengikat dua puterinya. Pertama, jangan pernah membawa teman laki-laki ke rumah. Kedua, jangan pernah keluar malam. Ketiga, jangan pernah pacaran. Dan, secara otomatis peraturan itu juga mengikat dua pembantu mereka. Jika Sokat dan Inem membiarkan Dinda dan Sarah melanggar aturan itu, maka dua ibu-ibu itu (yang sebetulnya Inem belum jadi ibu-ibu karena masih gadis) akan terkena imbasnya.
Pukul 07.00 pagi, Sarah turun ke ruang makan dan langsung menggelayut manja di bahu Zul. Di samping Papanya, ada Dinda yang sudah siap berangkat ke kampus. Sesaat dua gadis itu bersitatap, tapi keduanya kembali sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Pa," Sarah meraih roti dan memakannya.
"Ya, Sayang?" Zul melahap nasi goreng udang di depannya.
"Aku kan udah kuliah, Pa. Udah 18 tahun." Sarah memijit-mijit bahu papanya. Sambil mengunyah roti.
"Sarah ... bisa nggak sih kalau makan tuh duduk? Nggak boleh berdiri. Itu kebiasaan setan."
Sarah memutar bola matanya. Lalu dengan cuek, ia kembali memakan rotinya sampai habis. Membuat Dinda menghela napas.
"Jadi, ada apa nih?" Zul menengahi.
Sarah tersenyum girang. Lalu kembali fokus ke papanya. "Gini Pa, aku diundang pesta ulang tahun Niken, Pa. Di kafe dekat museum itu lho, Pa ... aku boleh dateng kan?"
"Malem?"
"Nggak malem-malem banget, Pa. Jam 10 malem aku pulang kok. Mulainya jam tujuh."
Papa meraih air putih di sampingnya, lalu mengalihkan pandangan pada Dinda yang sedang makan dengan takzim.
"Dinda, kamu diundang?"
"Nggak, Pa."
Zulfikar melempar pandangannya ke Sarah. "Nah, artinya kamu tau kan?"
Sarah melongo. "Paaaa!"
"Udah ... kamu di rumah. Dinda aja nggak ikut."
"Ya nggak lah, Paa! Dinda kan nggak kenal Niken. Ini pesta untuk anak angkatan aku aja kok." Dinda memukul-mukul jidatnya frustrasi.
"Dinda, menurut kamu, pesta ulang tahun Niken itu gimana?"
Dinda berhenti mengunyah. Lalu ia berdeham. "Yang Dinda tahu sih, Niken itu anak party. Cafe yang jadi tempat party dia aja nggak straight."
"Maksudnya?"
"Ya ... gitu. Cafe biasanya tempat untuk makanan dan minuman biasa aja. Nggak ada alkoholnya. Tapi Cafe Atmosfer itu ada, Pa."
Zulfikar menghela napas. "Sarah, jangan pergi. Lagian pesta seperti itu cuma ngabisin waktu kamu. Kalau ulang tahun kenapa nggak rayakan di rumah aja. Atau sedekah kan bisa."
Sarah mengerang. "Kalau Niken sedekah, dia nggak perlu ajak-ajak orang. Dia bisa diam-diam ngelakuin hal itu. Waktunya pesta ya pesta, sedekah ya sedekah. Lagian Niken bisa aja rajin sedekah. Who knows?"
"Iya, Niken rajin sedekah kok. Tebar senyum ke mana-mana. Ke cowok-cowok." Dinda berceletuk.
Kesal dengan kalimat itu, Sarah menggebrak meja. "STOP MENILAI-NILAI TEMEN-TEMEN GUE!"
Zul meletakkan sendoknya. Lalu memandangi dua putrinya bergantian. Namun tatapan itu berakhir pada Sarah.
"Sar ... kamu jangan pergi."
Seperti sebelumnya, Sarah bereaksi cepat. Gadis itu merengek-rengek minta izin. "Pa ... sekali ini aja Pa ... Sarah mohon. Sarah nggak akan macem-macem. Janji."
Zukfikar menghela napas. Dia merasa lemah. "Oke ... oke ... kamu bisa ikut."
Sarah berdiri tegak. Dia tersenyum lebar.
"Tapi, ajak Dinda. Buat mantau kamu."
"Ha?" Sarah menganga. Rasanya tidak seru saja mengajak Dinda di pesta teman-teman angkatannya. Terlebih di sana pasti akan ada banyak cowok. Sarah jadi sulit gerak. Dia kan mau mengaplikasikan ungkapan band Changcuters kalau wanita itu racun dunia. Dia mau tebar racun cinta. Siapa tahu ada yang dia suka. Sarah mendesah. Dilihatnya Dinda bersikap tenang. Mungkin kakaknya itu tahu kalau Sarah akan menolak permintaan Papa.
Akan tetapi, di luar dugaan, Sarah menjentikkan jari. "Okelah. Sarah setuju."
Giliran Dinda yang melongo. Dia sampai membuat udang goreng di piringnya terlempar ke luar piring. Sementara Manda, saudaranya yang paling centil se-benua Asia itu memandanginya penuh harap.
"Kamu ikut, Din?" tanya Zulfikar sambil tersenyum kecil. Tatapan Zul terlihat yakin.
Dinda menatap Manda yang berbisik-bisik memberi kode. Mulai risih, dia berkata, "Nggak, Pa ... aku nggak tertarik."
Zulfikar tertawa kecil. "Tuh, kamu liat kan? Dinda nggak mau. Jadi, Sar ... kamu juga nggak ikutan."
Sarah memelotot. Benar-benar menyebalkan. Kepada teman-temannya, Sarah sering bilang kalau Papa sepertinya punya ambisi buat negara baru dengan aturan-aturannya. Dan sekarang sepertinya sudah terbukti. Kemungkinan Dinda jadi penasihatnya. Soalnya, Papa selalu minta pendapat Dinda sebelum memutuskan nasib Sarah.
Dengan kesal, Sarah melangkah keluar rumah. Mengabaikan panggilan Dinda. Hari ini, seperti biasa, Sarah berangkat ke kampus bersama Dinda, naik Avanza yang sudah dijadikan transportasi untuk mereka berdua. Mereka berdua tidak diizinkan pakai kendaraan sendiri-sendiri.
"Sokat!" panggil Sarah sambil memasang sepatu. Siap-siap berangkat ke kampus. Dia ogah pergi bareng Dinda. "Sokaaat!" pekik Sarah lagi. Tapi, asisten rumah tangga keluarga itu belum juga datang. "SOKAAAAT!"
"I-iya, Non." Inem datang tergopoh-gopoh. "Manggil ya, Non?"
"Bukan elo!"
"Masa sih, Non?"
Sarah mendengkus. "Ya udah deh. Siapa aja. Heh, Inem! Pinjem duit lo. Lima puluh ribu. Awal bulan depan gue balikin."
"Lima puluh ribu, non? Boleh non." Inem senyum-senyum.
"Ya udah, mana?" Sarah menjulurkan tangan.
"Lah, apanya, Non? Bukannya Non mau kasih saya duit non? Kok jadi Non sih yang julurin tangan?" Inem memasang wajah tidak terima.
Sarah, yang lupa kalau Inem punya gangguan pendengaran sekaligus kaidah kebalikan, langsung menepuk jidat. "SOKAT, GUE KASIH DUIT LO LIMA PULUH RIBU. SANA!"
Maksudnya Sarah, Inem, gue minta duit lo lima puluh ribu. Sini!
Kontan Inem memekik. Tidak terima uangnya diminta sama majikan sendiri. Padahal nanti siang dia punya rencana nongkrong di warung perempatan sana, bersama para ART satu komplek.
"Ndak mau, Non. Ndak." Inem geleng-geleng kepala. Lalu berjalan mundur menjauh sambil melindungi kantung celananya. Takut Sarah melakukan pemaksaan.
"Inem! Berani ya lo sama gue? INEM!!! INEEEM AWAL BULAN GUE BALIKIN, JANJI. INEEEEM!"
Percuma. Inem sudah lari terbirit-birit ke arah belakang. Kalau bisa, Inem bahkan berencana lari ke Cilacap, tempat Kang Acep pujaan hatinya saat ini. Minta perlindungan. Bertepatan menghilangnya Inem, Dinda sudah menghampiri Sarah sambil memegang kunci mobil.
"Nih." Dinda menjulurkan uang lima puluh ribuan ke Sarah.
Beberapa menit berpikir, akhirnya Sarah memutuskan menerima uang itu. Gengsi tidak berlaku hari ini.
"Kamu kok tega, sih. Minta uang ke Inem?" mulai Dinda.
Sarah menoleh. Cemberut. "Gue nggak minta! Gue minjem! Lagian, gue kan mau minjem duit Sokat. Malah Inem yang dateng."
Sambil memperbaiki kerudungnya, Dinda mulai menasihati. "Sar ... Mbak Inem dan Sokat itu kan kerja sama kita. Nggak sepantasnya kamu malah morotin duit mereka."
"Gue mesti bilang berapa kali, sih? Gue minjem. Dan, please, lo nggak usah ajak ngomong gue sebelum lo bikin papa kasih izin gue ke pesta besok! Atau seenggaknya lo ikut bisa nggak sih? Lo bisa pura-pura ikut ke pesta tapi lo belok ke toko buku atau apalah."
"Tapi, Sar ... Itu kan artinya bohong sama Papa."
"Ah ... udah deh. Lama-lama lo ngeselin ya. Gara-gara lo gue jadi kayak gini. Nih, gue nggak butuh duit lo."
Sarah melangkah menuju gerbang rumah. Mengabaikan panggilan Dinda. Dengan cepat dia meraih ponsel. Lalu menghubungi satu nama.
Mungkin nih anak bisa bantu gue.
***
.
An
Assalamualaikum. Cerita ini belum direvisi. Maaf kalau menemukan kesalahan penulisan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top