9. Sesuatu terjadi?

"Annisa, bukan begitu." Haikal menyela setoran bacaan suratku lagi. Sejak tadi, entah sudah berapa kali, ia mengatakan bahwa bacaan suratku buruk. "Perhatikan panjang pendeknya, Habibah."

Haikal tak membentak atau memarahi. Namun air mata ini tetap saja tumpah. Aku sedang emosi. Ingatan tentang Misha dan Kiki membuatku ingin berteriak marah. Aku tak terima diperalat oleh mereka selama ini. Ingatan tentang bagaimana interkasi Ibu dan Haikal membuatku iri. Aku tak pernah diperlakukan manis oleh Bunda. Aku ingin memiliki apa yang Haikal miliki, tapi tak tahu bagaimana cara mendapatkannya.

"Annisa." Suara Haikal terdengar khawatir. "Kamu menangis? Saya ... terlalu keras?"

Aku menggeleng seraya menatap wajahnya yang tampak penuh tanda tanya dan rasa waswas. "Aku sedang tak enak badan saja," kilahku beralasan. "Boleh kita sudahi mengajinya? Aku ingin istirahat saja."

Haikal mengangguk lantas memberreskan perlengkapan salat serta Al-qur'an yang kami pakai mengaji. Aku merebahkan diri di ranjang dan mencoba terpejam. Air mataku luruh semakin deras, meski hanya gelap yang terlihat. Aku merasa sendiri.

Tak lama, Ibu mengetuk pintu kamar dan membawa satu gelas jahe hangat untukku. Ibu berkata merasa bersalah telah merepotkanku dengan berbelanja. Ibu kerap berkata bahwa beliau lah alasanku seperti ini.

"Tidak, Bu. Nisa begini bukan karena Ibu. Mungkin karena Nisa memesan minum yang salah saat kita duduk di kafe hingga jdi begini." Aku menerima gelas jahe hangat yang Ibu sodorkan dan meneguk hingga tubuhku terasa sedikit rileks.

"Yasudah, Nisa istirahat saja, ya. Biar Ibu yang masak dan urus rumah," tawar Ibu.

"Yang cuci baju biar saya dan Nisa saja, Bu," sela Haikal sebelum Ibunya menawarkan diri mencuci baju kami.

Ibu tersenyum dan mengangguk sebelum meninggalkan kamarku. Haikal mengecup keningku dan membisikan doa di telinga. Aku tak haru apa artinya. Kubiarkan saja. aku sungguh merasa hampa dan tak ada yang ingin kulakukan saat ini.

Ibu pamit pulang dua hari kemudian. Kami mengantar Ibu menuju stasiun dengan banyak oleh-oleh yang Haikal siapkan.

"Bu, sering-sering main, ya," pesan Haikal saat kami sudah sampai depan peron. "Inshaallah saya dan Nisa akan berkunjung ke rumah Ibu secepatnya."

"Santai wae," jawab Ibu dengan senyum ringan. "Misal Nisa 'isi' yo jangan dibiarkan kelelahan. Ibu saja yang mengalah mengunjungi kalian."

Aku hanya tersenyum ala kadarnya mendengar ucapan Ibu. Isi? Aku bahkan maju mundur untuk hamil. Tak ada keinginan apapun setelah hatiku dipenuhi banyak rasa kecewa.

Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang menemani. Haikal tak membuka obrolan. Begitu pun aku yang fokus pada pemandangan jalan. Hingga mobil Haikal memasuki pekarangan rumah kami, aku masih terdiam dengan tatapan entah menuju mana.

"Annisa," panggil Haikal lembut. Aku menoleh dan menatap wajah Haikal yang tersenyum. "Ayo turun," perintahnya santun seraya mengusap lembut pucuk kepala. Ia turun lebih dulu dari mobil lantas membukakan pintu mobilku.

"Mas," panggilku saat kami melewati ruang tivi. Ada bayangan Ibu tengah menonton sinetron setiap sore, selama tinggal di rumah ini. "Apa Mas dan Ibu selalu seperti itu?" tanyaku entah dorongan dari mana.

Kening Haikal menyernyit samar. "Maksudnya?"

"Mas dan Ibu ... tampak akur. Beda dengan aku dan Bunda yang tak pernah bisa bersatu."

Haikal mengambil tanganku lantas menarikku lembut untuk duduk di sofa. Ia membelaiku lembut seraya tersenyum hangat. "Apa kamu pernah dengar ungkapan surga di telapak kaki ibu?"

Aku mengangguk.

"Dalam agama kita, Ibu adalah sosok yang dimuliakan oleh Allah. Ada beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang memerintahkan kita untuk tidak menyakiti Ibu atau orang tua."

"Oya?" Aku baru tahu jika Al-Qur'an juga memiliki topik tentang orang tua. Kupikir hanya tentang surga dan neraka, hidup dan mati, serta pahala dan dosa.

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." Haikal mengucap kalimat itu dengan lancar dan tegas. "Surah Luqman ayat 14. Nanti usai salat, coba kita baca bersama, mau?"

Aku menggeleng. "Mas saja yang membaca dan menjelaskan padaku. Namun," aku mengulum bibir. Ragu melanjutkan, namun tatapan Haikal menuntutku untuk bicara. "aku dan Bunda tak pernah bisa akur dan saling sayang."

"Tidak ada Ibu yang tidak menyayangi anaknya. Begitupun Bunda. Beliau sangat menyayangi putrinya. Saya saksi bagaimana beliau melakukan banyak hal untuk kamu."

Mataku memicing penuh tanya. "Hal seperti apa?"

Haikal tak menjawab. Pria itu hanya tersenyum penuh misteri sebelum mengajakku menyiapkan makan malam bersama.

Usai salat, Haikal sungguhan menjelaskan banyak hal tentang ibu dalam islam. Banyak ayat suci serta hadist yang ternyata menjelaskan itu semua.

"Ada satu lagi hadist, keutamaan orang tua dalam hidup kita, Annisa." Haikal mengusap lembut kepalaku yang bersandar di pangkuannya. Kami duduk bersama di atas sajadah seperti biasa, namun kali ini, aku merebahkan diriku di pangkuan suamiku. "Ridha Allah tergantung ridha orang tua dan murka Allah tergantung murka orang tua."

Aku mendongak dan menatap Haikal penuh tanya. "Ada hadist seperti itu?"

"Bagitu mulia kedudukan ibu dan bapak di mata islam. Itulah mengapa, selain karena memang saya mencintai Ibu, anjuran agama tentang berbakti pada orang tua membuat saya bersikap lembut pada ibu." Haikal menepuk pelan pundakku. Memintaku untuk beranjak dari tidur di pangkuannya. "Juga ... aku akan berusaha bersikap lembut padamu. Karena istriku adalah calon ibu dari anak-anak kita kelak."

"Apa Allah menjanjikan hidup bahagia jika kita mengikuti seluruh perintah-Nya?"

"Allah tidak menjanjikan hamba-Nya hidup bahagia layaknya dongeng. Namun Allah menjanjikan syurga bagi Hamba-Nya yang bertakwa."

"Tapi Bunda—"

Ponsel Haikal berdering sebelum aku sempat mencurahkan rasaku pada Bunda. Entahlah, jiwaku yang terasa kosong membuatku terdorong untuk mencari tahu pada Haikal, bagaimana caranya menemukan bahagia. Aku belum bergelimang harta, sekarang. Jadi, aku harus mencari cara untuk bisa tersenyum lagi setelah kekecewaan ini.

"Ya, Mbak Beti?"

Aku menoleh pada Haikal yang serius mendengarkan apapun dari Mbak Beti. Bunda sepertinya suka sekali merepotkan Haikal bahkan di luar jam kerja.

"Kami berangkat sekarang!" Suara Haikal tampak cemas dan tegas. Usai menutup telepon selulernya, pria itu menatapku dengan tatapan berkaca. "Bersiap, Annisa. Kita harus pergi ke rumah sakit sekarang."

"Kenapa?" aku mengerjap heran mendapati suamiku berubah jadi sekalut ini.

Haikal bergerak cepat menuju lemari dan mengambil kaus kerah dan mengganti pakaian kokonya saat ini. "Bunda batuk darah lalu pingsan. Mbak Beti membawa Bunda ke rumah sakit dan kita harus menyusul sekarang."

Aku terpaku mendengar berita ini. Bukan, bukan karena mendengar Bunda yang masuk rumah sakit. Namun karena melihat Haikal bisa tampak sekalut dan sekhawatir ini pada Bunda.

"Annisa!" Suara Haikal bahkan menyentak. "Cepat!"

Tersadar, aku gegas melepas mukena dan mengambil jilbab langsung pakai yang Ibu belikan di Pasar Tasik tempo lalu. "Apa aku harus ganti baju?"

Haikal menggeleng seraya mengamatiku dari atas hingga bawah. "Tidak perlu. Cukup gunakan jilbabmu saja." Lalu pria itu bergegas mengambil dompet, ponsel, dan kuci mobil sebelum meninggalkanku di kamar sendiri. "Cepat, Annisa!"

Mengdengkus kesal, aku mengenakan jilbab langsung pakaiku lalu mengambil perlengkapan pribadiku. Untuk pertama kali dalam hidup, aku keluar rumah hanya dengan daster murah pemberian Ibu.

****

Pre order I Love You Till Jannah sampe minggu depan yess ... muuaaccchhh

LopLop

Hapsari


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top